Aku Penyintas Bipolar

      Tak ada komentar pada Aku Penyintas Bipolar

Prolog

Tulisan ini telah berada di Draft selama 2 tahun lamanya. Aku menulisnya di tahun 2020 saat ulang tahunku yang ke-33. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mempublish-nya hari ini. Tepat di hari Bipolar Internasional. 

Selama 2 tahun terakhir, mood swing itu makin terlihat polanya. Ada masa dimana aku betul-betul menolaknya. Ada masa pula aku harus mengakuinya. Ada masa aku merasa “normal”. Namun ada pula masanya moodku berada di level sangat rendah. Kondisi yang sesungguhnya sangat aku takutkan. Pengobatan baik melalui psikiater maupun psikolog telah aku lakukan. Aku minum obat dan psikioteraphy selama 2 tahun terakhir. Tetapi, nyatanya itu tidak cukup. Terkadang aku membutuhkan supporting system yang membuatku bisa bangkit dan menjadi kembali “ada” saat “menghilang”.

Dan melalui tulisan ini, asa itu yang aku harapkan. Jika tulisan ini tiba di layar komputer atau handphone mu. Mungkin, kamu salah satu orang yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi pembaca kisah ku. Atau mungkin menjadi caregiver untukku. Atau sekedar menjadi saksi bagaimana struggle nya aku untuk bisa bertahan sejauh ini. 

***

Sebenarnya, bukan hal yang mudah untuk mempublikasikan tentang ini. Apalagi di antara keluarga dan lingkunganku yang sebagian besar senang “menghakimi”. Tapi jika tulisan ini akhirnya bisa terbaca oleh pembaca blogku. Itu berarti tulisan ini tidak berakhir di draft. Dan aku siap menerima semua konsekuensinya.

Kelainan Hormon

Aku mengalami kelainan hormon. Haidku tidak teratur. Hal ini terjadi bahkan sejak kali pertama aku mendapatkan menstruasi. Haidku tidak normal seperti wanita lainnya yang datang setiap bulan. Terkadang itu datang 3 bulan sekali bahkan pernah dalam setahun hanya 2 kali haid. Awalnya aku pikir itu hanyalah siklus penyesuaian karena baru menstruasi. Beberapa tahun terakhir, aku pun sadar itu bukan hal yang normal. 

Saat SMA, ibu bahkan pernah membawaku ke dokter obgyn. Memeriksakan rahimku. Namun setelah minum obat, akhirnya darah haid itu luruh juga. Dan begitu terus selanjutnya. Aku beberapa kali harus meminum obat peluruh jika haid tidak kunjung datang juga. Bahkan beberapa kali harus berakhir di meja operasi untuk proses kuretasi untuk menangani endometris itu. 

Gerd dan Penyakit Pencernaan Lainnya

Seperti yang pernah aku ceritakan sebelumnya disini. Bahwa sejak kepulanganku dari mendaki Gunung Gandang Dewata, aku sering kali mengalami sakit dibagian perut. Levelnya saja yang berbeda. Pernah operasi usus buntu dan beberapa kali opname karena gerd yang parah.

Saat sakitnya datang, rasanya luar biasa. Ulu hati terasa ditusuk-tusuk. Dada terasa sesak. Kepala seperti tercemkram kuat. Punggung hingga belakang leher terasa sangat tegang seperti baru saja membawa beban 50 kg. Dan seluruh badan kebas saat bangun pagi.

Hal tersebut membuatku jadi langganan dokter interna berulang kali. Berpindah-pindah dokter interna dan obgyn entah sudah berapa kali. Sembuh sebentar tak lama kambuh kembali.

September 2019

Kedua hal di atas yang akhirnya membawaku ke psikiater hari itu. Karena menurut dokter penyakit dalam dan kandungan yang menanganiku, hal ini dipengaruhi stress.

Disaat yang sama, kala itu aku merasa berada di titik terendah hidupku. Gerdku sedang sangat parah, haidku sudah terlambat 3 bulan, dan aku hanya ingin menangis sepanjang hari. Aku tak ingin bertemu siapapun. Dan aku merasa tak berguna dan berharga. Bahkan sempat terpikir untuk mencoba bunuh diri.

Saat itu aku berpikir untuk meminta pertolongan. Dan hari itu pun aku membuat janji bertemu psikiater melalu situs kesehatan online.

Aku memilih psikiater senior di kotaku. Pikirku, dia pasti sudah cukup berpengalaman menghadapi kasus serupa. Setidaknya, akan lebih mudah untuk mengetahui obat apa yang tepat untuk menolongku.

