Berlari-lari mengejar bis kota, melupakan rasa lelah yang menggeliat di seluruh tubuh . Langit mulai berganti gelap, wajah-wajah penduduk urban pun mulai suram, semangat sejak pagi telah padam di telan malam. Menjejaki beberapa anak tangga bus, kami pun tiba di lantai besi dengan deru mesin yang terdengar mengigit.
Berdiri menjadi pilihan takkala seluruh tempat duduk telah terisi. Hatiku mengiris menatap seorang lelaki kekar, dengan wajah sangar serta kumis tebal tampak terduduk santai berbincang dengan temannya yang juga lelaki dengan tubuh yang lebih kecil, sementara seorang perempuan dengan wajah lesu, mata sayu, dengan pakaian kerja yang masih lengkap tampak berdiri berdekatan dengan mereka, berpegangan di besi yang sudah menghitam. Sejenak saya mulai tersadar ini Jakarta bukan Makassar apalagi teknik yang begitu menghargai perempuan. Lagipula pikiran perempuan di kota ini sudah terlampau modern untuk mengeluhkan hal semacam itu.
Mesin bus kota terus menderu, jalan membelah oleh kendaraan massal tersebut, kendaraan lain tampak berdempet, merangkak menyelesaikan perjalanan hari ini. Seorang lelaki baya naik, turut menumpangi kendaraan bersama kami. Kata sambutan di ucapkan layaknya seorang pengamen yang sejak siang tadi kami lihat mencari nafkah di atas bus. Apakah dia juga seorang pengamen? Tanyaku dalam hati, tetapi mengapa tak sebuah alat musikpun di genggamnya?
Pertanyaanku terjawab kala tangan lelaki dengan kulit kuning langsat itu saling bertepuk, mengikuti tempo sebuah lagu. Lagu milik ebiet g ade pun terlantun dari bibirnya berpadu dengan tepukan. Semudah itu kah mencari uang di ibukota Negara ini? Ataukah saking sulitnya mencari sesuap nasi, jalan ini pun mesti di tempuhnya? Sekali lagi hati mengiris apalagi ketika ia membalikkan topinya dan menadahkan kepada setiap penumpang. Meski tubuhnya lesu tetapi aku mampu melihat sorot matanya yang tajam seolah ingin berkata perjuangan tidak sampai disini kawan!