Dari seorang yang Bukan Mahasiswa
Kepada Ketua BEM
Aku tahu, surat ini hanya menganggu kesibukanmu. Aku pun tahu surat ini tak penting bagimu. Mungkin kertas-kertas ini telah terhempas sebelum kau menyelesaikannya. Aku maklum.
Aku ingat hari itu, suara bass mu berkoar-koar lantang di tengah hamparan “lapangan merah”, di depan fodium, menyampaikan kata demi kata dengan sangat mantap. Dari sound system, suaramu menggema hingga ke ruang kelas, bagai magnet yang menarikku melihatmu. Orang-orang mengatakan itu adalah visi misi kepengurusan setahun ke depan, tapi jiwa apatisku mengatakan bahwa hal itu adalah kebohongan pertama yang disampaikan seorang calon pemimpin. Harapku, itu tak berlaku padamu.
Cerahnya cuaca membuatmu terlihat tampak makin memesona. Ketegasan wajahmu makin terlihat jelas. Tubuhmu di balut jas almamater membuatmu makin berwibawa. Kadang-kadang senyummu tersungging memperlihatkan lesung pipi yang begitu dalam. Pandangan matamu menunjukkan vitalitas seorang pemimpin. Menawan. Kau tampak lebih segar daripada tiga-empat hari sebelumnya. Saat itu kau terlihat lusuh, kusam, sedikit pucat, tampak kurang tidur. Kata orang, malammu diisi dengan screening, kalau aku tak salah. Dan kata orang lagi, itu adalah refleksi yang kerap dilakukan untuk menjaring kandidat pemimpin baru. Entahlah.
Aku tak pernah bergelut di dunia organisasi kemahasiswaan seperti langkah-langkah dan bayanganmu. Teman diskusimu kerap menyindirku “anak kuliah” bukan “mahasiswa” seperti istilah yang tepat untuk kau dan teman-temanmu. Aku datang ke kampus hanya untuk menerima mata kuliah dari dosen, lantas setelah itu, pulang ke rumah dan mengerjakan tugas. Aku tak pernah sempat nongkrong di kampus untuk sekedar diskusi masalah politik, sosial, budaya, atau apapun itu. Kata temanmu lagi, aku adalah anak bureng yang tak punya masa depan yang jelas karena tak pernah bergelut dengan organisasi.
Terserahlah… ini hidupku, ini pilihanku!
Sedangkan kau. Seorang aktivis kemahasiswaan yang sering kali menyampaikan idealisme kemahasiswaanmu di hadapan kelas. Mengkritik dosen tanpa takut. Berpengetahuan luas. Hilir mudik mengurus persuratan. Begitu vokal dalam setiap diskusi.
“Saya berdiri disini, mencalonkan diri sebagai ketua BEM, berarti saya berani. Tapi berani yang saya maksud bukan berani nekad, tetapi berani yang telah melalui proses perhitungan yang matang” Orasimu.
Aku makin tergila-gila dengan kharismatik yang kau miliki, lamunanku melayang, berdua bersamamu merangkak untuk mencapai masa depan yang cemerlang. Aku menyambutmu dengan seulas senyum sederhana, satu-satunya kelebihan yang kumiliki, saat kau datang dari kegiatanmu yang seabrek di luar sana. Aku siap memijatmu, satu-satunya kemampuanku, untuk meringankan beban di pundakmu. Aku siap menjadi tempat sampah segala keluh kesahmu, sebuah fungsi yang aku harap berguna untukmu. Sederhana tapi mampu meredamkan kompleksitas permasalahan yang akan kau hadapi nanti.
Kerumunan mahasiswi lain mendorongku, membuyarkan lamunanku bersamamu. Mereka adalah teman-temanmu, perempuan-perempuan yang kerap aktif mengunjungi himpunan kemahasiswaan. Mereka histeris melihatmu dan kaupun menyunggingkan senyum untuk mereka. Aku menunduk dan berlalu…
Beberapa hari setelah itu, aku pun mendapatkan kabar bahwa dirimu memperoleh suara terbanyak, mengalahkan dua orang calon ketua BEM lainnya. Hal itu berarti, dirimu berhak menduduki jabatan agung di dunia kemahasiswaan.
