Keluarga kami bukanlah keluarga yang berada. Bapakku yang ku panggil Etta hanyalah pegawai negeri biasa yang gajinya tak seberapa sedangkan Ibu sewaktu aku masih kecil hanyalah ibu rumah tangga. Ia lalu bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan negeri swasta saat aku menginjak SMP. Gajinyapun tak seberapa, bahkan kadang harus menunggu hingga 3 bulan agar gajinya cair.
Keadaan itu membuat keuangan keluarga kami cukup pas-pasan. Tabungan yang ada kadang kala habis terkuras saat jadwal penaikan kelas. Uang sekolah, buku, dan pembayaran lainnya menghabiskannya dalam sekejap. Kadang kala, aku harus menunggak membayar uang sekolahku kala itu karena kami tak punya uang sama sekali untuk membayarnya. Tetapi meski dengan segala kesulitan itu, kedua orang tuaku terus memaksa diri, bagaimanapun caranya, walaupun harus berkorban air mata dan memaksa punggungnya yang telah rapuh untuk bekerja keras. Semua semata-mata agar anak-anaknya bisa merasakan pendidikan hingga perguruan tinggi.
Alhamdulillah, cita-cita mulia itu terwujud. Ketiga anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Suka cita dan rasa bangga menyelimuti hati mereka saat kami menggunakan toga. Tetapi sepeninggalan Etta, ibu sepertinya tak bangga lagi kepada kami, kedua anak perempuannya. Kami memilih untuk menjadi ibu rumah tangga saja seperti dirinya dulu, bukan menjadi seperti apa yang Ibu cita-citakan atau yang Ibu banggakan dari anak-anak temannya. Kami bukan pegawai negeri yang memiliki tunjangan hingga hari tua. Kami juga bukan pegawai swasta yang memiliki kesibukan dan penghasilan yang sama banyaknya. Kami pun tak melanjutkan kuliah lagi ke jenjang lebih tinggi dan mengajar menjadi dosen seperti apa yang ibu kerjakan saat ini. Kami, kedua anak perempuannya, hanya seorang ibu rumah tangga yang tergantung penuh pada penghasilan suaminya, tak punya kesibukan di luar dan ingin merawat anaknya dengan tangannya sendiri.
Kenyataan itu rupanya tak membuat ibu bangga karena kami tak bisa memberikannya uang yang banyak setiap bulannya, tidak seperti anak-anak temannya yang selalu beliau ceritakan. Dan semua hal itu, membuatku merasa sangat bersalah. Segala pengorbanan Ibu dan Etta selama kami sekolah seakan sia-sia.
Membaca kisah orang-orang yang berhasil naik haji pada musim ini membuatku terinpirasi untuk menghadiahkan ibu perjalanan umroh bahkan haji. Ingin rasanya melihatnya tawaf mengelilingi kabbah dan mencium hajar aswad. Aku tahu, yang aku miliki saat ini hanya niat saja, aku tak punya penghasilan apa-apa. Tetapi Ibu dan Etta menginspirasiku bagaimana mereka berusaha agar aku tetap sekolah, dimana ada niat, jalannya akan terbuka kemudian.
Aku ingin mengaktifkan bisnis kueku lagi sambil mengembangkan bisnis home decor yang sedang aku rintis. Semoga ini bisa membuka jalan hingga tabungan umtoh ibu cukup hingga 2 tahun kedepan bahkan bisa lebih cepat. Semoga. Aku hanya ingin berbuat sesuatu yang membuat ibuku bangga padaku.