Kegiatan kami sejenak terhenti, saya yang sedang membaca Koran pun melipatnya, memasukkan kembali ke kantong di belakang kursi. Takkala sang pramugari menyampaikan peringatan untuk mengenakan sabuk pengaman, lampu peringatan sabuk pengaman pun terlihat memancarkan cahaya merah. Lampu di dalam pesawat di padamkan. Dari kaca jendela, jelas kami melihat lautan lampu berkilat-kilat, warna-warni, terhampar memenuhi segala penjuru kota.
Pesawat menurunkan bannya, menggetarkan seluruh penumpang. Belum juga kami stabil akibat getaran itu, hentakan tiba-tiba menghujat, mengejutkan, mengagetkan. Pesawat telah mendarat. Alat transportasi udara itupun melaju kencang di atas aspal mengikuti barisan lampu di samping kanan kiri jalan. Kecepatan semakin surut, tulisan Jakarta Soekarno Hatta kini terbaca jelas di depan mata. Akhirnya kami tiba di ibukota negeri ini. Berlima, kami akan habiskan hari-hari dan mengukir cerita berkesan di tanah betawi ini.
Langkah-langkah cepat berpijak di ubin bandara. Entah mereka sedang mengejar ataukah dikejar waktu. Senyum kami terulas, memberi isyarat untuk isi hati masing-masing. Begitu banyak manusia yang berdiri di teras bandara termasuk kami bersama dengan daypack masing-masing. Tiba-tiba seorang perempuan mengagetkan Ade dari belakang. Rupanya dia adalah teman Agus. Tingginya sekitar 150-an cm dengan berat badan 55kg. Rambutnya di ikat ekor kuda, menyisakan poni yang biarkan jatuh ke samping. Wajahnya tampak begitu ramah dengan senyum yang senantiasa terukir di wajahnya. Sorot matanya yang mencerminkan wataknya yang keras tertutup kacamata. Sekilas ia tampak seperti Eno Lerian kala tersenyum. Namanya Nadya, dia seorang geologist dari Trisakti.
Perjalanan kami lanjutkan ke station gambir sesuai instruksi Kak Nawir, seorang panitia kegiatan yang akan kami hadiri. Sebuah taksi menabrak seorang pria yang sedang menyebrang hingga terjatuh, menyita perhatian kami tetapi kedatangan bus membuat kami tak tahu kisah selanjutnya dari peristiwa itu. Seluruh tempat duduk telah terisi memaksa kami untuk berdiri. Badan bergoyang mengikuti injakan gas dan rem damri. Sesekali satu dan lainnya saling bertatapan dan melemparkan senyum.
Jalanan berlapis-lapis bernama fly over berulang kali kami lewati. Di bawah sana, kendaraan lain tampak masih merayap di atas aspal hitam meski waktu telah lewat dari jam 10 malam. Durasi kehidupan di kota ini memang sangat panjang bahkan tak ada waktu yang tersisa lagi, semua telah di lahap habis oleh aktivitas masyarakatnya.
Kami tiba di gambir. Monas, landmark kota Jakarta, tampak menjulang tinggi, mencakar langit malam yang gelap. Mengikuti Nadya, kami keluar dari station dan melanjutkan perjalanan berikutnya. Berdiskusi sejenak, jajakpun memutuskan kami melanjutkan perjalanan dengan taksi menuju tugu proklamasi. Sebuah taksi akhirnya terpilih dan harus sesak dengan enam orang sekaligus. Berdua dengan Nadya saya duduk di depan dan keempat pria itu duduk di belakang.
Kami tiba di tugu proklamasi. Kak Nawir dan satu orang lagi menyambut kedatangan kami. Beberapa boneka kecil dari kain perca tampak bergelantungan disana-sini. Di sebelah kanan tampak boneka yang lebih besar. Kami pun dipersilahkan duduk di stand milik uplink Makassar. Berdiskusi masalah kota dan permasalahan lainnya.
Malam semakin larut, kami ingin beristirahat sejenak setelah perjalanan lumayan panjang. Keempat lelaki itu menginap di Wismarini UI sedangkan saya menginap di rumah Nadya.