Aku kehilangan eksistensi sejak pertama menginjakkan kaki di kampus ini. Pemikiran konvensional keluargaku, menghalangi langkahku untuk mengikuti prosesi adat menjadi seorang mahasiswa baru. Ospek meski melahirkan kontra dari berbagai pihak, tetap dilaksanakan sebagai pintu masuk. Beberapa orang tidak ikut dalam prosesi itu, termasuk aku.
Pada kegiatan itu, pemikiranmu dan teman-temanmu disuntik dengan berbagai wacana kemahasiswaan. Tak luput, engkau di hegemoni dengan wacana untuk mengucilkan kami yang tidak ikut dalam prosesi tersebut. Mengucilkan kami yang dalam pandangan kalian adalah seorang pecundang. Memandang sebelah mata kepada kami yang tidak mengikuti aturan.
Maka, lahirlah kami menjadi golongan minoritas, golongan termarginalkan di lingkungan intelektual ini. Kami bagaikan alien yang berjalan di koridor kampus, hanya mampu memandang lantai kala berjalan, memandangi jejak-jejak langkah kami tanpa berani untuk menatap mata-mata yang mencibir kami.
Dipersulit saat asistensi tugas, hanya mampu melihat kegiatan kemahasiswaan dari kejauhan, tidak bisa terlibat dalam kegiatan organisasi, tidak memiliki banyak teman bahkan di musuhi oleh para senior adalah hari-hari yang patut kami jalani. Menyedihkan tapi tetap harus kami lalui. Memilukan tapi tak mampu kami elakkan.
Kau dan juga teman-temanmu, tidak pernah merasakan bagaimana diskriminasi yang kerap kami alami itu terjadi. Tak pernahkah kalian merasakan ketika para mahasiswa yang merupakan seniormu, bukan seniorku, menghadapi kami saat asistensi? Respon-respon yang menyulitkan bahkan tak jarang menjatuhkan. Beberapa kali mereka mencoret-coret gambarku begitu saja setelah mereka menanyakan apakah aku mengikuti prosesi penyambutan dan aku menjawab “tidak”. Meskipun gambar-gambar itu aku kerjakan antara sadar dan tidak sadar di antara keheningan malam, dan asistensi dengan mata yang masih bengkak karena tak tidur. Tetapi mereka tidak peduli, usahaku tidak di hargai. Adilkah?
Tetapi aku tidak patah arang begitu saja. Aku tetap berjuang, bukan berjuang untuk kepentingan banyak orang yang kalian biasa lakukan, tetapi berjuang untuk diriku sendiri. Tetapi bukankah hal itu lebih realistis daripada perbuatan kalian? Perbuatan yang terkadang hanya sampai angan-angan belaka. Katanya, memperjuangkan kepentingan bersama, tetapi realitasnya? Kepentingan yang kalian penuhi hanya untuk kalangan elit saja.
Walaupun tak dapat aku pungkiri, terkadang, aku iri dengan apa yang kau dan teman-temanmu alami, aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Hasrat itu tersimpan di dalam hatiku. Aku sebenarnya menginginkannya.
Secara akademik, nilai-nilaiku memang mengangumkan. Semua adalah hasil kerja kerasku. Penolakan asisten bertubi-tubi membuatku merasa jauh lebih tangguh daripada kalian. Teman-temanmu yang mencibirku mengenalkanku pada optimisme, bahwa akan aku tunjukkan bahwa diriku mampu. Dan semua itu mengharuskanku untuk terus menggali inisiatif agar bisa melebihi atau paling tidak sejajar dengan kalian. Bahkan aku dituntut untuk lebih kreatif agar bisa menarik perhatian asisten dan melupakan sejenak identitasku sebagai pecundang-seperti apa yang sering seniormu bilang.
