Kawasan Panakukang, Makassar, identik dengan perumahan elit dan pusat bisnis yang kian berkembang. Hingga 20 tahun lalu, tak ada yang menyangka kawasan yang dahulunya merupakan sawah tadah hujan, sumber pangan masyarakat kota, akan berganti wujud menjadi hutan beton. Sesuai namanya, wilayah yang sudah berubah drastis ini pun jadi tempat yang selalu dirindukan. Akankah selalu begitu?
Konon Daeng Ri Tidung, putra Raja Tallo ke-8, I Mangngiyarrang Daeng Makkiyo tak mau lagi menetap di istana Kerajaan Tallo, sekembalinya dari belajar agama Islam di Luwu. Raja Tallo pun memberinya sebuah wilayah yang kini disebut Panakukang. Orang-orang istana yang merindukan sang pangeran, kerap mengunjunginya ke sana. Dari sinilah nama Panakukang bermula. Panakukang dalam bahasa Makassar berarti “yang dirindukan”.
Waktu bergulir, kawasan yang tadinya secara administratif masuk Kelurahan Masale, mulai dikenal sebagai Kampung Pannyikkokang. Kampung kecil yang kurang berpenghuni ini tersohor pula sebagai tempat mengeksekusi pencuri yang tertangkap di kampung sekitarnya, seperti Tamamaung, Borong, Kassikassi, dan Bontocinde.
Pada tahun 1971, Makassar terus mengalami perkembangan. Kota yang saat itu berubah nama menjadi Ujung Pandang makin diperluas. Luas wilayah kota yang awalnya 25 km2 membengkak menjadi 175 km2. Lahirlah PP No. 51 Tahun 1971 tentang perubahan batas-batas Kota Makassar.
Dalam perencanaan pengembangan kota, wilayah tersebut pun dibagi-bagi berdasarkan fungsinya. Bagian timur laut ditentukan sebagai wilayah industri, bagian selatan untuk pusat rekreasi, dan sebelah timur untuk tempat perumahan (tempat tinggal) utama. Sedang kota (lama) di sebelah barat diperuntukkan sebagai kota dagang. Penduduk semakin berdesakan, kebutuhan pemukiman pun menjadi kebutuhan yang mendesak dalam pengembangan kota saat itu.
Permukiman Baru
Wilayah Panakukang yang saat itu merupakan sawah tadah hujan dengan luas 4.000 hektar mulai dilirik sebagai tempat permukiman baru. Berdasarkan keputusan DPRD tahun 1974, wilayah tersebut pun resmi ditetapkan sebagai pusat permukiman yang konon memenuhi persyaratan hidup sehat dan layak serta lengkap dengan berbagai sarana. Pohon nipa, rapporappo Jawa, dan kelapa, satu demi satu bertumbangan. Begitupun sawah-sawah yang mengelilinginya.
Panakukang menjadi alternatif bagi masyarakat yang mengalami penggusuran dari kota lama (golongan berpenghasilan rendah), maupun untuk mereka yang ingin mencoba tempat tinggal mewah. Karena letaknya jauh di timur kota, saat itu masih banyak yang enggan berpindah. Pada lima tahun pertama, baru 300 hektar yang selesai tergarap. Selebihnya tetap menjadi sawah tadah hujan.
Pengalihfungsian lahan tersebut rupanya berdampak buruk bagi sekitarnya. Parahnya, PT. Timurama yang mengelola kawasan tersebut menimbun hingga ketinggian tiga meter. Seakan marah karena tempatnya diambil, sang air pun mengamuk, banjir terjadi dimana-mana. Untunglah pembuatan kanal cepat dilaksanakan sehingga risiko banjir bisa diatasi.
Panakukang terus melebarkan hutan betonnya di wilayah Toddopuli. Menyediakan kawasan elit bagi hartawan di kota lama hingga jadilah Panakukang Mas, Miranti, Katalia I dan Katalia II, Panakukang Mas Country Club, Panakukang Mall, Panakukang Trade Centre dan Panakukang Square. Kawasan itu sungguh padat dan menyesakkan.
Pak Daniel, seorang pensiunan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengaku membeli tanah yang ditinggalinya sekarang, berjarak 100 meter dari Panakukang Trade Centre, dengan harga Rp2.000 permeter persegi pada tahun 1985. Jalan menuju ke sana masih dihubungkan dengan pematang sawah. Tanpa listrik, tanpa aliran air bersih.
Bandingkan dengan harga rumah yang dipasarkan di Panakukang sekarang. Harga rata-rata sebuah rumah dengan luas bangunan 350 persegi dan luas tanah 600 persegi bisa mencapai Rp2,5 miliar.
Hal ini dipengaruhi oleh pusat perdagangan yang tumbuh secara sporadis di kawasan ini sehingga mempengaruhi harga jual tanahnya. Selain itu, jalur transportasi yang memadai serta prasarana dan sarana lengkap turut menjadi indikator peningkatan nilai lahan ini.
Masalah
Pada awalnya, kawasan ini dimaksudkan untuk mengganti citra kota lama yang semakin semrawut. Menurut penelitian Tri Sutomo, KDB (koefisien Dasar Bangunan) di kota lama telah mencapai angka 80% dan KLB (Koefisien Lantai Bangunan) yang mencapai 3. Kondisi tersebut ditunjang oleh jalan yang sempit dan sarana parkir yang sangat minim. Sangat semrawut. Hal ini tentu sangat menyesakkan. Inilah yang ingin diminimalkan dengan memindahkan sebagian warga ke tempat baru.
Di awal perkembangannya tak ada masalah berarti yang dihadapi, namun kesalahan perencanaan dan penataan kota yang berdampak pada kensemrawutan juga mulai terasa di Panakukang saat ini. Meskipun jalannya lebar namun kemacetan kerap terjadi. Misalnya di Jalan Pengayoman dan Jalan Adhiyaksa yang merupakan langganan macet. Badan jalan yang dijadikan tempat parkir menjadi salah satu penyebabnya.
Bangunan yang monoton dan tanpa identitas menjadi pemandangan yang cepat membosankan. Secara psikologis, ini dapat berdampak buruk bagi masyarakat kota. Masalah lain adalah kurangnya tanaman dan ruang resapan air di antara beton-beton yang berdiri. Tak usah heran bila kita merasa gerah di kala panas dan akan menikmati genangan air bahkan banjir di kala hujan.
Hari ini Panakukang memang masih menjadi tempat yang dirindukan. Tapi bila kesemrawutan dan kemacetan dibiarkan begitu saja, bisa jadi Panakukang menjadi tempat yang mengundang gerutuan karena berbagai ketidaknyamanan tata kota.
Memang sangat merindukan,sejak berdirinya panakukang mall 2002-2003 telah hadir tenant terbaik mall itu,yaitu pizza hut panakukang.yg skrg telah jd dining restaurant terkemuka di area panakukang.tempat rekan2 sy mencri rezkinya.semoga panakukang akan selalu jaya:-)
berarti klo diliat dari sejarahnya. nama sbenarnya pa-nak-ku-kang. klo ndakk salah bhs mks rindu “nakku” bukan “naku”. sottakku. ahahaha..
apakah ada masalah lain?
Sepertinya akan selalu dirindukan.