Baru saja pulang dari acara resepsi pernikahan seorang teman kuliah. Senang sekali melihat mereka akhirnya bersatu di pelaminan setelah menjalin hubungan lebih dari empat tahun. Hal yang cukup menarik perhatianku dari acara resepsi tadi adalah pesta ini merupakan resepsi pernikahan dua pasangan kakak dan adik, dimana mereka adalah anak ketiga dan keempat berarti tinggal satu orang dari keluarga ini yang belum menikah yakni anak kedua.
Sang anak kedua tampak hanya berjalan-jalan di dalam gedung, melihat tamu-tamu yang menghadiri pesta kedua adiknya. Sesekali seorang keluarga datang menyapa menanyakan kapan dia akan menyusul atau hanya sekedar memeluknya seolah memberikan kekuatan atau apalah, saya kurang tau. Namun dari air wajahnya saya melihat, pertanyaan, pelukan, sapaan ataupun bentuk penunjukan rasa iba itu malah makin membuatnya menjadi murung. Pertanyaan “kapan” itu makin membuatnya merasa terbebani. Penunjukan rasa iba itu makin membuatnya menjadi orang yang sangat malang, dan tampaknya dia tidak menyukai itu.
Saya hanya mampu melihatnya dari kejauhan, keadaan yang dia alami saat ini mengingatkan pada beberapa waktu yang lalu.
Hal yang hampir sama pernah saya alami ketika teman-teman kuliahku telah mendapatkan gelar dibelakang namanya. Di tengah gempita dan pakaian toga yang dikenakan teman-temanku, bergantian orang datang menghampiriku dan menanyakan kapan menyusul? Awalnya pertanyaan itu menjadi motivasi yang membuatku terpacu untuk bisa meraih apa yang teman-temanku raih, tetapi ketika perjalanan tak semulus yang saya perkirakan, pertanyaan itupun menjadi beban yang sangat menyesakkan.
Lalu datanglah orang-orang yang mencoba menunjukkan rasa iba, tetapi hal itu malah membuatku makin rapuh.
Syukurlah dua minggu lalu, saya akhirnya bisa wisuda juga. Tetapi… setelah itu apa?
Acara resepsi pernikahan tadi membuat teman-teman kuliahku terkumpul lagi. Teman-teman yang dulu dapat saya temui hampir setiap hari, kini jarang bertemu lagi karena kesibukan masing-masing. Diantara mereka ada yang sudah bekerja sebagai PNS, pegawai perusahaan swasta, punya usaha sendiri, atau tengah menyusun tesis untuk menyelesaikan pendidikan S2. Dan sebuah pertanyaan pun diajukan kepada saya, “jadi dimana sekarang?”
Saya hanya diam, menarik napas panjang lalu akhirnya menjawab “saya masih disini”. Entah apa yang harus saya jawab, saya tidak mempunyai pekerjaan dan saya juga bukanlah siapa-siapa. Saat ini, saya hanya seorang pengangguran yang tidak memiliki tabungan sama sekali, seseorang yang hanya menjadi beban dalam keluarga. Bahkan untuk mentraktir mereka sebagai bentuk syukuran acara wisudaku pun saya tidak mampu.
Dan sepanjang acara saya pun hanya diam, kadang-kadang hanya tersenyum datar sama seperti sang anak kedua meski masalah kami berbeda. Saya merasa rendah diri, mungkin juga dia merasa begitu.
Berusahalah N b’doa dinda…
posisita’ sekarang sama k…masih bagusji itu kita k, belum berapa bulan…saya sudah hampir setengah tahun. Mulai merasa menjadi beban, rasanya seperti benalu di mata orang, tidak punya apa2, bukan siapa2, belum bisa menghasilkan sepeserpun. Teman2ku satu2 sudah mulai menemukan dunianya, dan saya masih bergelut mencari, ke sana kemari…cuma bisa bersabar dan terus berdoa…
Pingback: Inart's Story - Yah, Saya Akhirnya Hamil -