Athirah, sebuah film terbaru karya Riri Riza dan Mira Lesmana ini boleh saya katakan senyap. Minim dialog dengan alur yang sangat pelan. Hanya melihat tatapan mata, menatap air wajah dan hanya mendengar backsound dan desahan napas pemainnya saja, relung terdalam kita akan tersentuh. Satu kisah lagi tentang dinamisnya kehidupan seorang perempuan, seorang istri, seorang ibu. Kisah perih tanpa harus meratapi dan mungkin hanya dipahami oleh kaumnya. Kisah tentang kekecewaan yang dibalas dengan cara elegan. Kisah tentang khasanah keluarga Bugis. Film yang mengirimkan banyak pelajaran tanpa berusaha menggurui. Ada begitu banyak pesan tersirat di dalamnya. Sedikitnya ada 7 makna yang coba saya ikat setelah menonton film ini.
Seperti biasa, Riri Riza cukup mampu membuat saya terkagum pada visualisasi yang diciptakannya. Kemampuan sinematografi sutradara yang kelahiran Makassar ini memang tidak perlu diragukan lagi. Pemandangan latar yang indah, sudut pandang gambar yang keren, pemilihan properti yang detail, dan karakter setiap pemain yang sangat kuat menjadi ciri khas karyanya. Layaknya karya-karyanya terdahulu, Riri Riza kembali membuat saya penasaran dengan lokasi pengambilan gambarnya. Setiap detail gambarnya sungguh membuat saya terpukau. Wajar jika film ini akan diputar di tiga festival internasional. Pertama di Vancouver International Film Festival (VIFF), kedua di Busan International Film Festival (BIFF) dan ketiga di Tokyo International Film Festival (TIFF).
Tata busana serta make up artisnya pantas diapresiasi. Pakaian khas ibu-ibu bugis di tahun 50-60 an. Sebuah gambaran yang mengingatkan saya pada foto-foto almarhum nenek. Ditambah sarung-sarung sutra yang selain menjadi pengikat cerita juga membuat visual yang dihasilkan terlihat sangat indah. Tata riasnya pun terlihat sangat natural. Tata rias yang makin menguatkan ekspresi wajah pemain yang kadang menusuk sukma.
Karakter bugis makassar terasa lekat di film ini. Backsound lagu-lagu bugis makassar dengan segala alat musik khasnya mengalun sepanjang film. Setiap alunan itu menjadi pengikat pada alur cerita yang lambat. Dialek Makassar dalam dialog tiap pemain pun terdengar sangat natural. Meskipun sebagian pemain bukanlah orang lokal, tetapi mereka mampu berdialog dengan sangat baik tanpa membuat orang asli menertawakannya.
Beberapa aktris yang sudah tidak diragukan lagi aktingnya beradu akting di film ini. Cut mini yang berperan sebagai Athirah dan Jajang C.Noer yang berperan sebagai Mak Kerah, sudah terjamin kualitasnya. Keduanya bermain sangat apik di film ini dan berbicara layaknya native speaker. Peran pemain muda tidak kalah mumpuni. Christoffer Nelwan, Indah Permatasari, Dimi Cindyastira, Tika Bravani dan beberapa nama baru lainnya tampil sangat memukau. Akting Arman Dewarti sebagai Puang Aji juga tidak kalah memberi warna dalam film ini. Sebagai pemain teater, dia tampil luar biasa. Pemain figuran seperti teman sekolah Ucu dan Aisyah, asisten Athirah, pun tampil maksimal. Sejak dulu Riri Riza dan Mira Lesmana memang sangat pandai melihat potensi aktris dan aktor pendatang baru.
Terlepas dari segala hal tentang film ini, saya mencoba mengikat beberapa pesan yang saya tangkap selama 80 menit menonton film ini.
