Ubud, I’m in Love

      2 Komentar pada Ubud, I’m in Love

Sejak pertama kali ke Bandung, saya sudah jatuh cinta dengan kota ini. Kota dengan topografi berbukit-bukit dengan hawa sejuk. Terdapat banyak komunitas dan industri-industri kreatif. Bagiku, kota ini tidak akan pernah membuatku bosan mendatanginya. Sayangnya, waktu itu saya tidak berjodoh bersekolah disana sehingga tidak bisa tinggal dalam waktu lama disana.

Ubud Bali

Our Sweet Honeymoon at Bali

Namun semenjak mengunjungi Kota Ubud, Bali, akhir bulan November 2011. Posisi Bandung sebagai kota favoritku tergeser. Ubud membuatku lebih jatuh cinta. Siapapun yang pernah kesana pasti sepakat dengan pernyataan saya. Keindahan dan kenyamanan Ubud bahkan membuat kota ini dinobatkan sebagai kota terbaik se-Asia berdasarkan survei pembaca majalah pariwisata yang berbasis di Amerika Serikat, Conde Nast Traveller. Ubud juga menginspirasi penulis novel Elizabeth Gilbert untuk menulis novel terlarisnya Eat, Pray, Love. Bahkan banyak bule yang rela menghabiskan waktu bahkan meninggalkan negaranya dan tinggal di Ubud hingga akhir hayatnya.

Terus terang, awalnya saya belum pernah merencanakan berlibur ke Bali. Dari berbagai media, saya melihat Bali adalah objek wisata yang glamor, pantai yang padat, dan berbagai macam pub  dan cafe. Saya membayangkan suasana liburan yang seperti itu, malah makin membuat kepala penat. Tapi rejeki tiket pp Mks-Bali untuk 2 orang, hadiah pernikahan dari kakakku, tidak mungkin kami sia-siakan. Setelah mencari informasi dari berbagai sumber akhirnya kami memilih Ubud.

Pilihan kami ternyata sangat tepat. Kami menemukan suasana seperti yang kami inginkan. Ubud dalam bahasa Bali berasal dari kata “Ubad” atau bila dibahasa-indonesiakan artinya: obat. Yah… Ubud memang menawarkan kesegaran bagi orang yang “sakit”. “Sakit” akibat intensitas kerja yang tinggi. “Sakit” karena berpikir terlalu keras. “Sakit” karena hati yang gundah. Jika ada yang bertanya “Mengapa orang “sakit” harus ke Ubud?”. Jawabannya hanya satu, karena di Ubud selalu memberikan ketenangan.

Hotel Umah Gran

Bersyukur, kami mendapatkan hotel yang sangat menarik dengan harga yang lumayan dibandingkan hotel-hotel lain di Ubud. Mungkin karena hotel ini baru dibuka dan lumayan jauh dari pusat kota Ubud, jadi kami mendapatkan harga yang sangat spesial. Seorang lelaki tinggi mengangkat sebuah kertas bertuliskan nama kami di terminal kedatangan bandara. Rupanya dia seorang driver yang akan mengantar kami ke hotel yang telah kami pilih. Namanya Made, dengan ramah dia menyapa kami dengan logat Bali yang terdengar begitu khas, keramahan itu membuat awal liburan ini semakin nyaman. Layaknya seorang pemandu wisata, sepanjang perjalanan dia menjelaskan apa yang kami lihat dari balik kaca mobil. Kurang lebih satu jam perjalanan dari bandara, kami pun tiba di hotel Umah Gran.

Pegawai hotel menyambut kami dengan sangat ramah di depan hotel. Pertama kali masuk ke dalam hotel sudah terasa kenyamanannya. Di meja resepsionis telah tersedia sebuah formulir dan sebuah kunci kamar. Setelah mengisi formulir, kami pun diberikan kunci kamar tersebut dan seorang lagi mengantarkan kami ke kamar. Tidak seperti kamar hotel lainnya yang pernah saya datangi, kamar disini sungguh berbeda. Kami disambut dengan sebuah beranda pribadi bagian dari kamar kami. Beranda ini dilengkapi dengan meja makan dan dua kursi yang nyaman, sebuah tempat tidur kecil yang juga bisa menjadi kursi santai, dan pantry set dengan peralatan makan yang lengkap. Di atas meja makan terdapat lilin yang ditutup dengan keramik, dan saat lilinnya dinyalakan akan terlihat pancaran cahaya yang indah. Pada satu malam kami membuat candle light dinner yang sangat romantis.