Berbeda saat masuk di klinik dokter spesialis lain, masuk ke poli psikiater punya tantangan sendiri. Stigma “gila” masih begitu subur diantara kita. Tetapi aku tetap menguatkan tekad masuk di klinik tersebut bersama suamiku. Aku ingin sembuh untuk keluargaku.

Saat namaku disebut, aku pun menuju poli jiwa bersama suamiku. Ruang poli di rumah sakit itu terasa sangat dingin. Sempat berpikir untuk tidak melanjutkan saja. Tetapi kakiku tetap melangkah masuk. Aku duduk tepat di depan dokter. 

Beliau memintaku bercerita. Awalnya, aku hanya bercerita tentang bagaimana aku bolak balik dari dokter interna ke dokter obgyn. Lalu masuk tentang kondisiku beberapa hari terakhir. Dan tiba-tiba leherku terasa tercekak. Aku tidak bisa berbicara. Air mataku mengalir tanpa bisa aku tahan. 

“Aku merasa tidak berguna” kalimat itu terasa sangat berat untuk keluar. Tangisku pun terus mengalir tanpa bisa aku tahan. 

Dokter tersebut pun mulai menanyakan beberapa hal. Aku menjawab sejujur-jujurnya. Pertanyaan-pertanyaannya kadang tidak terduga. Tetapi aku tetap berusaha menjawab. Pikirku, aku akan dapat diagnosa psikomatik dan diberi obat anti depresan lalu semuanya kembali normal. Nyatanya, hal yang dikatakan dokter di luar ekspektasiku. Diagnosa yang dikatakannya adalah Bipolar Disorder.

Sepulang dari dokter, perasaanku makin tidak karuan. Bukan hanya karena depresi yang aku alami saat itu. Tetapi juga karena status baru tentang diriku. 

Bipolar Disorder

Akhir-akhir ini, berbagai jenis penyakit mental memang sering dibicarakan di media, termasuk bipolar. Tapi sejujurnya. apa dan bagaimana Bipolar itu, belum aku pahami lebih dalam. Entah aku yang tidak mengikuti tentang hal tersebut atau memang aku dulu tidak begitu peduli dengan kesehatan mental. Mungkin juga keduanya.

Diagnosa yang dikeluarkan dokter membuka mataku lebih lebar. Akupun mencari segala referensi tentang bipolar. Mulai dari bertanya ke ahlinya, bertanya ke penyintas, hingga mencari dari berbagai sumber. Dan benar, semua ciri-ciri yang dituliskan di berbagai media menunjukkan aku ke arah gangguan itu. 

Bipolar Disorder adalah adanya perubahan mood secara drastis. Yang disebut manik atau hipamanik dan depresi. Saat berada di fase manik atau hipomanik seseorang akan merasa bersemangat, percaya diri, dan merasa mampu melakukan apa yang sebenarnya diluar kendalinya.

Sedangkan fase depresi adalah fase dimana seseorang merasa tidak berharga, tidak punya harapan, lemas, tidak mau bertemu orang banyak dan lainnya.

Dan aku didiagnosa Bipolar II yang masa depresinya lebih lama dari masa manik dan hipomanik.

Deny

Apa yang aku lakukan setelah mengetahui semua itu? Aku malah menolaknya. Yah, aku tidak terima diagnosa tersebut. Aku merasa normal saja. Hanya 2 malam aku meminum obat dari dokter. Efek ngantuk dan mimpi yang tidak karuan membuatku memutuskan untuk menghentikannya. Aku memutuskan untuk tidak kembali ke dokter 2 minggu seperti yang dokter sarankan.

Semenjak hari terakhir aku minum obat, aku kembali ke masa depresi. Namun berangsur membaik dan kembali “normal” menurutku.

Ada sekitar satu bulan, aku betul-betul produktif dan sangat aktif. Ingin melakukan ini, ingin mengerjakan itu. Ide-ide di kepala seolah beradu untuk diwujudkan lebih dulu. Aku menikmatinya. Meskipun membuatku jadi lebih mudah marah, namun karya-karya yang aku hasilkan menolongku. Sekaligus meyakinkanku, yah diagnosa itu salah. I’m fine. Keputusanku betul untuk menolak mengkomsumsi obat.

Aku mengatakan pada diriku, aku baik-baik saja. Toh, semua berjalan normal. 

Namun, ada masa, aku menjadi ragu. Pikiranku berusaha flash back. Mengingat kejadian-kejadian periode manik dan depresiku sebelumnya. Saat masih bekerja. Saat kuliah. Bahkan mungkin sejak masa SMA. Siklus itu tergambar jelas dan membuatku khawatir.

Galian memori lama itu malah membuat kondisiku makin kacau.

