Dusun Angin-Angin

      Tak ada komentar pada Dusun Angin-Angin

Cerita tentang Dusun Angin-Angin di kaki gunung Latimojong

Suara azan subuh menggema merdu dari satu-satunya mesjid di dusun ini. Suasana religius terasa kental, ketika masyarakat berbondong-bondong menunaikan salat berjamaah di mesjid. Perlahan sang fajar mengintip di balik gugusan pegunungan, menciptakan lukisan cakrawala yang sungguh mempesona. Dusun itu bernama Angin-angin, Desa Latimojong, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Untuk tiba di Dusun Angin-angin, perjalanan ditempuh dari Kota Makassar sejauh 200 km menuju ibu kota Enrekang. Dari sini, perjalanan dilanjutkan sejauh 30 km menuju ibukota Kecamatan Baraka. Perjalanan selanjutnya dapat ditempuh dengan menumpang sejenis mikrolet hingga Desa Buntu Dea lalu berjalan kaki selama kurang lebih dua jam menuju Angin-angin. Alternatif lain, kendaraan truk juga dapat digunakan dan akan mengantarkan kita dari ibukota kecamatan langsung ke dusun itu. Namun kedua angkutan ini hanya ada pada hari pasar, Senin dan Kamis. Angkutan lain adalah ojek, tentu dengan ongkos yang jauh lebih mahal.

Dusun dengan jumlah penduduk 110 kepala keluarga ini berada di ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut dengan pola permukiman menyebar. Hubungan sesama warga sangat akrab karena saling mengenal. Mata pencaharian bersifat homogen yaitu berkebun kopi dan bertani bawang. Ini ditunjang oleh tingkat curah hujan rata-rata 94,6 milimeter per tahun.

Beberapa bocah yang berlarian menuju sebuah sekolah seolah memanggil saya untuk turut “bersekolah” pagi itu. Dari rumah salah seorang penduduk bernama Ambe Suhaeni, yang terletak di bukit, memang jelas terlihat gedung sekolah itu di bawah sana. Dengan penuh semangat saya pun meninggalkan rumah.

Dekat di mata, jauh di kaki — mungkin itu yang bisa saya gambarkan dari perjalanan menuju sekolah pagi ini. Namun hiruk pikuk beberapa murid mampu menepis sedikit demi sedikit rasa lelah tersebut. Beberapa di antaranya berdiri kaku menatap saya, sedangkan kerumunan yang lain asyik dengan kegiatannya masing-masing.

Mungkin ini adalah pesantren, demikian dugaan saya. Seluruh siswa perempuan menggunakan kerudung. Beberapa saat kemudian seorang guru, Ibu Ijah, menjelaskan bahwa semenjak kecil anak perempuan di daerah ini memang sudah dibiasakan untuk menggunakan kerudung. Suasana religius tersebut ditanamkan semenjak dini.

Sekolah dengan murid 125 orang ini memiliki dua bangunan dan sebuah lapangan olahraga. Bangunan pertama dengan kondisi yang cukup baik, berlantai semen, beratap seng, berdinding kayu dengan cat putih dan biru, terdiri atas tiga kelas. Ruang kelas pertama untuk siswa kelas 1 dan 2, ruang kelas kedua untuk kelas 5 dan ruang kelas ketiga untuk kelas 6.

Bangunan kedua kondisinya cukup menyedihkan. Beratap seng dan masih beralaskan tanah. Gedung yang terbangun dari hasil swadaya masyarakat ini, sebenarnya belum layak dijadikan ruang kelas. Seluruh dinding belum tertutup papan. Bila hujan turun beberapa sudut masih terkena percikan air.

Tiga meter dari gedung sekolah terdapat sebuah rumah kayu yang mungil, rumah Ibu Ijah. Selain sebagai tempat tinggal, rumah ini juga berfungsi sebagai ruang guru dan kantor kepala sekolah.

Dengan ramah, Kepala Sekolah Hasrul Sani menyambut saya. Ia pun berkisah bahwa dirinya adalah kelahiran Rantelemo, dusun yang juga merupakan bagian dari desa Latimojong. SD Angin-angin memiliki satu kepala sekolah dan tujuh guru, tiga di antaranya guru honorer. “Hari ini dua guru lagi tidak hadir,” ucap Hasrul Sani sambil menggeleng kecil memberi isyarat kekecewaan.

Di antara delapan tenaga pengajar, hanya dua yang tinggal di dusun sekitar dan yang lainnya tinggal di desa lain sehingga harus menempuh perjalanan selama satu hingga dua jam menggunakan sepeda motor dengan medan yang tak mudah. “Kalau musim hujan mereka jarang datang karena jalanan becek dan rusak,” Hasrul Sani menambahkan. Kisah guru desa seperti ini memang sudah banyak diberitakan, namun baru kali ini saya melihatnya dengan nyata.

Tapi haruskah alasan ini yang membuat pendidikan bocah di Dusun Angin-angin terhambat? Dengan mimik serius, Ibu Ijah turut bercerita, bukan hanya tantangan alam yang berat yang harus dihadapi bersama rekan-rekannya tetapi pola pikir masyarakat sekitar juga menjadi tantangan yang berarti. Sebagian orangtua murid masih buta huruf.

SD ini menjadi satu-satunya sekolah di dusun itu, sehingga untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, mereka harus merantau ke ibukota kecamatan. Beberapa orangtua tidak membiarkan anaknya melanjutkan sekolah dan lebih memilih mengajaknya untuk berkebun atau dinikahkan.

Pada dasarnya masyarakat dusun ini tidaklah berkekurangan. Setiap panen kopi, dusun ini bisa menghasilkan 3.000 sampai 5.000 ton kopi. Namun sayang, pengetahuan masyarakat yang masih kurang membuat perekonomian mereka tergantung pada pedagang pengumpul dan pengelola kopi. Sehingga Kopi Enrekang yang terkenal mempunyai kualitas yang baik, dihargai tidaklah seberapa.

Di tengah riuh rendahnya suara anak-anak sekolah itu, saya berandai-andai, alangkah baiknya jika anak-anak di Dusun Angin-angin secara berkesinambungan menerima pelajaran. Alangkah senangnya jika mereka dapat belajar dengan nyaman, dan jika masyarakat setempat kian menyadari pentingnya pendidikan. Suatu hari kelak dengan bangga mereka sendiri yang akan memperbaiki jalan menuju kampungnya. Mereka sendiri yang akan membangun gedung sekolah yang baik. Suatu hari nanti mereka sendiri yang akan mengelola dan memasarkan hasil kebun kopi dan bawang kampung mereka secara lebih baik.

 

0 thoughts on “Dusun Angin-Angin

  1. mhoddonk

    ini kampung saya di enrekang….

    anda siapa ya…

    saya Inar, pernah mampir di kampung Anda beberapa hari, tapi saya sangat menikmati kampung ini.

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.