Menantu baru, sepertinya istilah itu sudah melekat untuk saya dirumah. Yah… dirumah, saya memang layaknya seorang menantu baru, seorang anggota baru dalam rumah ini. Saya cuek dengan keadaan rumah, tidak peduli dengan apa yang terjadi bahkan sangat tidak peduli. Kadang-kadang saya tidak mengetahui barang-barang disimpan dimana, apalagi jika barang itu telah dipindahtempatkan dari yang saya tahu sebelumnya (entah beberapa bulan atau tahun sebelumnya). Hal-hal yang telah menjadi berita heboh dirumahpun kadang baru saya ketahui ketika berita itu sudah basi.
Sudah sejak dahulu, rumah yang saya tinggali sekarang hanya saya anggap sebuah persinggahan sementara saja, tempat melepas lelah sejenak dari aktivitas di luar. Sejak kecil saya senang bermain di luar rumah dan baru pulang bila magrib telah tiba. Saya pun memilih SMP yang cukup jauh dari rumah, dan alasan ini membuat saya bisa pulang lebih lambat. Menanjak SMA saya pun bersekolah di luar kota dan tinggal di asrama agar terlepas dari sana.
Sayang, waktu kuliah nasib tidak berpihak untuk membuatku berkuliah di luar kota. Meski begitu, saya tetap saja punya alasan untuk tidak pulang, kadang-kadang menginap di rumah teman hingga berhari-hari, pergi mendaki gunung, atau ikut kegiatan-kegiatan kampus yang bisa membuat saya jauh dari rumah.
Sejak minggu lalu, ibu keluar kota. Unieq pun sudah tinggal di Takalar. Keadaan ini membuat saya harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga yang biasa dilakukan oleh ibu, atau oleh uNieQ kalau dia ada. Menyiapkan kopi buat etta, menyiapkan makanan, mencuci pakaian, dan beberapa urusan lainnya. Keadaan ini makin membuat saya terlihat sebagai menantu baru.
Meski beberapa bulan ini saya sudah lebih sering dirumah dari pada tahun-tahun sebelumnya, tapi tetap saja saya seperti menikmati duniaku sendiri, saya lebih banyak berada di dalam kamar dan tidak peduli dengan apapun yang terjadi.
Ketidakpedulian ini mungkin disebabkan karena saya tidak merasa betul-betul memiliki rumah yang saya tinggali sekarang. Ini bukan rumah saya dan terlalu banyak intervensi yang membuat saya merasa tertekan berada didalamnya. Saya lebih senang kabur dan mencari kesibukan dan kesenangan di luar rumah yang kadang membuatku lebih nyaman. Beberapa kali saya mencoba mengutarakan maksud untuk tinggal disebuah kos-an atau mengontrak rumah saja, tapi orangtua tidak pernah mengijinkan. Maka saya pun akhirnya seperti ini, seperti ada dan tiada.
Ketidakwarasan itu pun kerap terjadi antara saya dan uNieQ. Kami mengumpulkan brosur-brosur rumah atau apartemen dan bermimpi mempunyai satu kapling disana. Yah… hanya bermimpi.
Namun entahlah, sepertinya akhir-akhir ini hasrat untuk mempunyai tempat tinggal sendiri kembali merasuki pikiran, bahkan terlukis jelas dalam bunga tidurku. Saya kembali melihat brosur-brosur yang pernah kami kumpulkan. Melihat sebuah kapling dan membayangkan berada di dalam sana.
Saya ingin mempunyai sebuah tempat tinggal sendiri, meskipun kecil dan sederhana. Disana saya ingin menjadikannya sebuah perpustakaan pribadi untuk mengatur buku-bukuku, meletakkannya rapi dan bebas membacanya. Bisa pula menjadi sebuah studio pribadi, tempat mencari inspirasi, menghasilkan karya-karya kreatif entah itu tulisan atau sebuah design, dan tempat bernyanyi-nyanyi sendiri tanpa ada yang protes bahkan merusak konsentrasi. Atau mungkin juga akan saya jadikan sebuah laboratorium untuk mencoba semua ide-ide gila tanpa ada larangan dari siapapun.
Sayang saat ini, semua itu masih akan menjadi mimpi yang entah kapan akan terwujud. Tapi suatu saat saya yakin keinginan itu tercapai, mempunyai tempat tinggal sendiri. Sebuah rumah yang membuatku merasa memilikinya, yang membuatku merasa nyaman didalamnya hingga tak rela meninggalkannya, mengatur sesukanya, dan tentu tak akan disebut sebagai seorang menantu baru lagi. Suatu hari… saya yakin itu.
yup. yang penting berusaha pasti kan terkabul. kuingat dulu kata-kata ta bilang” tapi tiap bulan ki ke makassar beli buku na”