Berjalan di sebuah sudut kota Makassar mengingatkan pada suatu waktu ketika saya berjalan untuk mengantar pulang tujuh orang mahasiswa Jepang yang melakukan survai di Pantai Laguna menuju Hotel Delta tempat mereka menginap di Jalan Sultan Hasanuddin.
Pejalan Kaki Makassar
Saya melontarkan sebuah pertanyaan saat itu. “What do you think about Makassar?” seketika itu juga saya kaget mendengar jawaban mereka, “Makassar is very danger” ucap salah satu di antaranya. Tiba-tiba sebuah suara klakson mobil yang sangat keras mengagetkan, membuyarkan lamunanku, sekaligus membuatku sadar, yah… Makassar is very danger.
Berjalan kaki merupakan moda transportasi yang bebas polusi, menyehatkan, dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Namun sayang, keberadaan pejalan kaki di kota ini seringkali di pandang sebelah mata.Berkembangnya stigma pada masyarakat bahwa pejalan kaki erat kaitannya dengan kemiskinan membuat budaya gengsi inipun akhirnya makin merebak, di mana segalanya dilihat dari perspektif materi. Stigma inilah yang menambah kekeliruan lain: lahirnya kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Ironis.
Kendaraan yang dipandang sebagai materi, mendapat fasilitas memadai di ruang publik, namun para pejalan kaki yang jelas-jelas adalah manusia, justru terabaikan dan tak terlindungi. Media massa ramai memberitakan bahwa jumlah daya tampung jalanan di Makassar tidak sebanding lagi dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Karena itulah banyak rekomendasi pelebaran jalan, termasuk pembangunan fly-over sepanjang 400 meter di Jalan Urip Sumoharjo hingga perencanaan jalan lingkar yang telah menghabiskan dana 10 miliar rupiah, padahal hingga sekarang belum terealisasi. Sayangnya, pembangunan jalan baru tidak diserta perencanaan memadai untuk menjamin kenyamanan dan keamanan pejalan kaki.
Di Makassar dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia, banyak hal yang membuat pejalan kaki yang seharusnya mendapatkan tempat istimewa di banding pengguna jalan lainnya, justru menjadi kelompok yang beresiko tinggi mengalami kecelakaan lalu lintas. Terungkap bahwa 65 persen kecelakaan di jalan raya di tanah air melibatkan kematian pejalan kaki. Ini angka yang sungguh ironis.
Sebenarnya pemerintah telah menyiapkan fasilitas bagi pejalan kaki seperti trotoar dan jembatan penyeberangan, tapi coba kita lihat bagaimana kondisi fasilitas yang ada di Makassar.
Trotoar
Kadang terbersit pertanyaan, “Apakah betul, trotoar dibuat untuk pejalan kaki? Memberikan kesempatan yang lebih manusiawi bagi pejalan kaki?” Mungkin itu betul jika kita melihat trotoar di depan rumah jabatan gubernur di Jalan Jendral Sudirman yang di rancang sedemikian rupa sehingga tidak hanya indah dipandang mata juga jalurnya yang landai sangat memanjakan pejalan kaki.
Tetapi beberapa meter dari tempat itu tepatnya di depan rumah sakit Sentosa dan sekitarnya trotoar “mendaki gunung lewati lembah” melebihi skala kenyamanan skala pejalan kaki, dan merendahkan prioritas pejalan kaki dibanding ban mobil yang bulat. Hal ini tentu saja sudah tidak sesuai dengan standar trotoar yang harus lurus dan tidak terpotong oleh jalur masuk rumah atau toko. Kalaupun jalan masuk menuju bangunan dibutuhkan maka seharusnya dibuatkan jalanan landai menuju trotoar sehingga kendaraan bisa melintas trotoar untuk masuk ke dalam sebuah bangunan.
Belum cukup prioritas pejalan kaki direndahkan dengan memotong jalur untuk mempersilakan kendaraan melaju keluar masuk gedung, kembali pejalan kaki dihadapkan oleh pengendara motor yang naik ditrotoar. Kadang-kadang membunyikan klakson seolah berkata, “oi… minggir” padahal seharusnya kami yang berkata, “Eh, memang ini jalan siapa, Bos?” Hal ini sering kali terjadi di wilayah Tamalanrea jika terjadi macet.
Maraknya pertumbuhan ruko di Makassar setiap tahunnya ikut serta menghilangkan kenyamanan pejalan kaki. Tempat parkir yang padat akan kendaraan bermotor memangkas jalur pedestrian dan trotoar, sempadan bangunan yang dikeraskan langsung berhubungan dengan aspal membuat kami harus berjalan di aspal dan berarti siap untuk diklakson oleh pengendara seperti terlihat di wilayah Somba Opu, Pecinan dan sekitarnya.
