Ada rasa malu luar biasa yang berkelebat di hati saya, di kala sebuah mal baru begitu riang membuka diri. Makassar Town Square yang lebih keren di sebut M’Tos telah dibuka untuk umum sejak tanggal 26 September. Bagi saya, seorang mahasiswa yang mendalami perencana wilayah kota, pembukaan mal baru ini merupakan pukulan yang amat dahsyat.
Wacana mengenai mal ini terus menggema di sudut kota, bukan hanya karena kemegahan bangunan dan lokasinya, tetapi juga implikasi yang ditimbulkannya. Macet sepanjang hari adalah salah satu di antaranya.
Pembangunan mal ini memang sangat fenomenal. Dilihat dari sudut pembagian wilayah dan fungsi kota, tentu mal ini telah menyalahi aturan. Lokasi Tamalanrea dalam pembagian tersebut diperuntukkan sebagai wilayah pendidikan (perguruan tinggi) dan pemukiman. Pangsa pasar yang ingin didekati mal ini tentu jelas, mahasiswa dan civitas perguruan tinggi.
Godaan bagi mahasiswa
Bagi mahasiswa di Tamalanrea, sekarang mereka sudah bisa berkata: “Ada mal di dekat kampus..”. M`Tos memang menggiurkan dengan kehadiran Ramayana, Studi0 21, Cafe Black Canyon, Dunkin Donuts, KFC, dan beberapa gerai lain yang sangat menggoda konsumen kalangan muda. Saya tiba-tiba teringat, bagaimanakah warung internet dan taman baca berbasis komunitas yang cukup banyak tersebar di Tamalanrea akan bersaing dengan M`tos. Apakah mahasiswa lebih banyak tersedot ke mal, yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari kampus? Pola hidup hedonis dan konsumtif akan makin gencar menyerang saraf otak mahasiswa. Ajakan antar mahasiswa, “Yuk, ketemuan di M`tos saja!” akan semakin sering terdengar.
Dilihat dari sudut pandang ekonomi, lokasi mal ini memang sangat strategis. Pembangunannya di Jalan Perintis Kemerdekaan menargetkan konsumen yang berada di timur kota Makassar. Apalagi sebagian besar daerah timur adalah pemukiman, maka jumlah penduduk yang akan digaet tentu sangat banyak.
Pada soft opening hari pertama, ratusan orang berjejal luar biasa. Sejak pagi hingga malam, ribuan orang memenuhi mal tersebut. Memang begitulah, tempat baru selalu mengundang rasa penasaran.
Beberapa masalah
Dari analisa transportasi, M’tos sebenarnya menimbulkan masalah. Letaknya yang berdekatan dengan Alfa Toko Gudang Rabat dan Harapan Baru Departement Store, menciptakan titik kemacetan di Jalan Perintis Kemerdekaan, yang menjadi poros utama akses ke dalam dan ke luar kota. Pengguna jalan akan memperlambat laju kendaraan dan volume kendaraan di titik tersebut akan meningkat. Hal ini diperparah dengan adanya pengalihan fungsi jalan di depan mal menjadi lahan parkir yang dapat memperkecil lebar jalan. Ironisnya, jalur pedestrian tak ditemukan di depan mal ini. Kalau begini keadaannya, ke mana gerangan pertimbangan kemanusiaan pembangunan mal terkeren yang tak berpihak pada pejalan?
Untuk masalah lingkungan, mal ini terletak di sempadan sungai yang seharusnya menjadi daerah resapan air. Bukan rahasia lagi, daerah Tamalanrea kerap menjadi langganan banjir di musim hujan. Hal ini di sebabkan menjamurnya rumah toko (ruko) di sempadan sungai yang seharusnya menjadi daerah resapan. Akibatnya, air hujan tidak lagi terserap ke dalam tanah tetapi mengalir ke sungai sehingga menyebabkan naiknya volume air sungai.
Kita sama-sama menyaksikan, kesalahan pembangunan di Kota Makassar yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, terulang lagi.
Sebagai seorang mahasiswa perencana kota yang menekuni begitu banyak teori tata kota yang manusiawi dan ramah lingkungan, saya justru bersedih di hari pembukaan M`tos. Mengapa begitu banyak pengambil kebijakan dan pemilik modal yang seakan buta dan bisu melihat fenomena kerancuan tata ruang kota ini? Seakan ini adalah hal yang wajar dan pantas di terima. Hati saya menangis. Di hari pembukaan M`tos, saya adalah mahasiswa perencanaan kota yang telah kehilangan taring. Tak berdaya.
Tulisan ini juga di muat di panyingkul