“Nonton film ini tidak usah dipikir, tapi dirasa”
Kalimat itu berulang kali diucapkan Olga Lydia, salah satu sutradara Film Rectoverso yang hadir pada acara Meet&Greet Rectoverso malam ini. Komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis, sebagai salah satu komunitas perempuan yang eksis di Kota Makassar, mendapatkan undangan Meet&Greet sekaligus nonton gratis di Studio 21 Panakukang. Eksistensi komunitas ini bahkan ditunjukkan pada acara pembagian door prize dari useetv, 3 diantara kami yang nonton malam ini, kebagian hadiah. Modalnya hanya percaya diri saja. Hihihi.
Selain Olga Lydia, Marcella Zalianty sebagai produser sekaligus sutradara turut hadir. Dia menceritakan kebanggaannya dapat menyajikan karya seni film Rectoverso ini. Dan yang lebih membanggakan lagi mereka, 5 orang sutradara dalam film ini, adalah perempuan. Sebelumnya mereka tidak pernah menjadi sutradara layar lebar. Marcella memilih teman-temannya yang belum pernah menjadi sutradara semata-mata untuk menampilkan kesan jujur pada film ini.
Adalah Marcella Zalianty yang meyutradarai film Malaikat Juga Tahu, Rachel Maryam yang menyutradarai film Firasat, Cathy Sharon yang menyutradarai Cicak di Dinding, Olga Lidya yang menyutradarai Curhat untuk Sahabat, dan Happy Salma yang menyutradarai Hanya Isyarat. Meskipun semuanya adalah sutradara baru, namun mereka mampu membuktikan bahwa mereka layak diperhitungkan di dunia film Indonesia. Menurut saya, kesuksesan film ini berkat tangan dingin produser, Marcella Zalianty, yang mampu membuat perpindahan setiap film dengan sangat halus.
Film berjenis omnibus ini diangkat dari buku kumpulan cerpen berjudul sama, Rectoverso, karya Dewi Lestari yang juga perempuan. Diksi dan gaya bahasa yang hadir dalam Rectoverso mampu membuat penonton larut dalam rasa. Lagu-lagu yang menjadi bagian buku ini, dinyanyikan ulang oleh penyanyi lain yang menambah warna film ini.
Malaikat Juga Tahu (Marcella Zalianty)
Seratus itu sempurna, tapi kamu satu lebih sempurna
Film ini berkisah tentang Abang (Lukman Sardi) yang menderita autism. Ia tinggal bersama ibunya yang memiliki kos-kosan. Sosok abang ditunjukkan sebagai orang yang melankolis, mampu memainkan musik dengan sangat baik, hanya ingin mencuci baju sesuai warna yang telah ia tetapkan, dan mampu menyusun 100 pembungkus sabun menjadi piramida yang sempurna. Leia sangat memahami Abang dan selalu menemaninya berbincang di taman setiap malam.
Hingga pada suatu hari, adik Abang, Hans, pulang dari luar negeri. Berkenalan dengan Leia membuatnya jatuh cinta, ternyata Leia membalas cintanya, mereka pun berpacaran. Mengetahui ini, Bunda memperingati mereka agar tidak memperlihatkan kemesraan di depan Abang, namun Hans tetap bersikeras, baginya cepat atau lambat Abang akan tahu. Akhirnya Leia memutuskan untuk pindah dari rumah kos itu.
Diantara kelima film, menurut saya kisah ini yang paling dalam dan langsung menohok relung hati.Ada kejujuran dan ketulusan yang terlihat di film ini. Seperti biasa, Lukman Sardi, sangat mampu mendalami tokoh yang diperankannya. Dan dalam kisah ini, ia kembali memperlihatlan kemampuannya. Aktingnya kali ini dengan pengambilan gambar yang cukup cermat serta didukung dengan soundtrack yang dinyanyikan Green Freddly dengan sangat syahdu mampu membuat saya menitikkan air mata di akhir cerita. Dua jempol untuk Lukman Sardi dan Marcella Zalianty sebagai sutradara.
Firasat (Rachel Maryam)
Firasat tidak menjadikan kita lebih pandai daripada yang lain. Seringkali firasat justru menjadi siksa
Senja bergabung dengan klub firasat dan merasa nyaman berada disana. Setiap minggu, anggota klub ini berkumpul untuk berbagi cerita tentang pertanda. Senja memutuskan bergabung dengan klub ini karena selalu merasakan firasat apabila ada diantara orang terdekatnya akan meninggal. Ia merasakan firasat itu sebelum Ayah dan adiknya meninggal.
Sang Ketua klub firasat, Panca, rupanya menjadi satu alasan yang membuat Senja betah disana. Panca digambarkan sebagai lelaki karismatik yang ketajaman intuisi serta pendalamannya mendalami firasat yang mengagumkan. Senja jatuh cinta pada Panca.
Hingga suatu hari Senja mendapatkan firasat buruk, ia seperti akan kehilangan orang terdekatnya. Ia pun menceritakan ini kepada Panca dan Panca hanya mengatakan, “satu-satunya cara menghadapi pertanda, adalah menerimanya”.
Khusus film ini saya sangat menyukai latar belakang filmnya yang digambarkan dengan pepohonan yang rimbun, danau yang indah, serta rumah Senja yang bagi saya sangat homey. Di film ini Asmirandah dan Widyawati menjadi sepasang ibu dan anak yang punya chemistry sangat kuat, sama-sama cantik dan berakting sangat alami sebagai ibu dan anak. Saya merasakan kedamaian pada adegan Widyawati menemani Asmirandah sesaat setelah Asmirandah bangun karena mimpi buruk.
