Terkadang saya iri (dalam arti positif) melihat seseorang tiba di puncaknya lalu dengan penuh percaya diri mengatakan, “Yes, I’m here and I love it“. Saya tidak hanya iri pada pencapaiannya tetapi juga prosesnya, bagaimana mereka fokus dan konsisten pada apa yang mereka sukai hingga tiba di suatu masa dan tempat yang membuat mereka diakui eksistensinya. Prosesnya bukan hanya 1 hingga 2 bulan atau 1 hingga 2 tahun, tapi bertahun-tahun. Prosesnya tidak instan tapi hal itu pula yang membuat mereka bertahan dengan apa yang sudah menjadi pilihannya.
Beberapa tahun terakhir memang saya fokus pada usaha pembuatan kue. Awalnya semua berjalan lancar dengan profit yang menjanjikan. Tetapi setahun terakhir bukan hanya profit menurun bahkan cenderung merugi, bukan hanya karena permintaan berkurang tetapi juga karena berbagai masalah datang silih berganti. Sebulan terakhir, saya dibuat makin gamang dengan bisnis ini. Saya tiba pada titik jenuh yang luar biasa karena berbagai penghalang seolah memaksaku untuk berhenti.
Awalnya saya pikir itu hanya cobaan dalam proses pencapaianku tetapi setelah berdiskusi dengan suami hari ini, ia akhirnya jujur mengatakan bahwa sejak dulu ia ingin mengatakan bahwa sepertinya saya tidak begitu cocok menjalani bisnis ini. Ia tidak tega melihatku yang selalu stres menghadapi berbagai masalah setiap mendapatkan pesanan kue. Saya mengiyakan tanda setuju. Setiap harus mengerjakan pesanan, berbagai penghalang datang bertubi-tubi, entah itu bahan yang rusak, kue yang gagal, urusan perizinan yang tidak selesai, Eci yang menangis seolah tak tega melihat mamanya kerja hingga kemarin mikser yang baru saya beli tiba-tiba rusak dan masih banyak hal lain yang sulit diungkapkan.
Beberapa bulan yang lalu sempat berfikir untuk fokus membuat craft saja dan sepertinya Eci terlihat lebih setuju dibandingkan saat saya mengerjakan kue. Tekanan berkurang. Tetapi ketika seorang teman mengajak kerjasama di bidang kuliner dengan hasil yang menjanjikan, saya pun kembali membawa arusku disana. Apalagi disaat yang sama, ada kewajiban yang harus dibayarkan setiap bulannya. Bulan pertama saya cukup menikmatinya, hanya bereksperimen. Bulan kedua hasilnya lumayan tetapi harus menutupi investasi. Bulan ketiga dan keempat saya mulai kelabakan, banyak hal yang akhirnya mengantarkan saya di titik jenuh.
Bisa saja saya tinggal di rumah, menjadi pure ibu rumah tangga yang menanti gaji suami di akhir bulan. Pernah saya mencobanya dan itu malah membuat saya malah lebih tidak sehat secara emosional. Sejak dulu saya terbiasa memenuhi kebutuhanku sendiri, bergantung penuh pada orang lain meskipun dia suamiku seperti menistakan diriku yang sejak dulu mandiri, It’s not me.
Dalam diskusi bersama suami tadi saya coba meminta pendapatnya sekali lagi, apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Dia hanya balik bertanya, dari semua kegiatan yang saya jalani, apa yang paling saya suka? Saya terdiam sejenak, berpikir. Kuliner, craft, fotografi ataukah melanjutkan akademik? Lama saya terdiam, dan suamiku melanjutkan kalimatnya, “Apapun pilihan ta’ yang penting kita menjadi Ibu terbaik untuk Eci”. Saya tertohok seketika, namun detik berikutnya saya sadar, yah… menjadi Ibu yang terbaik. Kondisiku saat ini memang tidak sebebas dulu lagi, ada anak yang telah menjadi tanggungan. Apapun keputusanku besok, saya harus ingat tujuanku jadi Ibu yang terbaik.
sama, kak.
saya juga baru niat nulis tentang protes2 dan pantangan2 kalau mau eksis berkegiatan…
yaa tidak sebebas dulu lagi 🙂
Iya Qiah, terasa sekali perbedaannya. Apalagi bagi kita yang sejak dulu aktif dengan berbagai kegiatan
Terbaik memang…..