Kemarin… semenjak di kampus, tangan saya terasa gatal untuk segera mengetik sesuatu, hanya saja ada beberapa hal yang mesti saya kerjakan dan baru tiba di rumah malam hari. Sayang, setiba di rumah, saya jadi bingung harus memulai darimana tulisan ini. Tadi… beberapa pertanyaan di kepalaku akhirnya terjawab dan semakin memantapkanku untuk segera menuliskan catatan ini.
Tahun lalu, saya menuliskan sesuatu tentang Jurusan tempatku berkuliah di blog ini, judulnya Jadi Arsitek Demi Uang? Tulisan ini pun menjadi catatan penutup di buku “Makassar dari Jendela Pete-pete”. Rupanya, tulisan ini, cukup populer. Beberapa kali, catatan ini muncul kembali di blog statku, yang menunjukkan bahwa ada yang baru saja membukanya. Bahkan untuk keyword arsitektur unhas di google, catatan ini tampil di halaman pertama.
Catatan itu berkembang begitu saja, dari hasil perenungan tanpa intervensi dari siapapun. Tulisan itu murni saya tulis sendiri dan hasil pemikiran sendiri, berkembang dari kegelisahan yang memang saya alami di jurusan ini, ketika itu. Yah… ketika itu, “budaya tentengan” memang terasa sangat kental.
Tetapi kemarin, tiba-tiba seorang dosen bertanya pendapat kami tentang “budaya” tersebut. Mempertanyakan apakah hal itu memang wajib? Dan kami sepakat mengatakan tidak. Katanya lagi, baru-baru ini ada tulisan yang beredar di internet menyinggung mengenai hal ini, dimana tulisan itu di tulis oleh salah satu diantara kami. Pernyataan ini membuat saya dan teman-teman lain menjadi kaget. Siapa? Pertanyaan itu bersamaan muncul di kepala kami. Namun sang dosen enggan menyebut nama.
Hmmm… Tulisan dan internet, tentu dua kata ini akan menempatkan saya pada tersangka utama. Dan tadi…, saya mendapatkan kejelasan bahwa tulisan yang dimaksud memang adalah tulisan saya, catatan yang ditulis oleh seorang Winarni.
Saya pun mengingat tulisan di atas, namun itu bukanlah tulisan baru, melainkan tulisan tahun lalu. Namun… kini??? Kondisinya telah berubah, tidak ada lagi budaya tentengan di jurusan ini. Bahkan tentengan itu kini berstatus “haram”. Hal ini tentu menjadi perubahan yang positif dan menjadi kabar baik bagi kami, mahasiswa yang tidak memiliki uang lebih untuk itu.
Budaya tentengan… bercerita tentang ini mengingatkan saya pada motivasi awal saya hendak menerbitkan buku. Pada awalnya, buku ini memang saya niatkan menjadi isi “tentenganku” nanti. Mencoba menawarkan budaya yang lebih intelek dengan mengganti makanan menjadi sebuah buku. Selain itu ingin merubah paradigma bahwa suatu yang “mewah” bukan berarti barang mahal dan mentereng serta menggantungkan kepercayaan diri pada sebuah “tentengan” hanya membuat kita tidak memikirkan kualitas dari Tugas Akhir itu sendiri..
Lalu untuk apa saya menuliskan ini? Sebagai bentuk konfirmasi? Mungkin. Sebagai ungkapan kesenangan? Bisa juga. Kalau kemarin saya menuliskan kegelisahan, mengapa saya tak menuliskan kalau ada kabar baik? Jelasnya, sekarang saya bangga dengan perubahan sistem di Jurusan Arsitektur, sebuah perubahan yang lebih baik dan semoga semuanya bisa menjadi lebih baik lagi dan lebih profesional.
Salut. Ada tulisannya yg bisa menciptakan sebuah perubahan yg besar, dan tentunya sangat positif dan sangat berarti. mantap, mantap.
hmm…dari dulu memang keknya Arsi yg selalu paling heboh acara yudisiumnya. *pake penari kalo nda salah* tapi kalo skarang sudah tidak lagi, baguslah….
waa… kalo di elektro bemana yak? Masih ada nda ya? Sepertinya patut dicontoh ini
hmmm…jadi damaimi antara jurusan ma mahasiswa Arsi ini???sa dengar sempat ada perang dingin…
Waa, pengennya di Elektro juga begitu, meringankan beban kami yang cuma mahasiswa pas-pasan…
Tapi keknya masih deh…ujian meja itu jadi ajang pesta poranya jurusan, orang jurusan kenyang, ortu kita mengkeret memikirkan dari mana lagi cari uang buat uang wisuda dsb buat anaknya….Hufff….
::numpangcurhat::
kunjungan pertama nih,,,lain kali mampir lagi….
nice post,,,,