Tak jarang aku dapati pertanyaan dan pernyataan yang terdengar amat sinis melihat aku senang menyapa alam dengan menapakkan jejak untuk mencapai puncak. Tetapi aku tak begitu peduli, aku tetap menyapanya, lagi dan lagi.
Selalu ada kebanggaan, mengalahkan letih dan ego diri ketika menapaki puncak-puncak gunung itu. Makin bergejolak bentang alam untuk mencapainya, makin bergairah jiwa ini untuk menyusurinya. Ketika lelah mendominasi hendak menuju titik klimaks, selalu ada gairah yang aneh mengusik, rasa yang tak mampu di definisikan, sebuah hasrat yang dirasakan hati dan pikiran secara bersama, sebuah gejolak yang hmm…… ah, entahlah. Sulit untuk di ungkapkan. Di sanalah rasa itu, hasrat yang menjadi candu, gairah yang terus mengaung di telinga dan memanggil kaki ini untuk kembali menapaki. Gairah itu terus berulang, tak pernah selesai.
Apakah sesederhana itu? Bukankah hal itu berarti pendakian tak lebih dari hegemoni aktifitas rekreasi yang hanya berasa keindahan saja? Tetapi untuk apa keindahan itu? Bila sang bayu tak pernah dimengerti, sang embun tak pernah dipahami. Untuk apa embun menyelimuti punggung gunung, pernahkah kita bertanya akan hal ini? Aku yakin, ada segurat makna dan tujuan yang lebih dari itu.
Dahulu, warga Yunani yang hidup di daerah perbukitan berpikir bahwa setiap kali mereka di tanah tinggi selalu saja ada keterpakuan pada sebuah tempat yang lebih dari semua tempat yang mereka pijak. Tempat itu bernama Gunung Olympus. Dan lahirlah sebuah hasrat yang tak pernah berhenti yang mereka sebut “Menaklukkan Olympia”. Bukan hanya pendakian fisik, namun terlebih kepada pendakian spiritual untuk menaklukkan diri sendiri dan juga mencari ada kebenaran apa di atas sana.
Ada kebenaran apa di atas sana? Pertanyaan itu yang terus mengusik, membangkitkan gairah, rasa yang kembali membuncah untuk mencari sebuah jawaban. Mengapa? Bagaimana? Kekuasaan? Keagungan? Keadilan? Dan sederet pertanyaan yang panjang mencoba mengais-ngais otakku untuk terus berputar, berpikir, mencari.
Mengapa setelah berpijak di tempat tinggi masih ada yang lebih tinggi? Serendah itukah aku? Senista itukah? Disitulah benturan itu, benturan yang menghadapkan aku pada suatu hubungan vertical, benturan yang membawaku pada suatu pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban spiritual, yah suatu pertanggungjawaban yang kadang bahkan sering aku lupakan. Kekuasaan-Nya, keagungan-Nya, terasa begitu jelas disana.
Dan kebenaran apa lagi yang ada di atas sana? Satu dari pertanyaan yang belum juga selesai.