Belum cukup sampai di situ, sektor informal juga ikut serta menggusur prioritas pejalan kaki seperti yang tampak sepanjang Jalan Mesjid Raya. Para pedagang kaki lima, mulai dari penjual rokok dan minuman, pedagang makanan, bahkan sektor informal yang mendirikan kafe dan warung makan, turut mengganggu kenyamanan. Adanya pohon dan tiang listrik di tengah-tengah trotoar dan jalur pedestrian pun turut mengganggu langkah pejalan kaki (tapi manakah yang lebih dulu, pohon atau trotoar?)
William H. Whyte dalam bukunya, City, berpendapat, trotoar harus dibangun dengan pertimbangan sifat-sifat manusia. Biasanya pejalan kaki berjalan menghadap ke depan dan mengamati orang di hadapannya sehingga dibutuhkan ruang agar mereka bisa saling bertatap mata, melempar senyum atau menghindar. Ukuran lebar ditentukan dengan tiga orang, dengan jarak masing-masing 10 sentimeter ke kiri dan ke kanan sebagai area untuk menghindari seseorang.
Sedangkan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 65 Tahun 1995 menetapkan lebar trotoar tergantung dari volume pejalan kaki, tingkat kecelakaan dan permintaan masyarakat. Untuk daerah pertokoan, lebar trotoar dipersyaratkan minimal empat meter. Sedangkan untuk wilayah perkantoran, minimal tiga meter. Sementara trotoar di wilayah industri, untuk jalan primer ditetapkan lebarnya tiga meter dan jalan lingkungan cukup dua meter. Untuk jalan primer dan jalan lingkungan di wilayah pemukiman masing-masing lebar trotoarnya ditetapkan 2.275 meter dan 2 meter.
Baca Juga : Hutan Ruko di Makassar
Jembatan Penyeberangan
Jembatan Penyeberangan? Apalagi ini? Tangganya yang tinggi semampai membuat kita merasa capek sebelum menjajakinya. Mungkin bukan hanya saya yang berpikiran seperti itu, buktinya jembatan penyeberangan yang ada di Makassar sangat jarang tersentuh pejalan kaki.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan uang untuk membangun jembatan penyeberangan di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip Sumoharjo, namun para pejalan kaki lebih memilih untuk merusak pagar median jalan atau menahan kendaraan melaju agar dapat menyeberangi jalan tersebut. Tampaknya jembatan penyeberangan itu hanya sekedar sebagai tempat pamer iklan saja. Dan lagipula, sudah menjadi rahasia umum, badan jembatan penyeberangan di Makassar sangat tidak layak digunakan karena kotor dan tidak nyaman.
Pete-pete
Ketidakdisiplinan pengguna kendaraan juga menjadi ancaman bagi pejalan kaki. Ambil contoh mikrolet atau yang disebut pete-pete di Makassar. “Hanya Tuhan dan sopirlah yang tahu kapan ia akan berhenti” mungkin itu ungkapan yang cocok buat sopir pete-pete.
Mereka berhenti seenak hati hingga terkadang mengganggu ketertiban. Seperti yang saya alami ketika suatu hari berjalan di Jalan Veteran dan tiba-tiba sang sopir membunyikan klaksonnya dengan keras hingga membuyarkan lamunan.
Meskipun sudah berjalan di tempat khusus pejalan kaki, mereka tetap mengusir para pejalan kaki agar bisa memarkir mobilnya guna menanti penumpang. Yah…memang Makassar is very danger untuk pejalan kaki seperti saya. Tapi siapa yang peduli?
setuju.. Memang di indonesia prioritas untuk pejalan kaki sangat minim. Tidak hanya di makassar keadaan2 tsb terjadi. Trotoar hanya ada di jalan2 besar. Kalaupun ada trotoar,lebarnya tidak memadai,kualitasnya buruk,dsb. Tp saya rasa org2 udah mulai sadar atau memperhatikan ttg hal ini,apalagi dgn isu2 go green skrg. Tp memang rasanya msh jauh utk sampai membenahi mslh ini. Memang hanya ratapan yg bs kita perbuat skrg ya..
Setuju banget. Makin hari pejalan kaki semakin berkurang. Bukannya ngurangin volume kendaraan biar rame-rame jalan kaki, malah sibuk memperluas jalan untuk mengurangi kemacetan.. Ckckckck.
Pingback: Inart's Story - Pilih Pete-pete atau Busway? -
nice post
Iya, itu sih yang membuat orang di Indonesia jarang mau jalan kaki. Pergi dikit naik motor ato ga ojek.