“Ibu menang ka gang” sorakku ketiga membaca hasil rekapitulasi suara pilkada di koran pagi tadi.
“Menang apa sede” Tanya ibu
“Menang ki golput gang!�” Ibu yang mendukung salah satu calon gubernur hanya tersenyum mendengarnya.
Proses rakapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah di rampungkan kemarin (14/11) di Panakukang Mas Country Club (PMCC). Hasil rekapitulasi menunjukkan pasangan nomor urut satu, Amin Syam-Mansyur Ramly (Asmara) memperoleh 1.404.910 suara (38,76 %), pasangan nomor urut dua Aziz Qahhar Mudzakkar � Mubyl Handaling memperoleh 786.792 suara (21,71%) dan pasangan nomor tiga, Syahrul Yasin Limpo � Agus Arifin Nu`mang unggul dengan perolehan 1.432.572 suara (39,53 %). Pasangan Sayang unggul 27.662 suara atau 0,77% dari pasangan Asmara.
Sementara suara yang tidak sah sebanyak 86.032 suara atau sekitar 2,32 persen. Jadi, total suara yang masuk sebanyak 3.701.306. Bila dibandingkan dengan daftar pemilih tetap (DPT) terakhir pada 4 November yang mencapai 5.307.131, maka dapat disimpulkan bahwa warga masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya di Sulawesi Selatan mencapai 1.596.825 atau lebih besar dari perolehan suara yang unggul.
Jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya saat ini memang semakin meningkat. Dari hasil Pilkada Provinsi Sumatera Barat 2005, dari jumlah pemilih sebanyak 2.927.904 jiwa yang tidak memilih sebesar 35,70% (KPU Sumatera Barat, 2005); di Provinsi Bangka Belitung 2006, dari jumlah pemilih sebanyak 731.709 jiwa yang tidak memilih sebesar 39,98% (KPU Bangka Belitung, 2006). Adapun di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, 2006 dari jumlah pemilih sebanyak 951.840 jiwa yang tidak memilih sebesar 48,20% (KPU Kab. Pati, 2006). Di Kabupaten Jepara 2007, dari jumlah pemilih sebanyak 779.630 jiwa yang tidak memilih sebesar 44,93% (KPU Kab. Jepara, 2007). Jakarta sebagai ibukota negara, dari jumlah pemilih sebanyak 5.719.285 orang yang tidak memilih sebanyak 2.122.248 atau sekitar 37% (KPU DKI Jakarta, 2007).
Persoalan golput memang bukan suatu fenomena baru. Golput adalah suatu gerakan yang muncul dari kelompok yang dipelopori oleh Arief Budiman dkk, sebagai sikap dan tindakan politik yang tidak berpartisipasi dalam pemilu Orde Baru atau dengan kata lain �tidak memilih sebagai suatu pilihan� karena kecewa akibat pemilu yang tidak demokratis.
Tingginya jumlah golongan putih pada pemilihan di Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Selatan pada khususnya menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan rakyat pada pemerintahan semakin menurun. Mobilisasi politik yang masih mengandalkan pembagian baju kaos, dangdutan, menjual figur, program-program abstrak rupanya tak mampu menarik minat masyarakat untuk aktif berpartisipasi pada Pilkada. Yah, mungkin rakyat sudah jenuh dengan mobilisasi politik yang terkesan tidak lebih dari sekedar hura-hura tersebut.
Hal ini pula dapat menggambarkan bahwa rakyat sebenarnya membutuhkan politik alternatif yang mampu mengekspresikan keinginan rakyat. Selain itu, proses pendidikan politik di kalangan masyarakat mungkin belum berlangsung secara maksimal atau malah sebaliknya pendidikan politik ternyata membuat masyarakat muak.
Administrasi pilkada juga menjadi alasan tingginya potensi golput di Sulawesi Selatan. Beberapa masyarakat tidak mendapatkan surat panggil untuk memilih. Di rumah saya misalnya, hanya ada dua surat panggil untuk memilih, itupun di peruntukkan kepada anggota keluarga yang sedang berada di luar kota. Hal ini menjadi salah satu alasan saya tidak memilih saat itu.
Dari hasil perolehan suara kemarin (14/11), golongan putih mengungguli suara pasangan sayang. Dengan demikian �pemilih yang tidak memilih� di Sulawesi Selatan sebenarnya memiliki legtimasi politik, sedangkan pasangan Syahrul � Agus hanya memiliki legtimasi hukum atau dengan kata lain secara demokrasi, ekspresi golput merupakan suatu pilihan politik yang lebih berkualitas. Namun bagaimanapun, hasil pilkada tetap dinyatakan sah karena sudah sesuai dengan prosedur dan tahapan sekalipun tidak didukung oleh mayoritas pemilih.
Potensi golput yang begitu besar dikhawatirkan dapat berdampak pada kemungkinan golput untuk dikambing hitam kan oleh pasangan yang kalah dengan dalih pendukungnya tidak ikut memilih apalagi selisih kekalahan yang sangat kecil. Hal ini bisa berdampak terjadinya konflik pasca pemilihan.
Namun harus disadari, walaupun tidak ada ketentuan khusus yang melarangnya, tetapi golput berseberangan dengan kehidupan demokrasi. Dengan banyaknya golput dan minimnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada Sulawesi Selatan, menandakan bahwa proses demokratisasi masih lemah dan belum berjalan dengan baik. Dan ini merupakan salah satu penyebab kemandekan demokrasi yang harus dihindari. Bahwa �tidak memilih adalah suatu pilihan� adalah hak seseorang tetapi jika angka tersebut semakin tinggi, siapa yang akan dirugikan dan siapa yang akan diuntungkan? Akankah terjadi perubahan? Biarkan waktu yang akan menjawab!
Wasuh betapa memalukannya yang menang adalah golput, bisa dilihat berarti masyarakat kurang mengenal para calon.