Rambutku yang di ikat ke atas menyisakan anak rambut yang tergerai di wajah dan leherku. Angin merasakan kehadiranku. Ia menyapaku lembut, perlahan di tiupnya helai anak rambut itu.
Aku menatap ke atas langit, tampak hamparan selimut hitam menutupi malam. Sebuah bintang tampak bersinar di antara langit kelam. Meski nelangsa namun mampu mebiaskan temarang harapan. Layaknya sebuah harapan yang dipancarkan di antara hamparan yang kelam.
Malam ini kembali kuharapkan kehadiranmu wahai bintangku. Tiap malam, engkau menghiasi malamku. Engkau mampu mengirimkan cahaya yang benderang dan mengalahkan beribu bintang lain yang terhampar. Beribu bintang itu hanya mampu menemaniku sekejap setelah itu pergi bergitu saja, namun engkau? Sepanjang malam mengisi kekosonganku yang menyiksa.
Terbiasa mendapatkan cahayamu setiap malam membuat hatiku hampa, ragaku sunyi, tanpa kehadiran. Suatu hari, cahayamu memudar, tak seterang biasanya. Apakah kau bosan menyinari malamku? Gundahku dalam hati. Tetapi, makin lama cahayamu kembali terang. Kebahagian luar biasa kurasakan saat itu.
Bahkan, suatu hari, engkau pernah menghilang entah kemana. Ada rasa rindu yang menyesakkan bila pendar cahayamu tak tampak. Aku mendekap lututku erat mencoba melawan nelangsa yang makin menyiksa. Aku tertunduk memaksa menutup mata mengalahkan rasa sepi yang makin menjadi-jadi. Aku menyiksa diri mengobati rasa yang tak aku tahu apa namanya. Aku merindukanmu, aku menanti kehadiranmu. Kebiasan rutin yang coba kau biuskan dalam aliran darahku, seolah menjadi candu yang membuatku sakaw ketika tidak mendapatkannya. Dan detak jantungku kembali normal ketika engkau datang menyuntikkan harapan dalam aliran darahku.
Tiba-tiba saja, ada rasa takut yang menghantuiku. Cahayamu memudar saja, aku menjadi sangat gelisah apalagi semalam kau tak menghiasi langit hitamku, aku merasakan kekosongan yang sungguh menyiksa. Hanya semalam aku bisa amat tersiksa. Bagaimana jikalau kau tak mau menyinari malamku lagi untuk selamanya? Malam itu, kau mengirim isyarat seolah akan pergi meninggalkanku. Penuh gurat kecewa aku bertanya, engkau akan meninggalkanku???
Suasana hening…
Lama aku menunggu jawabmu tetapi tak jua kau berucap. Seketika kau tertawa, terbahak dengan renyahnya. Aku kaget dengan respon itu. Memang kau tertawa namun pendar cahayamu mengirimkan isyarat keharuan.
“Aku terharu mendengar pertanyaanmu”
Suasana kembali hening. Aku pun diam, hanya mengadahkan kepala menatapmu di atas sana menunggu kelanjutan kalimatmu.
“Aku hanya bintang biasa, tidak seterang bintang lainnya, tak secerah lainnya, dan kau takut di tinggalkan olehku? Begitu berartikah diriku? Begitu penting kah?”
Kembali keheningan menguasai.
“Jika kau menganggap dirimu bintang biasa, itu terserah dirimu. Memang, banyak bintang yang lebih terang darimu bahkan sangat banyak tetapi mereka memancarkan cahaya di selimut langit sesuka hati, hanya kau yang setia menyinariku setiap malam. Kau tak bosan menetap disana. Kau ikuti kemana bumi ini berputar agar bisa tetap menampakkan cahayamu di hadapku. Di hadapku? Ah… mungkin aku terlalu GeeR jika aku mengatakan kau memancarkan sinar ini hanya untukku, mungkin cahaya serupa kau peruntukkan buat lain. Tetapi biarkan aku menikmati cahayamu. AKU TAKUT KEHILANGANMU”
Aku dan kau kembali diam menikmati malam.
“Setiap malam aku berusaha untuk dapat bersinar, tulus kepada siapa saja yang ingin menikmati cahaya yang kusinari untuk malam yang kelam. Namun, hanya kamu yang betah memperhatikanku setiap malam. Bertanya ketika aku redup dan mencari jika aku hilang. Tidak seperti yang manusia lainnya, yang dengan mudahnya mencari bintang lain ketika bintangnya meredup dan hilang. Aku berjanji tidak akan berhenti menyinari malammu dengan cahayaku.”
Aku terpaku. Kaget sekaligus terharu. Aku merasakan air mata mengalir di pipiku. Entah tangis bahagia ataukah tangis kesedihan. Aku merasakan goncangan yang sangat hebat, sebuah rasa yang menyesakkan namun mampu membuatku tersenyum bahagia.
“Hentikan tangismu. Yakinlah, meski cahayaku tak tampak di kala siang, meski aku tak menampakkan diri di kala malam, tetapi aku tetap ada disini menemanimu. Selamanya…”
Kembali angin berhembus, menggerakkan gerai rambut di wajahku, seolah menjadi saksi atas apa yang kau katakan malam ini, wahai bintangku.