Hari itu Sabtu, 8 Desember 2007, panas kota Jakarta begitu menyengat. Gerah sekali. Riuh rendah suara musik dengan lirik yang meneriakkan kondisi sosial masyarakat berperang dengan deru mesin kendaraan di Jalan Proklamasi, Jakarta.
Lantunan lagu yang dimainkan para pemusik jalanan itu terdengar merdu, di antara padatnya lalu lintas di kawasan itu. Hari itu, kemeriahan suara gitar, gendang dan tepuk tangan di dalam kawasan Taman Tugu Proklamasi, mampu menjadi magnet bagi ratusan warga kota.
Nol Sampah
Boneka-boneka kecil dari kain perca ditampilkan di sisi kanan kiri jalan memasuki taman. Peringatan untuk mengurangi penggunaan kantong kresek yang sulit terurai dan menggantikannya dengan kantung kertas dan kain, tampak tegak berdiri di tengah jalan. Beberapa orang relawan terlihat memegang beberapa kantong kertas untuk dibagikan kepada siapa saja yang hendak berbelanja di tempat ini.
Kegiatan ini memang dirancang sebagai kegiatan “nol sampah”. Tempat sampah yang memisahkan jenis sampah menjadi organik, anorganik serta sampah kertas tampak hampir di seluruh penjuru tempat kegiatan. Di atas tempat sampah tersebut, sudah tertulis keterangan jenis sampah apa saja yang yang menjadi kategori masing-masing serta cara pengelolahannya.
Sajian musik dari pengamen jalanan kerap diselingi penyampaian agar tetap menjaga kebersihan dan memisahkan sampah pada tempatnya. Kampanye untuk mengurangi sampah juga terbaca poster-poster yang tersebar di seluruh taman.
Bahan-bahan yang digunakan pun, sejauh mungkin menggunakan bahan-bahan alam yang dapat didaur ulang. Makanan disajikan dengan anyaman bambu dialasi daun pisang, tak hanya melindungi diri dari bahan-bahan kimia yang berbahaya tetapi juga mampu menunjukkan kebebasan akan dominasi modal besar.
Berbagi Ruang
“Rakyat Miskin Kota Berbagi Ruang Menyapa Indonesia. Kalimat itu terbaca di sebuah spanduk dengan ukuran 2×3 meter diikuti agenda acaranya. Saya terhenyak, mengingat mata kuliah di kampus tentang konsep ruang, khususnya yang bernama ruang sosial. Ruang semacam ini definisikan sebagai suatu tempat bagi individu atau kelompok untuk berdialog, saling mengisi untuk menemukan keseimbangan.
Ironisnya, ruang semacam itu memang sejak lama telah di beri sekat-sekat. Yang terjadi, ruang sosial menjadi korban kepentingan yang saling tumpang tindih, tarik ulur bahkan bertabrakan. Apa yang kita saksikan di jalan raya dan di ruang publik adalah hilangnya kemampuan berkomunikasi berdasarkan logika, kepedulian dan etika bermasyarakat, terganti kemacetan dan kebuntuan massif.
Kita semua secara langsung atau tidak menjadi pendukung kondisi terpuruk yang busuk ini. Terpaksa atau sukarela, kita telah memperkuat sistem sosial yang terkungkung dalam ruang tersebut. Sadar atau tidak sadar, rakyat miskin menjadi penanggung terberat akibat semua ini. Kelompok miskin adalah warga kota yang tak dipeduli, tidak diakui dan tidak terpenuhi hak-hak konstitusional mereka. Lebih ironis lagi, sebagian dari kita bahkan hanya menjadi penonton yang sangat kritis, kala sesama warga miskin diadu untuk kepentingan elit penguasa.
Hari itu mereka, kelompok periferial itu, menciptakan ruang bersama, saling menyapa dan bercerita tentang kelenturan dan kekuatan semangat hidup, berbagi energi kreatif dan kepedulian untuk saling belajar memberi dan menerima, berdialog dan berdiskusi untuk menemukan solusi mendasar bagi kehidupan bermasyarakat yang lebih adil dan beradab. Saya yang hadir di tengah-tengah mereka, sungguh terharu.
Kegiatan yang berlangsung sejak tanggal 4 Desember 2007 hingga 10 Desember 2007 ini dilaksanakan oleh Urban Poor Linkage Indonesia dalam rangka menyambut Hari Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember 2007. Acara terdiri atas diskusi, workshop, kesenian dan pameran. Lima belas simpul UPLINK Indonesia mendirikan stand untuk menampilkan hasil kerajinan masing-masing.
Bersama Marco Kusumawijaya, Bruno Dercon (UN Habitat), dan Wicaksono (IAI) workshop hari pertama membahas tentang arsitektur dan tata kota, dalam kaitannya dengan ruang sosial. Sayang saya tak sempat mengikutinya. Pelatihan batik dilaksanakan untuk memberikan soft skill bagi rakyat miskin. Pelatihan obat alternatif dan pijat relaksasi menjadi kegiatan yang sangat menarik, di mana kian banyaknya lulusan dokter setiap tahun ikut ambil bagian. Kegiatan ini tidak hanya melihat sisi ekonomis tetapi mampu menciptakan ruang sosial yang sangat baik. Kala kita ke dokter, keluhan disampaikan dan obat pun di berikan. Pijat refleksi memberikan ruang bersama, untuk saling menyapa, saling peduli, saling belajar untuk mewujudkan keadilan sosial yang menjadi salah satu sila dasar negara.
Tak terasa hari telah berganti malam. Lantunan lagu-lagu sederhana dengan lirik protes sosial yang dalam, masih mengalun menyemarakkan malam. Aksi teaterikal mengenai pembakaran pasar yang disengaja menutup acara dengan sambutan meriah. Patung Soekarno Hatta membaca Teks Proklamasi pun sepertinya tampak menikmati malam Minggu dalam suasana berbagi ini. Hari itu, ada keadilan sosial bagi rakyat miskin yang disuarakan, ditumpahkan, dan mengetuk-ngetuk pintu kesadaran kita, kaum mapan yang sering tak peduli.