Hotel Umah Gran

Melewati pintu kaca yang besar dengan gorden tebal, kami pun masuk ke kamar yang sangat bersih. Tempat tidur masih tertata rapi. Sebuah kamar yang sangat nyaman. Kamar mandinya pun sangat menarik dengan desain natural. Lantainya hanya terbuat dari semen dan batu kecil, bukan keramik. Bahkan ditempat shower lantainya dipenuhi batu putih, hanya ada tiga batu datar berbentuk segi empat yang digunakan untuk berpijak. Wastafel yang terbuat dari batu alam terletak di atas lemari bambu. Suatu hari nanti, saat kami memiliki rumah sendiri, kami akan membuat kamar mandi dengan konsep seperti ini.

Karena tiba malam, pemandangan di depan kamar kami tidak begitu kelihatan. Kami baru menyadari keindahannya saat kami membuka gorden di pagi hari. Dari balik pintu kaca terlihat pemandangan yang indah. Di meja makan telah tersedia sarapan di atas piring tanah liat. Seperti kembali ke alam. Sungguh, kami tidak salah memilih hotel. Bahkan jika ada teman yang akan berlibur ke Ubud, saya sarankan untuk menginap disini saja, meski harganya murah tapi fasilitasnya tidak murahan.

Travelling hari Pertama

Hotel menawarkan paket perjalanan. Kami pun sepakat mengambil paket 1. Seorang driver yang berbeda dari semalam pun menyambut kami dengan ramah. Namanya Dewa. Meski gayanya agak punk dengan satu anting ditelinganya, tapi dia sangat ramah. Bahkan selama perjalanan dia berulang kali mengatakan “maaf”. Semalam dia yang seharusnya menjemput kami, tapi karena sedang ada upacara jadi dia tidak bisa. Selain ramah dia juga religius. Perjalanan sehari bersama Dewa membuat saya maklum Bali terus menjadi incaran para wisatawan, sebagian besar warga Bali sangat ramah. Apalagi warga disekitar Ubud yang sangat taat beragama. Bagi mereka ada tiga hubungan yang harus selalu dijaga, hubungan dengan Sang Pencipta, hubungan dengan alam dan hubungan dengan manusia. Oleh karena itu mereka taat beribadah, selalu menjaga kelestarian alam dan menjaga hubungan baik sesama manusia. Dewa dengan baik hati mengantar kami kembali ke hotel di tengah tour untuk shalat, katanya agar hati lebih tenang. Ah… Sebuah pelajaran yang sangat berharga.

Perjalanan hari ini dimulai dari Pasar Sukawati membeli ole2. Dari sana kami pun diantar mencari cincin perak untuk mengganti cincin kawin emas kami, agar suamiku juga bisa menggunakannya. Di sekitar Ubud, banyak pengrajin emas dan perak, kita tinggal pilih saja tempat untuk singggah. Atas saran Dewa kami singgah di pengrajin perak yang lumayan besar, sayangnya kami tidak mendapatkan cincin yang kami inginkan. Kami pun singgah di pengrajin perak lainnya dan akhirnya mendapatkan sepasang cincin. Kami menyimpannya untuk diukir dan akan kembali lagi setelah perjalanan kami selesai.

Kintamani

Kami pun menuju ke tempat makan siang di Kintamani. Menurut Dewa, setiap paket perjalanan di Bali pasti menuju Kintamani. Disini pemandangannya memang sangat indah, pertemuan antara gunung dan danau. Karena baru saja ada upacara, sebuah kain yang sangat panjang masih mengelilingi punggung gunung. Adat ritual Bali memang sangat kental. Dewa merekomendasikan tempat makan siang prasmanan (makan sepuasnya) yang bisa sambil memandang pemandangan di Kintamani, tapi kami baru tahu kalau harganya sangat mahal setelah membayar. Untuk backpacker saya menyarankan untuk membeli makanan sebelum ke Kintamani jika berencana makan siang disana.

