Bagaimana jika remaja pasar bercerita tentang mal?
Pasar Maricaya
Hari Minggu, 14 Januari 2007, musik berirama rock menggoyang Pasar Maricaya. Lagu milik kelompok band J Rock berjudul Ceria yang mengalun itu, berasal dari kios milik Muhammad Asgar. Seolah tak mau kalah, kios milik Firman turut memperdengarkan Breakthrough-nya Nidji. Kedua pemuda ini membuka usaha pakaian bekas, atau di Makassar diistilahkan “cap karung” disingkat cakar. Kios keduanya saling berdekatan.
Mereka mudah dikenali, karena penampilan mereka menyolok dibandingkan pedagang pasar umumnya. Mereka berdandan modis, mengenakan baju ketat atau jaket a la distro, dengan celana jins dengan beberapa bagian yang robek. Hari itu keduanya sedang menjaga kios mereka yang terletak di belakang pasar. Asgar dan Firman adalah anak pasar asli, karena sejak kecil tinggal di Jalan Harimau, yang merupakan bagian belakang Pasar Maricaya.
Beberapa meter dari kios Asgar dan Firman yang menyajikan musik rock, dari dalam pasar terdengar alunan musik dangdut. Dua remaja lainnya, Ratna dan Jumriah sedang berjualan ditemani alunan lagu dangdut yang mendayu. Kedua remaja berusia belasan ini membuka usaha jamu dan kosmetik. Dandanan meriah disesuaikan dengan jualan mereka. Bedak, lipstik dan perona pipi melekat lengkap di wajahnya. Ratna dan Jumriah berkaus ketat dipadu celana jins, keduanya tampak trendi di antara lalu-lalang pembeli yang rerata adalah kaum ibu.
Seorang remaja lainnya, Ahmad, hari itu juga menggelar dagangannya ditemani lagu lembut romantis milik Ada Band. Ia sibuk menunggui kios sendal dan sepatu miliknya.
Rajin ke Mal
Kios-kios di pasar milik remaja itu memang mengundang perhatian. Kios mereka riuh dengan alunan musik, dan penjualnya melakukan usaha tambahan untuk tampil modis. Nah, dari segi penampilan, mereka ini tak ada bedanya dengan remaja mal. Saat bercakap-cakap dengan kelima remaja pasar ini, mereka bahkan mengaku bahwa intensitas mereka ke mal memang lumayan tinggi, seminggu sekali bahkan ada yang hampir setiap hari ke mal sekedar untuk jalan-jalan.
Mal memang sudah menjadi magnet, termasuk bagi para remaja pasar ini. Mereka menyebut mal sebagai tempat gaul. Di Makassar saat ini terdapat mal di semua tempat strategis. Ada Mal Ratu Indah di Jalan Ratulangi, yang tak jauh dari Pasar Maricaya, di bagian timur kota ada Mal Panakukang yang tak pernah sepi pengunjung, ada MTC di depan Lapangan Karebosi, dan juga ada Mal GTC di kawasan pemukiman elit Tanjung Bunga.
Saat saya tanyakan pendapat mereka tentang perbedaan pasar dan mal, kelima pedagang remaja ini memiliki jawaban beragam. Jumriah, remaja yang lulusan SMP melempar argumen, ““Pasar itu tempat kumpul dan belanjanya ibu-ibu, tapi di mal pembelinya beragam, ada juga pembeli cowok,” ucap gadis penggemar Marshanda dan Baim Wong ini, dengan nada malu. Soal pasar sebagai tempat kumpul ibu-ibu ini pun pun dibenarkan Asgar, pemuda berusia 21 tahun, sambil memberi jawaban tambahan, bahwa pasar adalah sebuah tempat terbuka dan mal tempat yang tertutup.
“Pasar adalah tempat mendapatkan kebutuhan sehari-hari, sedangkan mal adalah tempat mendapatkan barang lainnya yang tidak di dapatkan di pasar,” ujar Firman.
Lain lagi pendapat Idrus, pemuda yang doyan makan nasi goreng ini mengungkap bahwa pasar adalah milik golongan menengah ke bawah sedangkan mal hanya milik golongan elit.
Baca Juga: Ratapan Pejalan Kaki
Tergantung mood
Hal lain yang membedakan pedagang remaja ini dengan pedagang pasar lainnya karena sebagian besar dari mereka membuka usaha adalah untuk menambah penghasilan sekaligus mengisi waktu. Tidak seperti pedagang lain yang berjualan dari pagi sampai sore, biasanya mereka hanya berjualan setengah hari. Bahkan beberapa di antaranya membuka usaha sesuai mood alias sesuka hati. Meski tak ada satu pun yang ingin menyebut angka pasti hasil penjualan mereka, tapi menurut mereka uang hasil berdagang di pasar sangat cukup untuk uang jajan dan ongkos ke mal.
Mungkin, karena kepemilikan dan sumber modal usaha tersebut tidak berasal dari mereka sendiri, sehingga mereka tidak terbebani mengejar balik modal seperti pedagang yang berdagang dari pagi hingga sore. Asgar, Firman dan Ahmad misalnya mendapatkan modal usaha dari orang tuanya, sementara Jumriah yang berdagang kosmetik mengaku menjaga dagangan pemilik usaha. Beberapa pedagang usia muda yang saya temui di pasar ini ada juga yang mendapatkan modal dari koperasi, dan pedagang semacam ini yang tampak lebih giat dibanding pedagang remaja lainnya.
Secara sederhana, rutinitas para pedagang pasar usia remaja ini memang hanya berkutat di pasar dan bersenang-senang mengisi masa muda setelah lelah berjualan. Mereka sudah tidak lagi melanjutkan pendidikan, dan pasar justru dilihat sebagai pijakan awal untuk menentukan kehidupan mereka selanjutnya. Tentunya, pasarlah yang menjadi tempat awal untuk menempa jiwa wirausaha mereka.
Cita-cita dan harapan juga hadir dalam diri para remaja pasar ini. Dari usaha kosmetik dan jamunya, Jumriah berharap dapat membahagiakan orang tuanya. Idrus yang berjualan pakaian bermimpi suatu saat bisa membuka usaha di mal. Ahmad yang berjualan sendal dan sepatu bahkan memimpikan dirinya menjadi konglomerat. Firman yang mengidolakan Nicholas Saputra dan Indra Bekti ingin mencari pekerjaan lain selepas menjadi pedagang pasar. Sedangkan Asgar lebih fokus pada usahanya sekarang, dengan harapan agar bisa berkembang pesat.
“Saya kira, kita mau kasih ka` modal” ucap Asgar berseloroh di akhir perbincangan kami. Saya hanya tersenyum. Dalam hati, saya tentu merasa tak ada apa-apanya dibandingkan para pengusaha remaja yang mandiri ini. Saya ini mahasiswa yang masih mengemis kepada orang tua.