Memberi Tanpa Tapi

      Tak ada komentar pada Memberi Tanpa Tapi

Pada suatu malam, sepulang hangout di sebuah mall di Makassar. Di jalan menuju parkiran, seorang ibu separuh baya tersenyum pada saya. Meski mukanya samar, karena saat itu saya tidak memakai kacamata, saya bisa melihat lengkungan senyum di bibirnya.

Seketika itu juga, saya membalas senyumnya. Mungkin orang yang mengenal saya, pikirku. Siapa tau salah satu peserta workshop atau client. Saat kami semakin dekat, senyum ibu itu semakin sumringah. Saya pun makin yakin, kami saling mengenal.

Dia tampaknya kewalahan. Beberapa kantong belanjaan tampak ditentengnya dengan kedua tangan. Lalu ia memulai percakapan.

“Mati hapeku dek, baru ditinggalkan k sama sepupuku. Tidak ada sekali mi uang pulangku”. Ujarnya sambil memperlihatkan layar ponselnya yang berwarna hitam.

Seketika itu juga, saya bisa menebak akan kemana arah pembicaraan ini.

“Bisa k minta uang ta, dek? Untuk pete-pete pulang” Sambungnya lagi. Seperti yang saya duga.

Kebetulan ada selembar uang di kantong celana. Saya pun merogohnya, lalu menyerahkan kepada si Ibu tersebut.

“Tambahi pi lagi dek (lalu menyebut nominal). Supaya langsung k sampai di rumah”.

Karena iba, saya pun membuka dompet. Dan mengambil selembar uang lagi. Lalu menyerahkan kepadanya. Ia pun mengucapkan terima kasih dan berlalu.

Beberapa hari setelahnya, dapat cerita yang persis sama yang dialami orang lain. Lalu divalidasi oleh banyak “korban” lainnya. Ciri-ciri dan kata-katanya sama. Bahkan ada yang tanggalnya sama.

Pada kesempatan lainnya pernah mendengar berbagai cerita-cerita tentang bagaimana seseorang sengaja memanfaatkan rasa iba kita untuk keuntungan pribadinya. Mulai dari yang ada di jalanan hingga via chat. Dan masih banyak modus lainnya.

Meskipun punya prinsip apa yang telah kita sedekahkan itu sudah di luar kendali kita. Dan bagaimana pun, niat kita sudah dicatat sebagai kebaikan. Tetapi tetap saja, truth issue seperti kejadian di atas membuat kita kadang menunda untuk memberi. Karena keraguan dari sambungan kata “tapi…”.

Padahal tidak semuanya seperti itu. Sebagian lagi memang sedang sangat membutuhkan bantuan.

Tapi…

Akan selalu ada kata itu yang ingin ditambahi hingga jadi satu kalimat. Hingga akhirnya kita urung untuk menolong. Semoga yang membaca tulisan ini sampai akhir diberikan kelapangan untuk memberi tanpa “tapi”. Dan dijodohkan dengan orang yang betul-betul butuh akan kebaikan kita. Bukan sekedar karena modus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.