Bukankah energi positif seperti itu yang kalian dapatkan pada organisasi kemahasiswaan?
Tetapi banyak hal lain yang membuatku merugi karena tak bisa aktif bersama kalian. Salah satunya, aku menjadi mahasiswa yang gagal sosial dan sulit untuk beradaptasi. Dan harapanku kau mampu mengimbanginya. Tetapi akankah?
Kini, di saat usia kepemimpinanmu memasuki bulan ke tiga, kamu di hadapkan pada sebuah masalah pelik. Masalah yang kerap di hadapi orang-orang di posisimu, masalah prosesi penerimaan mahasiswa baru. Sebuah kegiatan yang membuatku menjadi alien. Sebuah kegiatan yang selalu melahirkan pro dan kontra. Seandainya kamu mampu merasionalisasikan “mengapa kegiatan ini menjadi wajib bagi mahasiswa baru” kepada semua orang, aku yakin banyak yang akan mengikutinya. Sayang, kau dan juga senior-seniormu tak mampu melakukan itu. Bahkan kalian sendiri pun, orang-orang yang pernah mengalami “pengkaderan” belum juga paham esensi yang dikandung kegiatan yang tidak aku ikuti itu. Lalu untuk apa kalian masih teguh memegang tradisi yang kalian sendiri tak mengerti akan substansi dan esensinya?
Pencuri hatiku…
Sadarkah engkau bahwa aku selalu memperhatikanmu? Aku mengikuti perdebatanmu dengan siapa saja selama tertangkap oleh inderaku. Walaupun aku tahu, terkadang engkau hanya beretorika, hanya indah di bibir tetapi tak memiliki isi. Tetapi tak sedikit pemikiran-pemikiranmu membuatku makin mengagumimu.
“Mengapa kau hanya melihat dan mendengar kami dari kejauhan dan tidak duduk bersama kami?” Suaramu kala itu mengagetkanku. Kau berdiri tegap di sampingku. Lesung pipi itu, mata itu, alis yang begitu sempurna, rahang yang begitu tegas, aku begitu mengenalnya. Aku mendekap tumpukan buku di depan dadaku lebih erat. Berpaling. Rok panjang yang aku kenakan sengaja ku angkat sedikit dan segera mempercepat langkah melewati koridor. Ada geteran yang tidak aku mengerti menghentak jiwaku seketika. Kau berbicara denganku? Ah… saat itu aku tak yakin apakah aku betul-betul berpijak?
Tubuhku segera menghilang dari penglihatanmu.
Walau berat membiarkan prosesi penerimaan mahasiswa baru itu berjalan tanpaku tetapi aku tak dapat berbuat banyak mengingat kesehatanku yang kurang baik saat itu.
Gejolak revolusioner yang sempat bersemayampun akhirnya aku tekan. Walaupun belum aku akui kekalahanku. Aku memutuskan otodidak dengan membaca buku-buku di perpustakaan dan melakukan pengamatan. Sekedar mencari tahu tidak lebih dari itu.
“Hei, sedang sibuk?” Aku memalingkan mataku dari buku di atas meja ke arah sumber suara. Kau lagi? Kali ini, aku tidak sempat melarikan diri.
“Iya!” jawabku seadanya dan kembali mengenyam buku di hadapanku. Menghentak-hentakkan pulpen di atas meja mencoba meredakan gejolak di sudut hatiku.
“Apakah kau ingin ikut berdiskusi sebentar sore?”
Aku hanya menggeleng.
“Mengapa kau enggan duduk dan berbagi pendapat bersama kami?
“Karena aku bukan bagian dari kalian.”
“Maksudmu?”
“Aku tidak ikut prosesi adat seperti yang kau dan teman-temanmu lakukan.”
Kau tampak terdiam.