#1 Shalat Subuh Berjamaah
Keluarga dalam film ini digambarkan sebagai keluarga religius. Beberapa scene dalam film ini memperlihatkan adegan Ucu dibangunkan kala subuh telah tiba. Lalu dilanjutkan shalat subuh berjamaah. Sebagai saudagar, mereka memberi gambaran bahwa rejeki harus dijemput sepagi mungkin. Datang lebih cepat ke toko, mengerjakan lebih banyak hal dan kesuksesan usaha mereka pun terbukti.
#2 Menjalin Ikatan keluarga dari ruang makan
Entah ini juga terjadi di tradisi di daerah lain atau tidak tetapi tradisi di meja makan yang digambarkan pada film ini memang seperti yang terjadi di sebagian besar keluarga Bugis. Tentang pallumara dan ikan bakar yang selalu tersedia di meja makan. Tentang aturan tempat duduk. Tentang alat makan tersendiri bagi kepala keluarga, mulai dari piring yang biasanya berukuran lebih besar hingga gelas yang berbeda dari yang lain. Tentang suka cita di meja makan, berbagi cerita yang menguatkan ikatan antar anggota keluarga.
Saya pernah mendengar cerita tentang Nenek Perempuan (di makassar nenek berlaku untuk laki-laki dan perempuan) yang meski sedang ngambek pada Nenek Laki-laki atau lelah seharian mengurus anaknya yang banyak, saat nenek laki-laki pulang dari kantor dia akan tetap menyediakan makan untuk suaminya. Mempersiapkan alat makannya hingga menyajikan makanan dengan tangannya sendiri meski ada asisten yang bisa membantunya. Dalam doktrin keluarga bugis, seperti itulah seharusnya perempuan memperlakukan suaminya, ia harus selalu ada.
#3 Perempuan Harus Mandiri
Meski di tahun 50-60an dominasi patriarki masih begitu lekat, tetapi film ini coba memperlihatkan bahwa selain menjadi istri yang taat pada suami, sebagai perempuan kita harus tetap mandiri. Kita tidak pernah tau kapan suami kita meninggal atau mungkin punya istri yang baru. Memiliki penghasilan sendiri dengan berdagang adalah salah satu contoh bentuk kemandirian. Dengan insting bisnis yang kuat serta membangun koneksi yang sangat baik dengan banyak orang, membuat bisnis sarung sutra yang digeluti ibu Athirah sukses. Insting bisnis ini yang ia wariskan kepada anaknya, Ucu.
#4 Istri Seorang Manajer Keuangan
Sejak hijrah ke Makassar dan memulai bisnisnya dari nol, Ibu Athirah digambarkan sebagai manajer keuangan yang sangat cakap. Sejak awal dialah yang membantu menuliskan setiap pemasukan dan pengeluaran hingga mengatur gaji pegawai.
Begitu pula saat ibu Athirah memulai bisnisnya sendiri. Dengan telaten dia mencatat semua detail pengeluaran dan pemasukannya. Saat bisnisnya sukses luar biasa, dia tidak lupa untuk menginvestasikan uangnya dalam bentuk emas yang ia tahu kelak akan sangat berguna. Hal itu terbukti, saat Indonesia mengalami krisis ekonomi saat itu, emas itulah penolong bisnis mereka.
#5 Menjaga Kehormatan Keluarga
Di era media sosial seperti saat ini, banyak yang berkeluh kesah di halaman media sosialnya. Tidak sedikit yang menuliskan persoalan keluarganya di halaman yang bisa dibaca banyak orang itu. Namun sikap ibu Athirah di film ini bisa jadi teguran untuk kita semua. Meski ada masalah yang merundung keluarganya, ia tetap berbesar hati, menjunjung harga diri keluarga. Salah satu adegan bagaimana ibu Athirah menjaga nama baik keluarganya di suatu pesta sungguh membuat hati saya teriris-iris, perih. Ibu Athirah tidak menangis tetapi saya yang mengeluarkan air mata. Adegan apa itu, silahkan nonton sendiri.