Tujuan selanjutnya adalah kebun kopi. Awalnya sangat membosankan. Kami melewati kebun dengan berbagai macam tanaman. Pemandu memperkenalkan jenis tanaman itu satu persatu beserta dengan manfaatnya. Terus terang kami tidak terlalu memperhatikan. Kami baru tertarik saat dia memperlihatkan seekor luwak. Setelah mengelilingi kebun, kami pun tiba di tempat pengelolahan kopi. Tak jauh dari situ terdapat kursi dan meja panjang dari kayu yang menghadap ke kebun kopi. Seorang pelayan membawakan 7 jenis minuman hasil olahan kebun ini dan semuanya gratis. Ada kopi bali, kopi jahe, coklat cair, vanila, teh jahe, teh jeruk dan teh rosela. Kita akan membayar kalau membeli produk saja, jika tidak membeli apa-apa, kita tak membayar sepeser pun.

Sempat ketemu pasangan bule yang membawa anaknya yang sangat lucu. Meski anaknya masih kecil, mereka sudah mengajaknya travelling ke luar negeri.

Ih lucunya...

Perjalanan berikutnya ke beberapa pura yang sebenarnya hampir sama suasananya. Karena itu tempat ibadah mereka, sebagai penghargaan dan penghormatan, kita tak boleh masuk menggunakan celana, harus memakai sarung. Jika tidak membawa sarung, ada sarung yang disewakan. Selain itu, seperti halnya mesjid, wanita yang sedang berhalangan dilarang masuk.

Setelah mengelilingi beberapa pura kami pun mengambil cincin dan membeli makan malam. Perjalanan yang melelahkan tapi mengasyikkan.

Travelling Hari Kedua

Hari kedua ini kami hanya menyewa sebuah motor untuk berkeliling di Kota Ubud. Pemandangan sawah terhampar luas, udaranya sangat segar, jalannya berbukit-bukit. Dengan modal peta dari hotel dan GPS kami pun tiba di pusat Kota Ubud. Suasana seni terasa makin kental. Selain hawanya yang sejuk, pemandangan yang indah, topografi berbukit-bukit, warga yang ramah yang menjadi Ubud unggul dari Kota lainnya, Ubud adalah pusat berbagai seni. Berbagai lukisan indah dapat kita temukan dimana saja sepanjang Ubud, begitupun dengan ukiran dan berbagai furniture alami. Sanggar musik dan sanggar tari tradisional terlihat dimana saja. Salah satu yang kami lihat, sanggar tari di pura kolam teratai. Anak-anak terlihat begitu antusias latihan menari, mereka akan pentas hari senin berikutnya. Mereka tampak cantik dengan kain tenun bali dan gerakan yang sangat gemulai. Suasana senja yang indah diiringi musik tradisional bali dan tarian yang indah, sungguh sebuah obat yang menenangkan. Satu hal yang membuat seni berkembang pesat disini karena mereka punya wadah untuk mengapresiasikannya. Selalu ada pentas seni yang diadakan hampir tiap minggu dengan harga tiket yang bervariasi.

Di Kota Ubud, kita bisa melihat banyak wisatawan luar negeri berjalan kaki, naik sepeda atau naik motor. Jarang wisatawan luar negeri yang naik mobil, kalaupun ada mereka menggunakan bis wisata. Justru yang kebanyakan naik mobil adalah wisatawan domestik. Lucu juga yah.

Ubud pusat Seni

Mengelilingi Ubud dengan motor

Saya bisa menuliskan berlembar-lembar hal indah yang kami alami selama di Ubud. Tapi, yang jelas, Ubud telah menjadi obat untuk kerja keras kami mempersiapkan pernikahan hingga akhirnya pernikahan berjalanan dengan sangat lancar. Ubud adalah salah satu kado terindah untuk kami. Ubud selalu menyegarkan dan tak pernah lelah memberikan pencerahan memberikan ketenangan lahir dan bathin. Jika umur kami panjang, suatu hari nanti kami akan mengunjungi Ubud lagi.

2 thoughts on “Ubud, I’m in Love

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.