Hingga akhirnya aku depresi lagi. Tanpa tau apa penyebabnya. Setiap suamiku bertanya, kenapa? Aku tak mampu menjawabnya. Aku tak begitu yakin apa trigger nya. Yang aku tahu aku ingin menangis dan mengurung diri lagi. Hari demi hari aku lewati dengan perasaan ambigu. Namun makin lama, terasa makin tak terkontrol. Aku uring-uringan. Jiwaku kosong. Hatiku kacau. Pikiranku penat. Semua penyakit fisik karena depresi hadir kembali.

Aku berusaha melawannya. Nyatanya, semakin aku berusaha melawannya, aku makin tenggelam dalam depresiku.

Apakah betul aku Bipolar? Aku mulai meragukan “kenormalan” yang aku akui.

Desember 2019

Sudah 3 bulan sejak terakhir aku ke psikiater. Setelah melewati masa normal, aku kembali berada di masa buruk. Perlahan, fisikku mulai kembali melemah dan mengkhawatirkan. 

Kami pun memutuskan ke dokter Interna lagi. Karena sesak napas akibat GERD sudah berapa kali terjadi. Aku tidak bisa tidur sama sekali karena mencoba menahan sakit.

Kali ini dokter interna yang baru lagi. Kata teman suamiku, dokternya baik, siapa tau jodoh menyembuhkan sakit lambungku yang sudah tahunan. Aku harus menjelaskan lagi dari awal. Dokter tersebut hanya menyarankan agar aku tak banyak pikir. Beliaupun memberikan obat sama dengan dokter interna yang lain. 

Salah satunya adalah obat Valisanbe yang merupakan anti depresan. Anehnya, setiap sudah minum anti depresan saya malah tidak bisa tidur hingga pagi dan ingin mengerjakan banyal hal. Saya menulis, saya memotret tengah malam bahkan membuat kerajinan tangan. Tanpa lelah dan rasa mengantuk. Tetapi jika saya tidak meminumnya, tubuh saya akan kesakitan luar biasa. Hingga badan saya kebas saat pagi karena darah rasanya tak mengalir lancar.

Aku makin yakin, ada yang tidak “normal”. Mengapa justru obat penenang membuatku tidak tenang, bahkan makin bersemangat.

Sekali lagi aku mencoba ke paikiater setelah merasa bahwa penanganan di dokter interna tidak memuaskan. Kali ini Psikiater berbeda dari sebelumnya. Aku menceritakan hal-hal yang terjadi selama 3 bulan tidak kontrol ke dokter. Dan dari semua cerita itu, sekali lagi dokter mendiagnosaku sama, yakni Bipolar Disorder Type II.

Terapi ke Psikolog

Sungguh hingga awal tahun 2020 ini aku belum bisa terima diagnosa ini. Meskipun segala gejalanya sudah tampak nyata. Aku pun mencoba mencari psikolog klinis di kotaku. Setelah membuat janji, tibalah hari aku dipertemukan dengannya. 

Setibanya disana, aku diberikan beberapa lembar pertanyaan yang harus aku jawab. Ada pilihan jawaban yang tinggal aku pilih. Seperti hal saat pertama ke psikiater, aku menjawab sejujur-jujurnya. Dan dari jawaban yang aku berikan, psikilognya menyimpulkan bahwa aku sedang depresi berat.

Pertemua kami tidak hanya sampai di pertanyaan itu. Aku lalu diminta menggambar. Lalu dari gambar tersebut psikilog menanyakan beberapa hal kepadaku. Percakapan kami pun semakin dalam. Tiga jam kami habiskan waktu untuk mengobrol. Hanya mengobrol tetapi sungguh membuat tenagaku sangat terkuras. Rasanya ingin segera pulang ke rumah dan tidur. Pertemuan itu sungguh melelahkan. Dan sekali lagi, psikolog tersebut sepakat dengan pendapat psikiater bahwa aku mengalami gangguan bipolar.

Pola yang Terus Berputar

Dan semua pola yang telah aku alami kembali terus berputar. Normal atau entah itu manik/hipomanik dan depresi. Polanya berulang tanpa ada batasan waktu yang jelas. Kadang sebulan, seminggu, bahkan hanya dalam hitungan hari saja bisa berubah.

Apakah aku sudah bisa menerimanya? Aku rasa belum. Aku masih menolaknya. Aku tidak lagi mengunjungi psikolog tersebut untuk kedua kalinya seperti yang dia minta. Dan aku tak lagi berkunjung ke psikiater meminta obat. Entah sampai kapan.

Di usiaku yang menginjak 33 tahun hari ini, apakah aku seorang dengan gangguan bipolar?

11 Maret 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.