Siang itu, saya terduduk di Plazgoz, beberapa saat kemudian mahasiswa baru berseragam hitam putih berarak melintas di depan saya.
“Kenapa mesti pake seragam hitam putih?” Beberapa mahasiswa baru kerap mengajukan pertanyaan ini ketika berhadapan dengan sang senior. Pun saya pada saat berada di posisi mereka dulu, menanyakan hal yang serupa kepada sang senior.
Sang senior lalu menyampaikan beberapa argumen atas diberlakukannya seragam tersebut.
Pertama, agar dosen dan mahasiswa dapat mengenal para penghuni-penghuni baru kampus ini.
Kedua, agar diketahui bahwa mereka adalah mahasiswa yang kuliah di fakultas Teknik.
Ketiga, agar tak ada perbedaan antara satu mahasiswa dan mahasiswa lainnya. Tak ada jarak antara kaya dan miskin. Tak ada perpisahan antara oda (orang daerah) dan mereka yang mengaku orang kota.
Serta berbagai alasan lainnya.
Tren pakaian seragam digalakkan sekitar tahun 70-80-an, di masa orde baru. Pegawai negeri diwajibkan memakai seragam biru Kopri. Ibu-ibu Dharma Wanita memakai setelan pink-peach. Bocah yang duduk di bangku Sekolah Dasar menggenakan pakaian putih merah. Anak baru gede yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama diwajibkan memakai seragam putih biru. Para remaja di Sekolah Menengah Atas diseragamkan dengan putih abu-abu.
Seragam tersebut merupakan dampak politik orde baru yang di lakukan sebagai pengontrolan masyarakat Indonesia oleh negara. Ketika itu, identitas individu ditiadakan dan digantikan dengan identitas kolektif.
Bentuk penyeragaman ini berimplikasi pada keterbatasan seseorang untuk berekspresi sebagai seorang individu. Segala hal telah terpaktron secara kolektif menurut kelompoknya. Individu satu dan individu lainnya tak dapat dibedakan dan wajib mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Semua harus sama, semuanya mesti seragam.
Tetapi bukankah tiap individu berbeda???
Identitas kolektif yang masih mewarnai perjalanan hidup bangsa ini membuat seorang individu terbatas mengungkapkan siapa dirinya. Mereka tak bisa menjadi dirinya apa adanya. Mereka tak bisa menyampaikan bahwa betapa uniknya mereka. Semua telah dibatasi dengan identitas kolektif yang membuat mereka terkucilkan jika berbeda.
Hal ini pulalah yang membuat mental orang Indonesia kerap mengatakan, “Itu saja”, “Saya terserah yang lain”, dan ungkapan lain yang bermaksud menyampaikan bahwa “daripada salah, lebih baik ikuti yang banyak”. Tidak ada ketetapan pendapat, minim keteguhan pendirian. Tak sedikit yang takut menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Barisan hitam putih itu kini berakhir melintas di depan saya. Ini adalah fakultas teknik yang identik dengan rekayasa dan membutuhkan kreativitas dan inovasi dari setiap individunya. Semoga seragam yang dikenakan mereka hari ini tidak menyeragamkan ide dan gagasan mereka, harapku dalam hati.
Karena perbedaan, bangsa kita menjadi kaya. Karena perbedaan, fakultas ini menjadi besar.
“Bukankah kita bisa memberi jalan, tuk satukan semua harapan?”