Panjang Umur: Menulis

      Tak ada komentar pada Panjang Umur: Menulis

image

Hidup bukanlah tentang langkah yang pernah kau tempuh atau tempat yang pernah kau datangi, tapi tentang jejak yang kau tinggalkan.

Seseorang menuliskan kalimat ini di linimasa twitternya sore ini. Membuat saya mengingat kembali sebuah cita-citaku yang mungkin kedengarannya aneh, saya ingin panjang umur.

Panjang umur yang saya maksud bukan berarti umurku bisa mencapai ratusan (namun jika Allah menganugrahkannya, alhamdulillah). Panjang umur bagiku adalah pada suatu masa nanti, saat ragaku tidak berada di dunia ini lagi, anak cucuku masih mengingatku, mereka masih mengenangku. Mungkin puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun yang akan datang, masih ada jejak yang ku tinggalkan untuk menjadi inspirasi dan motivasi mereka.

Mungkin seperti Einstein, James Watt, Alexander Graham Bell, atau penemu-penemu lain yang membawa perubahan bagi dunia ini.

Atau seperti William Shakespeare, Anne Frank, Agatha Cristie, Jane Austen, Ibu Kartini, Gie, dan banyak penulis lain yang telah tiada namun masih “hidup” hingga sekarang lewat tulisan mereka. Saya memilih untuk menjadi seperti ini. Yah…, dari dulu saya menyadari itu. Agar bisa panjang umur saya harus menulis, menulis dan menulis.

Tetapi hampir 1 tahun, aktivitas menulisku makin menurun. Saya hanya menulis sekali seminggu, setiap hari jumat, menulis surat untuk suamiku di sebuah halaman khusus buat kami berdua. Selebihnya saya jarang menyelesaikan tulisan di blog ini, banyak sekali yang hanya sampai di draft saja, tidak ter-publish (mudah2an yg kali ini tidak lagi). Menulis sebuah status di fb, linimasa di twitter atau tret di plurk pun jarang.

Mungkin karena sejak menikah saya memiliki teman mengobrol yang sangat menyenangkan. Hampir setiap saat kami berbagi cerita. Bercerita tentang mimpi dan rencana kami saat bangun di pagi hari dan sarapan, bercerita di atas motor saat perjalanan menuju tempat aktivitas kami masing-masing, chatting saat makan siang, berbagi tentang aktivitas kami seharian di perjalanan pulang dari aktivitas, dan cerita-cerita lain yang belum sempat tersampaikan ketika makan malam dan menjelang tidur. Suami sekaligus sahabatku ini memang mampu memberikan terapi bagiku yang dulu jarang berbagi cerita menjadi begitu cerewet di depannya.

Dulu, alasanku sering menulis karena kesulitannku berbagi cerita dengan orang lain. Untuk membaginya, saya pun menuliskannya, meluruhkan sedikit beban. Kadang tertawa geli sendiri membaca tulisan lama yang agak-agak lebay. Namun, meski menggelikan paling tidak saya telah mengabadikan salah satu part dalam hidupku.

Mengapa justru di awal kehidupan baruku saya tidak mengabadikannya di blog ini? Mengapa seringkali hanya menjadi sepotong tulisan yang tidak terselesaikan? Mungkin karena terlalu sibuk dengan beberapa kerjaan dan kegiatan sebagai ibu rumah tangga? Ah… kasihannya kesibukan lagi yang disalahkan, padahal keinginan dari dalam diri untuk menyelesaikan tulisan yang tidak ada. Toh, banyak orang lain yang mungkin jauh lebih sibuk, tetap bisa mengisi blognya sekali seminggu bahkan setiap hari.

Sepertinya motivasi untuk terus menulis perlu di genjot lagi. Saya ingin panjang umur, dan untuk mencapainya saya hanya perlu menulis, menulis dan menulis. Itu saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.