Terkadang hati naruniku bertanya, apakah aku seorang M-A-H-A-S-I-S-W-A?
Aku memang lulusan SMA yang ikut ujian SPMB dan kemudian lulus di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin dan kuliah di Jurusan Arsitektur Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota. Aku terdaftar dengan stambuk d52104032. Aku bisa menunjukkan kartu mahasiswa yang di tanda tangani Rektor sebagai bukti. Lima semester aku telah jalani dan telah mengantongi 100 sks. Sebentar lagi perjalananku di semester enam akan berakhir. Tapi sekali lagi, apakah aku seorang mahasiswa?
Kemana aku saat para elit mempolitisi rakyat? Kemana aku saat rakyat lain berteriak LAPAR, HAK KAMI TERAMPAS? Kemana aku saat globalisme menghempas kearifan lokal, kemewahan yang di miliki negeriku? Kemana aku ketika nihilisme merajai pendidikan yang kujalani? Kemana aku ketika hedonisme menjadi Tuhan teman-temanku? Kemana aku ketika seabrek anomali tertempel di jidat pada semua aspek kehidupan? Kemana? Kemana? Hah KEMANA? Apa yang kuperbuat? Menonton? Mengamati? Atau aku bagian dari mereka?
Kerap kali, seniorku bercerita bagaimana mahasiswa di tahun 1998, aku pun banyak membaca tentang itu. Bagaimana reformasi digelorakan oleh elemen mahasiswa se Indonesia, hentakannya begitu dahsyat hingga mampu melumpuhkan kekuasaan dan otoritarianeisme orde baru di kala itu. Dengan kekuatan moral dan intelektual mereka menumbangkan rezim ORBA yang lalim, korup dan otoriter. Dan kau tahu, mereka M-A-H-A-S-I-S-W-A, kaum intelektual yang sarat dengan nilai dan moralitas, aktivitas ilmiah, agen of social control and agen of changes.
Sedangkan aku…, yang katanya mahasiswa hanya menjadikan intelektual sebagai simbol yang minus implementasi, bahkan terkesan tidak memiliki kapasitas intelektual. Aku terlalu prematur untuk mengklaim diriku sebagai kaum intelektual sedangkan aku hanya terkungkung di balik tembok kampus dan memakan mentah-mentah ilmu yang diberikan oleh dosen. Aku malas mengikuti bedah buku, diskusi ilmiah dan pengkajian ilmu lainnya. Ketakutan lebih mendominasi daripada keberanianku untuk melakukan interupsi intelektual.
Ideologi gerakan mahasiswa tidak berhembus di napasku dan tak mengalir di darahku, aku memang aktif di lembaga kemahasiswaan namun aku tak memiliki pondasi dan tak paham betul tatanan nilai. Lembaga kemahasiswaanku hanya disibukkan dengan konsumsi internal dan “takut” mengambil peran strategis pada ranah eksternal.
Aku meng-amin-i kampus sebagai wujud “Mall baru” bahkan aku terjangkit virus matrealisme, hedonisme dan kapitalisme. Secara kompetitif aku dan lainnya bagai imitasi selebritis.
Aku tutup mata, tutup telinga, tutup mulut bahkan menutup hati pada gejolak sosial yang bersentuhan langsung untuk hajat hidup orang banyak. Aku santai saja menunggu detik-detik kenaikan uang kuliah, detik-detik swasta menguasai pendidikan. Hanya individualisme yang mengiringi perjalanku, bahkan dalam doa, aku hanya memohon semoga aku mendapat nilai bagus dari dosen, semoga aku mendapat rejeki yang banyak untuk membeli baju baru, celana baru, motor baru, bertamasya ke mall, jajan di pizza hut, KFC, McD, dsb. Tak ada doa dan uluran bantuan untuk kaum tertindas, tak ada doa dan uluran bantuan untuk mereka yang terkena musibah, tak ada doa dan uluran pemikiran untuk revolusi negeri ini!
Apakah aku sadar dalam kesadaranku? Apakah aku tidak sadar dalam kesadaranku? Apakah aku sadar dalam ketidaksadaranku? Ataukah aku tidak sadar dalam ketidaksadaran? Jiwaku menangis lirih namun air mataku telah mengering untuk menggaris pipi.
Masihkah aku bangga menyandang nama M-A-H-A-S-I-S-W-A saat ini??????