Usia itu Misteri

      Tak ada komentar pada Usia itu Misteri

Usia itu misteri. Tidak ada satupun kita yang tahu, kapan kelahiran dan kematian itu datang. Aku pun tidak pernah menyangka usiaku bisa mencapai angka 32 tahun seperti hari ini. Apalagi jika menilik kebelakang. Betapa banyak momen yang membuatku begitu dekat dengan kematian.

Luka Lambung Saat SMP

Waktu SMP, perutku terasa sangat sakit sekali. Demamku tinggi. Aku hanya bisa menahan sakit saat itu. Seingatku, ibu sempat membawaku ke dokter. Tapi rasa sakitnya tidak berkurang. Hanya demamku saja yang menurun. Buang air yang aku keluarkan tidak seperti biasa. Namun pada akhirnya, aku bisa melewati masa krisis itu.

Saat SMA dan membaca banyak hal tentang penyakit lambung, aku jadi tahu. Rupanya saat itu, lambungku luka hingga berdarah. Sehingga membuat ulu hatiku sakit dan mengeluarkan feses seperti oli.

Baca Juga : Pengalaman Saya Terserang Vertigo

Usus Buntu Saat SMA

Malam itu aku pulang ke Makassar. Dari sekolahku yang terletak di atas gunung. Aku meriang. Kepalaku terasa hangat, namun kakiku terasa sangat dingin. Keringat dingin bercucuran. Perutku sakit lagi seperti ketika SMP dulu. Tapi kali ini bagian tersakit di perut bagian bawah.

Ibu dan Etta langsung membawaku ke dokter. Setelah diperiksa, dokter pun mendiagnosa kalau ada masalah dengan ususku. Usus buntu katanya. Malam itu juga, aku harus masuk rumah sakit.

Dengan kondisi yang sangat lemah, mereka membawaku langsung ke UGD. Rekomendasi operasi dari dokter harus disegerakan sebelum aku makin melemah.

Pertama kalinya dalam hidupku kala itu berada di ruang operasi. Memakai baju khusus operasi. Dengan banyak lampu yang menyala. Dan beberapa dokter yang menatapku. Hingga akhirnya perlahan aku tak sadarkan diri karena obat bius.

Katanya usus buntuku sudah hancur. Dan bisa berbahaya jika tidak ditangani cepat.

Baca Juga : Blog Aku Ingin Panjang Umur

Pingsan di Mall

Pada suatu hari, beberapa hari menjelang SPMB. Dadaku Sesak. Keringat dinginku keluar. Aku merasa badanku sangat hangat. Tapi tetap aku paksakan diri ke mall sendirian. Mungkin karena kurang tidur saja pikirku.

Aku pun masuk ke Gramedia. Hendak mencari sebuah buku. Saat sedang asik membaca, perlahan pandanganku kabur. Buku yang kupegang terjatuh. Aku memegang seorang perempuan di sampingku. Lalu akhirnya terjatuh, tak sadarkan diri.

Aku tak tahu persis apa yang terjadi setelah itu. Aku pikir hidupku sudah berakhir. Ternyata Tuhan masih memberiku waktu.

Ketika sadar, aku sudah berada di ruang ugd. Terdapat jarum infus ditangan kiriku. Ada pula alat bantu pernafasan di hidungku. Dadaku terasa masih sesak. Setelah itu, akupun dirawat di rumah sakit hampir 20 hari. Dokter mendiagnosa tipes. Sehari sebelum SPMB, aku minta keluar. Aku mengikuti SPMB dan dinyatakan lulus di Unhas.

Dari kuliah hingga jadi anak Mapala

Awal kuliah adalah salah satu momen terberat dalam hidupku. Tipesku masih sering kambuh. Beratku turun drastis saat itu. Apalagi ospek yang mengharuskan banyak hal. Namun perlahan, tubuhku mulai mengikuti ritme. Gejala tipesku perlahan mulai menghilang. Dua tahun setelah masuk, aku menantang diri masuk Mapala.

Pendakian Mendekati Maut

Sejak awal mangenal mendaki gunung, semua terasa menyenangkan. Bahkan itu menjadi candu. Ada hasrat yang terus memanggil. Hingga pendakian di Gandang Dewata yang membuatku berpikir.

Saat turun dari pendakian salah satu gunung mistis itu, kesehatanku menurun. Demam tinggi, disertai diare dan terus muntah. Tak ada satupun makanan yang bisa masuk. Semua otomatis keluar. Badanku jadi lemas. Bahkan untuk membawa diri berjalan saja sudah tak mampu.

Beberapa kali aku meminta berbaring sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung terakhir. Perjalanan hari itu betul-betul terasa seperti hidup dan mati. Jika mengingatnya saja, aku kadang merinding.

Saat tiba di kampung terakhir, tim langsung mencari bis tercepat pulang ke Makassar. Demamku mencapai 40 derajat. Badanku makin lemah karena tak ada makanan pun yang masuk. Sepanjang perjalanan di bis menuju Makassar, aku berada pada masa sadar dan tidak sadar. Dan sesampai di Makassar, aku terpaksa di rawat di rumah sakit lagi.

Saat di puncak Gandang Dewata

Baca Juga : Data Gunung Gandang Dewata

Sakit Perut Menahun

Sejak hari itu, sakit di bagian perutku terjadi setiap hari. Hanya level sakitnya saja yang membedakan. Kadang ia hanya dilevel satu hingga tiga yang membuatku tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Ada kalanya levelnya naik jadi 4 hingga 6 yang membuatku meringis kesakitan bahkan kadang membuatku hilang konsentrasi. Atau saat level sakitnya sudah berada di level 7 hingga 9. Aku bukan lagi butuh istirahat tapi tidak bisa beristirahat. Bahkan tidur pun kadang tidak bisa karena sakitnya yang sangat mengganggu.

Anehnya, sejak pulang dari gandang dewata itu, aku tidak pernah demam lagi. Alarm tubuhku sepertinya telah mati karena demam yang sangat tinggi saat itu. Sehingga, saat aku mulai kesakitan di level 7 hingga 9, semuanya terlihat biasa saja. Tidak ada tanda fisik berarti. Hanya aku saja yang bisa merasakan sakitnya.

Obat pun jadi teman setia. Ke dokter sudah jadi rutinitas. Bahkan jika tidak ingat repotnya yang menemani saat di opname di rumah sakit. Mungkin sudah banyak kali aku masuk rumah sakit.

Kadang aku berusaha keras agar seperti orang normal. Namun, fisikku kadang tak mampu. Semua selalu berakhir pada keharusan untuk bedrest.

Baca Juga : Jadi Ibu Terbaik

Usia itu Misteri

Adakalanya aku bertanya. Mengapa Tuhan tidak mengambil nyawaku saat momen-momen kematian yang begitu dekat itu. Saat aku meringis kesakitan di level 9. Mengapa Tuhan masih mengijinkanku untuk hidup hingga usia 32 tahun hari ini?

Namun sebesar apapun usahaku untuk bertanya, selalu tak kutemui jawabannya. Ia tetap saja jadi misteri.

Aku hanya berpikiran positif. Mungkin Tuhan masih menginginkanku untuk menebar benih kebaikan lebih banyak lagi. Atau ada misi kemanfaatanku untuk orang lain yang belum selesai.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.