Tidak semua orang curhat untuk mendapatkan tanggapan. Sebagian besar mereka hanya butuh didengar. Terutama perempuan. Mereka hanya butuh meluapkan bahwa kondisinya saat ini lagi tidak nyaman. Cerita hanya medianya untuk berkatarsis.
Tapi terkadang baru cerita sedikit sudah ditanggapi.
“Kamu masih mending, saya (dan penjelasan panjang berikutnya)”
“Baru juga anak satu, anakku …. “
“Daripada saya…”
“Deh, begitu ji lagi…”
“Harusnya kamu bersyukur …”
Dan masih banyak kalimat lain.
Maksud hati cerita untuk didengar. Malah jadi ajang adu nasib.
Padahal dari ratusan bahkan ribuan variabel penyebab masalah setiap orang, tidak bisa dipukul rata secara linier dengan kondisi kita. Tidak ada salahnya diam sejenak. Mendengar ceritanya hingga selesai. Mencoba melihat dari kacamatanya. Dan saat ia meminta pendapat, baru kita mengutarakannya. Tentu dengan melihat secara bijak dan rasional terhadap probabilitas kondisi orang yang minta pendapat.
Tapi jika matamu tidak mampu melihat jernih dari kacamatanya. Pun telingamu tidak siap untuk mendengar. Ada baiknya diam saja. Peluk saja jika diperlukan.Jangan sampai alih-alih memberikan dampak positif, malah menjadi toxic bagi yang curhat. Bukannya malah menyembuhkan malah melukai.