Tetapi entah mengapa, saya tidak begitu menyukai Dwi Sasono yang memerankan Panca, mungkin karena terlihat sangat kaku atau aktingnya terkesan dibuat-buat atau kata-kata yang digunakan dalam dialognya sangat puitis sehingga saya merasa agak capek mendengarnya. Entahlah.
Cicak di Dinding (Cathy Sharon)
Saras : Ih pahit! Kok bisa sih minum kopi gak manis gini?
Taja: Soalnya kalo kita minum yang pahit, kita jadi ingat kalo di luar sana ada yang manis.
Seorang pelukis muda bernama Taja jatuh cinta pada sosialita bernama Saras. Saras yang free spirited menganggap apa yang terjadi pada mereka hanyalah hal yang biasa. Saras pun menghilang ketika ia tahu Taja mulai jatuh cinta padanya.
Beberapa waktu kemudian, mereka kembali dipertemukan saat Taja telah mencapai kesuksesannya sebagai seniman, malam pembukaan pameran perdananya. Sayangnya, Saras telah menjalin cinta dan akan menjadi istri sahabat yang telah dianggap Taja sebagai saudara.
Diantara kelima film lainnya, menurut saya film ini yang paling “seksi” diantara yang lainnya. Hanya sedikit dialog dan lebih banyak memperlihatkan proses cinta yang menggebu-gebu. Hal yang membuat saya terkesan adalah pencahayaan yang begitu indah, terutama ketika Saras terbangun dari tidur dan gambar cicak yang glow in the dark di dinding.
Keseksian cerita ini ditunjang dengan akting Sophia Latjuba, Yama Carlos dan Tio Pakusadewo yang pada dasarnya memang “seksi”. Mereka berakting begitu natural.
Curhat Sahabat (Olga Lydia)
Dan usai tangis ini, aku berjanji. Untuk diam, duduk di tempatku. Menanti seorang yang biasa saja
Amanda adalah gadis yang begitu supel, ceria dan bersahabat dengan Raggie, sosok lelaki yang kalem, penyabar dan selalu menjadi pendengar yang baik untuk Amanda. Kapanpun Amanda butuh, Reggie selalu hadir.
Suatu hari Amanda jatuh sakit. Ia sadar tidak seorang pun yang bisa dimintai tolong, termasuk pacarnya sendiri. Pada saat itu Reggie lah yang menolongnya. Pertolongan itu membuat Amanda sadar, bahwa ia hanya membutuhkan orang yang mencintai dia apa adanya, dia adalah Reggie. Namun Reggie mulai menyadari, cinta ini sudah terlalu tua untuknya.
Film ini digambarkan dalam satu plot yang terkadang mundur, menggambarkan curhat Amanda tentang pacar-pacar sebelunya. Seperti biasa, Acha Septiasa, selalu sangat mampu berakting untuk adegan yang menuntut kesedihan, dengan cara bertutur, gejolak hati yang tampak hingga bibirnya bergetar saat bercerita hingga tangis yang begitu menyentuh.
Namun sekali lagi, entah mengapa saya tidak terlalu menyukai Indra Birowo yang memerankan tokoh Reggie, Acha dan Indra tidak menampakkan chemistry dalam perannya. Mungkin karena saya terlanjur menganggap Indra Birowo adalah pemain film komedi sehingga saat ia memerankan tokoh yang sedikit serius terlihat aneh.
Hanya Isyarat (Happy Salma)
Sahabat saya itu adalah orang yang berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian yang lain. Ia hanya mengetahui apa yang sanggup ia miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki
Lima anak muda backpackers direkatkan dari sebuah milis dunia maya. Mereka pun berlibur bersama di suatu pantai. Empat orang diantaranya sangat begitu akrab, sedangkan Al sebagai satu-satunya perempuan, begitu pendiam dan seperti menjaga jarak.
Diam-diam Al jatuh cinta pada Raga, ia menyukai jalan pikirannya. Suatu malam, mereka mengadakan lomba bercerita kisah paling sedih yang mereka miliki. Cerita Raga membuat Al sadar, bahwa ia tak mungkin memiliki Raga karena rahasia yang tersimpan dalam diri Raga. Pada akhirnya Al cukup puas, paling tidak ia sudah bisa melihat mata Raga bukan hanya punggungnya.
Menurut saya, diantara lainnya, film yang diangkat dari cerpen berjudul sama ini yang paling memiliki diksi dan gaya bahasa yang sangat dalam. Saking dalamnya hingga mampu terekam di memori dengan sangat lekat. Tak banyak adegan, lebih banyak Al yang berbicara pada dirinya sendiri dan itulah kekuatannya. Sayangnya intonasi cara Al bercerita terlalu datar, membuat diksi yang sudah bagus itu sedikit kehilangan nyawa.
Tapi secara keseluruhan, film ini patut di apresiasi. Dengan sutradara baru dan kesemuanya perempuan, film ini menyampaikan “rasa” berbeda dari film-film Indonesia sebelumnya.
Terima kasih kepada www.useetv.com atas undangan nonton gratisnya. Jangan bosan-bosan undang Ibu-Ibu Doyan Nulis 😀
Deh belumpa saya nonton kodong 🙁
Kasianmu dek, hahaha
Wow …. resensi yang cukup padat.
Seragam nonton filmnya merah ya .. seperti warna seragam IIDN 🙂
IIDN ada seragamx jg ya kak??? baru tahu
mbak.. Keren bgt filmnya..mbak tau nggak lagu apa yng jadi backsong waktu si taja sama saras minum kopi di Publo itu?
Makasi.. Ditunggu infonya.. 🙂
Hmm…maaf kayaknya saya sudah lupa lagunya apa. Maaf ya, tidak bisa membantu