Takut. Rasa ini tiba-tiba saja hadir lagi. Seakan-akan ada hal yang mengerikan akan terjadi beberapa waktu ke depan. . Seperti pikiran “apakah oksigennya akan cukup?” sesaat ingin melakukan penyelaman. Seperti pikiran “apakah cahayanya akan cukup? Sesaat ingin melakukan penyusuran gua. Seperti pikiran “apakah ransumnya akan cukup?” Sesaat ingin melakukan perjalanan memasuki hutan. Seperti pikiran “apakah talinya cukup kuat? Sesaat ingin melakukan pemanjatan tebing.
Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali menjadi sebuah bahan untuk menyiapkan antisipasi di awal meski kita tak pernah tau apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Memang terkadang, antisipasi di awal membuat penyesalan tak datang di akhir kisah, tetapi hal-hal yang tak diprediksikan selalu ada dan itu yang membuat rasa takut itu menjelma lagi. Meski begitu, takut adalah rasa yang manusiawi, setiap orang pernah merasakannya termasuk orang paling berani sekalipun. Kita memang tak pernah tau skenario apa yang Tuhan telah tuliskan untuk kita maka biarkanlah rasa takut ini bermetamorfosis menjadi antisipasi, jangan menertawainya.
Pasrah, rasa itu pun menguasai. Dulu, rasa ini selalu tiba-tiba saja menyergap ketika berada di tengah hutan dengan kondisi yang tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan perjalanan. Disaat seperti itu, aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak, menenangkan diri dan terduduk di bawah pohon.
Pepohonan di tengah hutan yang memberikan kedamaian dengan daunnya yang rindang, batangnya yang besar dan kuat, akarnya yang menonjol bahkan sulur-sulurnya menerobos jauh di bawah tanah membawaku pada sebuah kesadaran, bukankah pohon itu dulu berasal dari benih kecil?
Jika sekarang aku hanyalah sebuah benih kecil tentu aku berpotensi utnuk menjadi batang yang kokoh, dahan yang rindang, daun yang lebar juga akar yang kuat. Untuk itu, aku membutuhkan angin, air dan cahaya matahari yang cukup untuk terus berkembang, namun sayang mereka kadang datang dan pergi sesuka hati. Terkadang air turun terlalu deras hingga membuat akarku yang baru saja tumbuh pun berusaha waspada. Terkadang angin berhembus terlalu dahsyat hingga menggoyahkan batangku yang belum terlalu kuat atau mematahkan rantingku yang masih rapuh. Terkadang panas matahari begitu menyengat hingga membuatku memutuskan untuk mengugurkan daun. Meski dengan segala hal yang berlebihan itu, air tetap bergizi bagi akarku, angin tetap menerbangkan sari bunga agar aku bisa menghasilkan buah, dan daunku akan tetap berusaha untuk terus bertumbuh jika panas tak lagi terlalu terik.
Sayangnya, terkadang mereka tak hadir sama sekali, hujan tak setitikpun turun, angin seperti enggan untuk berhembus dan matahari tidak berbagi sinar, hingga akhirnya membuatku tak mampu berkembang lagi bahkan layu sebelum menjadi pohon yang betul-betul tangguh. Hingga akhirnya memasrahkan semuanya pada waktu, berlatih untuk menjadi makhluk yang sabar, dan berharap bisa bertumbuh lagi. Hal ini membuatku belajar, banyak benih potensial yang ada disekitar kita namun mereka tidak mendapatkan air, angin dan cahaya matahari yang cukup. Maka seharusnya kita yang belajar untuk menjadi air, angin dan cahaya matahari bagi mereka meski tidak seberapa namun berharap mereka tetap tumbuh dan berkembang, jangan biarkan mereka layu sebelum waktunya.
Kerja Keras. Tanjakan selalu mengandung dua hal, kenaikan dan kerja lebih keras. Menapaki jalur yang datar tentu berbeda dengan jalur pendakian. Jalur pendakianpun kemudian dibedakan beberapa kelas, memilih jalur landai namun perjalanan mencapai puncak terasa lebih jauh, atau memilih jalur yang terjal namun panjang perjalanan lebih dekat dan dengan kerja yang jauh lebih keras. Mau memilih jalur yang landai atau pun terjal bukanlah menjadi masalah tetapi bagaimana bermigrasi dari tempat yang lebih rendah ke tempat lebih tinggi, dari tidak baik menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik. Seperti kisah pohon di atas, semua orang harus bertumbuh dan berkembang. Dan untuk mendapatkan hal itu, dibutuhkan kerja yang lebih keras. Meski terkadang kita harus terperosot dan jatuh lagi, tetapi usaha harus terus dilakukan.
Bersamaan dengan rasa itu, hari ini Mapala09 bertambah usia. Dua belas tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menjadi sebuah organisasi yang tumbuh dan berkembang lebih dewasa. Biarlah rasa takut itu tetap ada untuk menjadi antisipasi. Yakinlah, semua anggota memiliki potensinya masing-masing untuk tumbuh dan berkembang menjadi pohon yang kuat, tangguh, dan bermanfaat, maka jadilah air, angin, cahaya matahari sekaligus tanah tempat mereka bertumbuh dan berkembang. Dan terakhir, masih banyak yang harus kita capai untuk menjadi lebih baik maka mari kita bekerja lebih keras untuk mencapainya.
Selamat Ulang Tahun Mapala09, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, tempat bermain dan belajar, karena alam bukan saja sebuah hegemoni rekreatif tetapi lebih dari itu.
Turut mngucapkan selamat ultah buat mapala09. 😉
berkeinginan menapaki tanah datar bawakaraeng( kapan yah????)