Kampanye calon Gubernur dan wakil calon Gubernur Sulawesi Selatan makin memanas. Dimana-mana ada fotonya, ada balighonya, ada spanduknya. Wuih… saingan dengan iklan komersil. Belum lagi yang pake akronim “asmara” dan “sayang”, lagi jatuh cinta kale… Ada juga yang kayak sundal bolong, don’t look back, huahaha… Ada malah yang mau saingan dengan AFI dan Indonesian Idol dengan membuat fans club… Norak…
Kampuspun tak elak di jadikan arena adu kegigihan para kandidat. Misalnya calon A berkampanye pada temu alumni Unhas, calon B berkampanye di kampus UMI, bahkan dari berita yang di tulis Ince di panyingkul.com, kampanye sudah masuk di SMU. Ck ck ck
Kampus tetaplah kampus. kampus seharusnya berada di posisi netral dan secara objektif mengamati dan memberi alternatif solusi terhadap masalah yang dihadapi masyarakat pada semua aspek kehidupan. Jika kampus ditarik masuk area politik praktis secara institusi maka kampus telah meruntuhkan semangat netralitas dan objektivitas dunia kampus dan akademik dengan demikian dunia demokratis di daerah ini akan berlangsung kurang baik.
Terlepas dari ajang Pilkada yang masuk di kampus, jauh sebelum itu saya memang sudah resah dengan politik praktis di kampus. Pada ajang pemilu ketua lembaga misalnya, politik praktis banyak dilakukan oleh para kandidat. Mereka menggunakan strategi ini itu untuk sekedar untuk mendapatkan kekuasaan. Nah, sekarang apa yang membedakan lembaga kemahasiswaan dengan partai politik yang ada di luar sana???