“Bukankah kamu orang nomor satu di tempat ini, upss maaf!” Aku menutup kedua bibirku dengan jari telunjuk. “Maksudku nomor satu di dunia kemahasiswaanmu.” Sinisku.
“Dari mana kau tahu?”
“Hahaha… pertanyaanmu terdengar bodoh untuk kapasitas seperti dirimu.” Wajahmu terlihat masam. “Aku memang tak terlihat oleh kalian bukan berarti aku buta terhadap kalian. Aku juga tak terdengar oleh kalian tetapi aku tidak tuli mendengar berita. Maaf, aku tidak memiliki banyak waktu, skripsi ini harus segera diselesaikan.” Tangan kekarmu menggenggam tanganku menahanku agar tidak segera beranjak.
Aku terhentak oleh sikapmu. Aku memandangmu hendak marah. Tetapi rasa lain di sisi hatiku bergolak lebih kuat. Menggetarkan. Bahkan hampir menyesakkan. Kamu yang selama ini hanya dapat aku pandang dari jauh kini berada tepat di hadapanku, memandangku penuh makna, mengenggam pergelangan tanganku. Kau membuat hatiku menggelepar seketika. Pesonamu membuatku kaku. Lama kita saling menatap. Aku pun sadar. Segera ku rapikan seluruh dokumen yang berserakan di atas meja dan meninggalkanmu sendiri yang masih terpaku di depan meja perpustakaan.
Di acara pelepasan alumni kemarin, diriku ditetapkan sebagai lulusan terbaik. Saat itu, seluruh dosen memuja hasil akademik yang aku peroleh tetapi tidak dengan kalian, para mahasiswa, yang tidak tahu atau mungkin tak mau tahu dengan kelulusanku. “Bagaimanapun mereka berusaha untuk selesai lebih cepat, perempuan akan berujung ke dapur juga.” Sinismu
“Lalu kenapa?” Tanyaku dalam hati seketika. Apakah ilmu yang di dapatkan di kampus harus di aplikasikan di kantor? Ilmu adalah harta yang paling bernilai dan akan semakin bernilai jika diamalkan dalam ruang lingkup yang tak terbatas pada ruang kantor semata.
Aku akan menjadi pendidik untuk anak-anakku di rumah dan merawat dirimu agar siap menjadi pemimpin dunia. Tetapi sekali lagi, akankah………?
Biarlah surat ini begini adanya. Penuh tanda tanya seperti padatnya rasa penasaranku mengenai kau baca atau tidaknya tulisan ini. Mungkin akan terhempas atau bahkan terlepas begitu saja. Akupun tak tahu akan nasibnya, seperti aku yang tak pernah tahu takdirku, apakah akan aku temukan keseimbangan bersamamu, suatu hari kelak?
cerpen fiksi ataw non fiksi ini bu??
ceritanya real, penggambaran apa yang terjadi di universitas itu sendiri..(universitas apakahh…hooho) :p
keren..trus berkarya cappo. 🙂
Bagus bagus memang cerpennya Inart. Boleh dong kisahku dibuat cerpen ? ato sekalian novel. hihihihi. maunya…
Bagus skali cerpenta kanda senior….mantap mentong……
Saya rasa apa yang ada di cerpenta pasti ada yang sesuai….
semangat terus untuk menulisnya…
enak tong klo ada anak teknik seperti dewi lestari…amin…
KOFFTE
menarik!!
ini fiksi atau fakta
entah salah satunya
namun ini nampaknya selalu ada di tengah kita
fiksi yang didasari oleh kenyataan,,,
nice cerpen kanda,,
membuka sudut pandangku tentang realita yg ada,,
(bgmana yang sebenarnya…??)
KOFTE
sudut pandang yang sungguh menarik..
mengangkat pergumulan hati mahasiswa non aktivis…
hehe jadi sadar kalo aku pun dulunya kurang berempati dan menganggap mereka tidak peduli dengan situasi sekitar…
Saya jadi semakin kagum sama kita nart. *seandainya saja …………..*
Wah saya baca di tahun 2020