#6 Balaslah Kekecewaan dengan Kerja Keras
Hampir semua orang pasti pernah merasakan kecewa. Ingin menangis tapi rasanya tidak akan menyelesaikan masalah. Di film ini diperlihatkan rasa kecewa itu diolah menjadi suatu yang positif. Karena rasa kecewanya, ia menjadi lebih bersemangat dan membuatnya bekerja lebih keras. Sebuah kekecewaan yang dibalas dengan sangat elegan.
#7 Pikirkanlah Hati Istrimu sebelum berpoligami
Poligami adalah sebuah potret saudagar bugis sejak dulu. HinggaΒ kata “Bugis” dibuatkan akronim “Banyak Uang Ganti Istri”. Poligami di kalangan saudagar bugis bukan hanya masalah syariat tetapi telah menjadi prestise tersendiri. Alasan menambah rejeki, menambah koneksi dan relasi serta berbagai alasan lain memperkuat alasan seseorang lelaki untuk memutuskan poligami.
Tetapi sebelum Anda betul-betul memutuskan untuk berpoligami, pikirkanlah perasaan istrimu. Sebagian besar perempuan tidak kuasa untuk dimadu. Mungkin beberapa diantara mereka akan menerima itu sebagai kodrat tetapi sebagian yang lain menyimpan perihnya sepanjang hidup.
Jika Anda tetap memutuskan untuk berpoligami, mungkin ada baiknya untuk menonton film ini dulu. Mungkin pikiran Anda akan berubah atau mungkin ada tidak akan pernah lagi memikirkan untuk memiliki istri lebih dari satu sebanyak apapun harta yang Anda miliki.
***
Sebenarnya masih banyak pesan yang bisa kita dapatkan dari film terbaru karya Riri Riza ini. Mungkin Anda yang akan menuliskannya setelah menonton film ini di bioskop terdekat. Meski alurnya sangat lambat tetapi film ini sangat layak untuk mendapat apresiasi.
Saya siap2 nobar hari Senin besok
Ditunggu reviewnya kak ^^d
Aku udah ada bukunya baca sekilas. Eh mau nonton pilemnya kok belum sempat. Pengens egera nonton deh π
Ayo mbak, segera di nonton. Biasanya film seperti ini tidak bertahan lama di bioskop
Saya baru baca novelnya. Sudah mewek duluan π penasaran pengen nonton juga. Terima kasih reviewnya
Kalau saya berusaha untuk tidak membandingkan novel dan filmnya, takut kecewa. Hehe. Jadi reviewnya dari segi film saja
Belum nonton athirah. Uang panai’ pun terlewat kemarin :((
Hiks. Semoga ada waktu luang buat nonton athirah ini.
Semoga sempat nonton, ditunggu reviewnya π
Teringat film nya Riri Riza yang berjudul Atambua 90Β°. Juga film senyap. Amat minim dialog, hingga saya yang sibuk menerka2 maksud dari adegan2 tertentu. Ada beberapa adegan yang benar2 senyap sekitar 30 menit.
Iya kak, saya juga sempat nonton film Atambua itu. Hening tapi dalam. Begitu juga film karya Riri Riza, 3 hari untuk selamanya. Minim dialog tapi mata kita sangat terhibur.
Menarik! Layak diperjuangkan oleh Ibu Rumah Tangga yang sudah tahunan gak ke bioskop π
Iya mbak, sekalian ajak suami
Kerennya reviewnya
Pelajarannya banyak
Terima kasih Inart
#iniharusdibacaberulangulang
Masih banyak sebenarnya, tapi pake angka 7 saja. Hehehe
Ehm pesan pentingnya tulisan ini adalah “pikirkan sebelumberpoligami” π
Hahaha… Cucook kak
MasyaAllah skali memang ini film di’ kak
80 menit tapi bisa deskripsinya 8 buku ini hihihihi
Iya di, filmnya singkat tapi kirim banyak pesan
Inart..apa lg judulnya itu lagu yg dia nyanyikan jajang c noer pas adegan dia cerita ttg kelahiran athirah?
Saya lupa juga judulnya Keple. Hehehe
Kayaknya belum pernah nonton,, Jadi penasaran bagaimana alur ceritanya pas ditonton langsung. Hehe