Membaca salah satu pendaki yang dinyatakan tewas di Gunung Gandang Dewata membuatku terhenyak hingga merinding. Dikabarkan ia ditemukan dalam keadaan telah membusuk di sekitar pos 10. Upaya tim SAR selama 3 minggu akhirnya membuahkan hasil, sayangnya nyawa Farhan tak mampu diselamatkan lagi.
Seperti diberitakan sebelumnya, 5 orang pendaki dinyatakan hilang di Gunung Gandang Dewata, Mamasa, Sulawesi Barat. Tim yang memulai ekspedisi sejak tanggal 23 Januari 2013 ini, ditargetkan akan kembali ke kampus masing-masing pada tanggal 31 Januari 2013. Namun hingga waktu yang diprediksikan mereka tak juga mengirim kabar. Mereka adalah Muhammad Mukhsin (Mapala Unasman), Awal (Mapala Unsulbar), Nurhidayat, Muhammad Ilham dan Farhan ketiganya anggota Mapala UIN Alauddin, Makassar.
Tim SAR pun diturunkan untuk mencari mereka. Puluhan relawan dari berbagai organisasi Mapala ikut membantu pencarian. Empat orang kecuali Farhan, berhasil ditemukan selamat pada tanggal 8 Februari 2013 meski sangat lemas. Jasad Farhan baru ditemukan kemarin, Kamis (20/02/2013).
Setelah mencapai puncak, kelima pendaki ini tersesat, begitulah yang saya baca dari berbagai media. Kabut yang tebal dengan jarak pandang yang hanya 1 meter, membuat mereka tak mampu melihat jalur dengan jelas. Mereka telah jauh melenceng dari jalur yang sebenarnya. Kondisi fisik mereka pun terus menurun bersama dengan persediaan logistik yang makin menipis. Diantara kelima orang dalam tim, dikabarkan kondisi fisik Farhan yang paling lemah. Saat semua temannya berusaha mencari sumber air, Farhan tertinggal sekitar 300 meter. Saat mereka kembali mencari Farhan, mereka tak menemukannya lagi.
Mendaki gunung mempunyai “harga”nya sendiri yang tak mampu terbayar dengan nominal tertentu. Layaknya sebuah lukisan abstrak yang hanya sang pelukis yang mengetahui maknanya, namun dapat terjual dengan harga fantastis. Bagiku, salah satu pendakianku yang “termahal” adalah saat mendaki Gunung Gandang Dewata.
Harus saya akui, diantara semua gunung yang pernah saya daki, Gandang Dewata adalah gunung yang cukup mistis dengan jalur yang cukup berat. Untuk mencapai puncak dibutuhkan setidaknya 3 hari pendakian dan 2 hari waktu untuk turun kembali.
Pendakian di Gunung Gandang Dewata takkan pernah saya lupakan, karena disanalah saya seperti akan di jemput malaikat maut. Kesalahan pertama yang saya lakukan adalah, saya tidak meminta izin pada orang tua secara baik-baik. Saya hanya menelpon mereka saat bus yang akan mengantarkan kami ke Mamasa telah sampai di Maros. Orangtuaku kaget dan tak mampu berkata lagi, saya sudah terlanjur dalam perjalanan. Bagi pendaki dan calon pendaki, izin pada orangtua harus digarisbawahi. Izin mereka akan diikuti doa yang makbul yang membuat perjalanan kita jauh lebih lancar.
Saat pendakian hingga mencapai puncak, semuanya cukup lancar. Kondisi masih fit meski cuaca cukup ekstrim. Saya masih membawa carier ku sendiri, masih mampu memasak untuk timku bahkan kami selalu bercanda bersama. Sebuah pendakian yang menyenangkan. Kala itu, saya berenam Kak Buyung, Kak Barnez, Kak Gihon, Kak Ai, Legi dan saya sebagai satu-satunya perempuan.
Setelah mencapai puncak, kondisi fisikku mulai menurun namun kami masih
berjalan dengan ritme yang normal dan dengan beban di pundak masing-masing. Hingga kami
tiba di camp, rasa sakit perut yang sejak tadi saya rasakan kian melilit luar biasa. Setiap makanan yang masuk langsung termuntahkan. Berulang kali saya harus buang air besar bahkan hingga mengeluarkan darah. Suhu tubuh pun meningkat. Malam itu, teman-teman menyuruhku istirahat lebih cepat, setelah menyuruhku menenggat obat. Semua lelaki itu mengambil alih tugasku memasak.
Pagi merekah, kondisi tubuhku tak juga membaik. Semalam, tidurku tidak nyenyak karena sakit. Demamku pun tak juga turun. Target hari ini kami sudah bisa mencapai kampung terakhir. Dengan medan yang berat dan kondisi tubuh yang menurun apalagi tak mampu makan apapun, membuat saya sangat lemas. Namun saya terus berjalan. Target jalan sesuai perencanaan tidak tercapai. Kami harus berhenti hari itu di sebuah camp di dekat sungai, karena kondisiku yang semakin menurun.
Esoknya, saya berusaha untuk berjalan lagi. Kali ini beban carierku telah dikurangi. Namun, walaupun berkurang, jalanku tetap melambat dan setiap beberapa langkah harus berhenti. Serasa kakiku tak mampu lagi menopang tubuhku, kepalaku terlalu berat untuk dibawa berjalan. Perjalanan pulang ke kampung terakhir layaknya perjuangan hidup dan mati.
Beruntung, saya mempunyai tim yang sangat solid. Mereka terus memberi semangat dan mengurangi ego untuk tiba tepat waktu. Mereka ikut berhenti ketika saya tak sanggup untuk berjalan lagi. Bahkan ada kalanya, saya langsung menjatuhkan diri dengan carrier di bebatuan. Mereka layaknya kakak yang mencurahkan kasih sayang kepada adiknya, memberi motivasi yang tiada henti. Jika dinalar, tak mungkin saya mampu berjalan sejauh itu dengan kondisi fisik yang betul-betul telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan, hanya mental untuk bertahan hidup dan semangat dari teman-temanku yang membuatku terus berjalan.
Saat kami hampir tiba di kampung terakhir, saya betul-betul tak mampu lagi. Tenaga betul-betul telah habis. Berulang kali saya mengucapkan untuk meninggalkanku saja sendiri, namun mereka tidak melakukan hal itu. Mereka tetap setia menjagaku dan mengisyaratkan bahwa kita tim, mendaki bersama dan pulangpun harus bersama. Saat itu saya mengeluarkan air mata, bukan karena sakit yang tidak tertahankan tapi solidaritas tim yang membuatku bangga.
Dan hingga hari ini, saya sangat bersyukur ikut bersama tim yang sangat membanggakan. Perjalanan itu adalah salah satu perjalanan yang paling berharga dalam hidupku. Perjalanan yang akan selalu mengambil satu ruang di memoriku. Meski sepulang dari sana saya harus dirawat di Rumah sakit selama 2 minggu, namun tanpa mereka, mungkin nasibku saat itu sama seperti Almarhum Farhan.
Selamat jalan Farhan, semoga engkau mendapatkan tempat terindah disana. Kisahmu terukir abadi di Gunung Gandang Dewata. Sesungguhnya Allah telah mengatur rejeki dan ajal setiap hamba-Nya.
pengalaman yang mendebarkan kak