Hutan Ruko di Makassar

      4 Komentar pada Hutan Ruko di Makassar

Kota Makassar makin identik dengan sebutan kota ruko (rumah-toko). Bangunan yang merupakan rumah-sekaligus-toko atau toko-sekaligus-rumah ini, tersebar di seantero kota. Tembok beton persegi empat yang berbentuk kotak dengan lebar empat hingga lima meter dan panjang yang bervariasi, telah mendominasi tampilan fisik Makassar. Jika pada masa awal booming ruko, biasanya bangunan dibikin berlantai dua saja, kini sudah banyak yang berlantai tiga hingga lima.

Bagi mereka yang telah lama meninggalkan kota Makassar, dan bermaksud kembali berkunjung ke kota ini, janganlah berharap menemukan wajah kota yang sama. Wajar jika banyak orang yang terheran-heran dan berkata, “Ih… ruko mi sedeng!” karena kota ini telah menjadi “hutan ruko”. Syukurlah kalau anda belum mendapati rumah sendiri telah berganti dan terbagi-bagi dalam beberapa petak kotak beton yang seragam.

Ruko di kota ini tadinya mungkin dimaksudkan sebagai inovasi dan investasi bagi sebagian orang. Jika ini benar, tentu saja punya implikasi positif. Sebab, itu berarti makin banyak orang punya toko, indikasi tumbuhnya perekonomian kota. Ini paralel dengan menjamurnya pula plaza, mal, supermal, trade center, town square, pusat grosir dan galeri dimana-mana. Tapi, kenyataannya, banyaknya ruko bukan berarti makin banyaknya pula orang Makassar yang punya toko.

Selain banyaknya ruko yang sekadar “ru” alias dijadikan rumah semata-mata, booming ruko ini tidak dibarengi pula dengan penataan lingkungan. Hampir semua kawasan kota tak luput dari bangunan ruko. Mulai dari Kecamatan Mamajang khususnya Jalan Veteran, Kecamatan Ujungpandang (daerah Sombaopu, Pecinan dan sekitarnya), Kecamatan Bontoala (Jl. Mesjid Raya dan Jl. Urip Sumihardjo), Kecamatan Panakukang (Jl. Boulevard, Pengayoman dan Jl. Pettarani), Kecamatan Rappocini (Jl. Rappocini), Kecamatan Tamalate (Tanjung Bunga), Kecamatan Tamalanrea (Jl Perintis Kemerdekaan) dan berbagai tempat lainnya.

Dahulu Kota Daeng memiliki pola pembangunan kota linier. Yaitu, pola kota yang mengikuti garis pantai. Tetapi karena adanya pembangunan secara terus menerus, polanya berubah menjadi multiform/poliform dengan pola atau struktur tata ruang kota yang lebih dari satu. Di banyak tempat, ruko tidak berada di kawasan peruntukannya, melainkan berada di antara rumah-rumah penduduk atau tempat lain yang peruntukannya bukan sebagai kawasan perdagangan. Bisa diduga selain kesemrawutan karena banyaknya inti perkembangan kota, kemacetan pun menjadi ekses yang terhindarkan.

Pembangunan ruko secara massal dengan bentuk homogen menyebabkan view kota menjadi terbatas dan monoton. Dari sudut pandang pengusaha properti, pembangunan monoton semacam ini sengaja dilakukan agar mengeluarkan modal yang kecil dan mendapatkan untung yang besar. Namun, dari sudut pandang psikologi perkotaan kondisi ini dapat menyebabkan warga kota menjadi stres karena tidak adanya dinamisasi pemandangan. Lagipula, bangunan-bangunan itu dibuat terlalu padat sehingga terkesan sesak.


Dalam aturan tata ruang yang ideal, dari seluruh luas tanah, hanya 60-80% lahan yang seharusnya terbangun dan selebihnya 20-40% merupakan lahan terbuka. Namun, sebagian besar bangunan ruko di Makassar, seratus persen merupakan bangunan. Bahkan, jika ada yang tidak terbangun, maka tanahnya pun sudah diperkeras. Akibatnya sangat jelas, ketika hujan turun tak ada lagi tempat resapan air. Jalan-jalan dan drainase yang ada menjadi satu-satunya tempat mengalir dan genangan. Bila musim hujan kita akan disuguhkan genangan bahkan banjir meski hujan hanya setengah hari mengguyur kota.

Dulu, warga Makassar memiliki alternatif bernostalgia dengan menyusuri kawasan kota lama yang dipenuhi dengan bangunan bersejarah dengan desain antik. Kawasan semacam ini bisa ditemui misalnya di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman atau Jalan Dr. Sutomo dan sekitarnya. Tapi sekarang, kita harus siap menikmati ruko yang “menyelip” di antara bangunan dan rumah tua itu. Yang ironis karena bangunan tua yang menjadi bagian sejarah kota, satu per satu berganti rupa menjadi ruko. Kini, ke mana gerangan mencari jejak sejarah melalui wajah kota?

Pembangunan ruko secara sporadis ini tidak lepas dari kesalahan pengambil kebijaksanaan kota. Sebab, mereka yang punya wewenang mengeluarkan izin membangun. Meskipun Rencana Tata Ruang kota telah dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan kota yang lebih baik tetapi semua itu dengan mudahnya dilanggar. Hal inilah yang membuat bangunan ruko tumbuh terus tanpa bisa dikendalikan dan melahirkan kota Makassar seperti sebuah kota tanpa sejarah.

4 thoughts on “Hutan Ruko di Makassar

  1. nawir

    cukup bagus ulasanx
    dan memang seperti in potret kota makassar
    pembangunan tanpa megindahkan estetika lagi
    sehingga view kota cukup sumpek dengan pemandangan yg seragam
    diluar dari itu saya cuman ingin kasih masukan juga bwt warga makassar sendiri
    hendaknya memiliki tingkat rasa kebersamaan yg tinggi dalam mengelola public space
    g usah jawuh2
    lihat aja anjungan d pantai losari
    blum genap 5 thun udah hancur banget kondisix
    saran aja mungkin lbh baik klo swasta aja yg kelola
    maaf y kepanjangan
    Regards,
    Nawir

    Reply
  2. Pingback: Inart's Story - Ratapan Pejalan Kaki! -

  3. Pingback: Inart's Story - Legenda Makassar -

  4. Pingback: Inart's Story - Kata Remaja Pasar tentang Mal -

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.