Telah lama sebenarnya ingin mengukir kisah ini disini, tetapi badanku sering kali bergetar hebat setiap mengingatnya, bibirku kaku, mataku memanas, kelopak mata bagian bawah begitu berat mencoba membendung air mata yang siap mengalir.
Masih jelas diingatanku. Hari itu tanggal 11 Juni 2012, sebenarnya hari itu hari bahagia kami. Tanggal yang sama 3 tahun yang lalu, saya dan suamiku sepakat untuk menjalin kasih. Hari itu kami jalani penuh rasa kebahagian. Saat malam tiba, suamiku tidur lebih dulu. Dia hendak menonton bola yang akan tayang tengah malam. Sedangkan saya, masih sibuk dengan beberapa pekerjaan. Setelah pekerjaan itu selesai, saya pun membangunkan suami. Waktu menunjukkan antara pukul 11-12 malam, saya pun istirahat.
Baru saja terlelap, handphone-ku berbunyi. Suami membangunkanku. Nomor yang tidak terdaftar di phonebook-ku. Saat saya mengangkatnya, tidak terdengar suara. Saya pun mematikannya dan tidur kembali. Hpku berdering lagi dari nomor yang sama, saat saya mengangkatnya, sekali lagi tidak terdengar suara. Ada rasa dongkol, siapa yang menelpon tengah malam begini dan tidak bersuara.
Sekali lagi, HPku berdering. Kali ini dari tanteku. Saya pun mengangkatnya. Rupanya yang menelponku tadi adalah uni menggunakan nomor tante Uli yang satunya.
“Tidur mo ko?” saya mendengar suara yang diiringi isakan
“Belum pi”
“Sabar ko nah nak” suara diseberang makin bergetar
“Kenapa tante?”
“Kasi enak dulu perasaanmu”
“Kenapa tante?” suaraku makin meninggi
“Barusan ada yang telpon, kecelakaan Ettamu, meninggal di rumah sakit. Uni pergi mi rumah sakit. Tapi tidak ada pi yang berani kasi tau ibumu. Kau mo kasi tau ki.” Badanku bergetar hebat mendengar penjelasan itu, jantungku berdebar kencang, seakan tidak percaya. Tanpa saya sadari, air mata telah mengalir di pipiku. Apa yang terjadi pada Ettaku? “Kasi enak perasaanmu dulu baru berangkat ko kesini” pesan akhir tante uli di ujung telpon.
Malam itu juga, kami segera berangkat dari rumah kami di toddopuli menuju jalan singa. Hatiku tak karuan, air mata tak pernah berhenti mengalir, beribu tanda tanya hadir di kepalaku, jarak toddopuli-singa terasa sangat jauh. Pesan Tante Uli untuk menenangkan perasaanku sebelum berangkat, tidak ku indahkan. Siapa yang tidak sedih dan terpukul saat mengetahui orang tua yang sangat disayanginya meninggal?
Setiba di jl. Singa, beberapa orang langsung memelukku. Tangisku makin pecah. Ku lepas pelukan itu satu-satu, yang ada dalam ingatanku saat ini hanya ibu. Saya berlari ke kamarnya yang terletak paling belakang dari rumah ini dan ku dapati beliau telah menangis penuh kesedihan. Airmataku makin mengalir deras, tubuhku yang masih bergetar memeluk tubuh ibu yang tidak kalah bergetarnya. Saya mencoba menahan teriakan yang telah sampe di ujung leherku agar tidak membuat ibu makin terpukul. Namun dada yang makin sesak yang kurasakan. Apalagi mendengar cerita ibu bagaimana Etta meminta izin untuk keluar beberapa jam lalu. Etta masih sempat mencium kening ibu dengan mesra sebelum keluar, kenang ibu. Air mata makin menggaris pipiku. Belum cukup 40 hari nenek meninggalkan kami, dan Etta pun menyusul. Dan keduanya adalah orang yang sangat saya sayangi.
Rupanya Etta bukan meninggal karena kecelakaan motor. Antara pukul 7-8 Etta meminta izin pada ibu, katanya beliau ingin pergi bersama temannya melihat salah satu teman yang sedang dirawat di rumah sakit. Saat itu hujan sangat deras tapi Etta tetap berangkat menggunakan motor. Kami sudah mendapatkan konfirmasi dari teman yang Etta sebutkan, dan sang teman mengaku tidak mengadakan janji pada Etta. Sekitar pukul setengah 11 seseorang menelpon ke rumah, dia mengabarkan menemukan Etta dalam keadaan tidak sadarkan diri sendirian di suatu ruangan dan langsung membawanya ke rumah sakit. Dari pihak rumah sakit mengatakan, Etta telah tidak bernyawa saat di bawa ke unit gawat darurat.
Saat mayat Etta tiba di rumah, dadaku makin sesak melihatnya yang tertidur dengan sangat tenang. Badannya sangat dingin dan telah membiru. Menurut dokter kalau bukan jantung, beliau diracuni. Tetapi setahuku Etta tak pernah menderita penyakit jantung. Betulkah ada yang berbuat jahat pada Etta? Kalau pun benar ada yang berbuat jahat, apa modus mereka? Untuk apa Etta berada di tempat itu? Mengapa gigi palsunya tak ada dan ditemukan di tempat kejadian? Ah… terlalu banyak tanda tanya yang mengiringi kepergiaannya. Saya terlahir menjadi orang yang penuh rasa penasaran dan selalu berusaha menjawab rasa penasaran itu. Tapi untuk rasa penasaran kali ini, saya tidak sanggup mengungkapkannya.
Etta adalah sosok sederhana yang selalu mencoba berbuat terbaik untuk keluarganya. Bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan kami, meski tidak semuanya dapat beliau penuhi. Saya masih ingat bagaimana beliau selalu mencoba menahan untuk tidak marah pada anak-anaknya. Tak pernah satu kalipun beliau berbuat kasar pada kami. Beliau yang selalu mengapresiasi apapun kreativitas yang saya buat. Saya masih ingat beliau meneteskan air mata saat mengetahui saya menerbitkan sebuah buku. Saya masih ingat bagaimana beliau meneteskan air mata saat saya membacakan sebuah puisi di hari wisudaku. Saya masih ingat saat beliau mencium keningku penuh haru di malam mappaciku. Saya masih ingat raut bahagia yang beliau pancarkan di hari pernikahanku. Terlalu banyak kenangan indah bersamanya. Saya sangat bangga pada Etta, seperti dia yang selalu mengaku bangga mempunyai anak seperti diriku.
“Saya ingin kasi naik hajiki dari hasil usahaku” pesanku beberapa waktu lalu saat menjadi juara wirausaha muda mandiri tingkat wilayah dan beliau tersenyum bahagia. Namun beliau telah pergi lebih dulu sebelum saya meluluskan impian itu. Di hari idul adha kali ini, terasa sangat sepi tanpanya. Saya selalu ingat besarnya keinginan beliau untuk segera naik haji.
Tidur tenang disana Etta. Di depan komputer ini saya tak mampu menahan air mataku mengalir saat mengingat kembali tentangmu, saat menulis kisahmu. Saya sangat merindukanmu, merindukan senyummu yang bersahaja, merindukan kasih sayangmu yang luar biasa. Apapun yang terjadi di detik-detik Tuhan mencabut nyawamu, bagiku, engkau tetap Etta terbaik di dunia ini.
Saya menyayangimu Etta (sebuah kalimat yang tak sempat terucapkan di hadapanmu hingga engkau pergi)
innalillahi wa inna ilaihi rojiuun, teriring doa buat Ettata’ k, semoga beliau mendapat tempat yang jauh lebih baik di sisiNya..amin
Saya tidak akan pernah menyangka, Ayah saya, lelaki terbugar dan terkuat yang pernah saya tahu walaupun usianya sudah 58, ternyata tetap saja memiliki titik lemah. Seminggu terbaring di rumah sakit, dalam keadaan tidak berdaya. Sangat tidak cocok dengan image papa. Tapi apa mau dikata, semua kehendak Allah, ya mudah saja. Dan sekarang setelah keluar dari rumah sakit, beliau tidak tampak sama sekali habis sakit. Kalo masih bisa koprol ya koprol deh. Saya bingung. Tapi itu juga bukti bahwa yaa semudah itu bagi Allah membolak balik keadaan.
Innalillahi wainna ilaihi rojiun… Moga etta diterima disisi allah SWT… Sosokx bgai saladin…makasih allah SWT engkau tlah mempertemukan aku dgn etta yg berjiwa mirip dgn panglima perang nabi muhammad SAW..walau cuma sesaat… Amin..