Uang adalah dewa, bahkan uang adalah Tuhan, begitulah kata orang. Hingga hari ini, tidak ada dapat menggantikan posisi uang sebagai alat tukar yang sangat fleksibel. Oleh karenanya, orang rela berdesak-desakan untuk mendapatkan uang 30ribu rupiah walaupun malaikat pencabut nyawa menjemput, seperti yang terjadi Pasuruan.
Inilah realita saat ini, uang dianggap mampu membeli segalanya, uang mampu menukar segalanya. Padahal benda tersebut tidak selamanya mampu menciptakan kenikmatan, kepuasan, pengalaman bahkan kebahagian. Hal-hal tersebut terlalu mahal untuk di hargai dengan lembaran-lembaran uang. Membicarakan tentang benda yang satu ini, diskusi memang akan bias ke sana kemari. Oleh karenanya saya mengerucutkan tulisan ini untuk membahas kaitan antara uang dan apresiasi.
Robert T Kiyosak dalam bukunya mengungkapkan” Bukan kita bekerja untuk uang tapi uanglah yang bekerja untuk kita.”
Tadi, di kantor, lagi-lagi saya speechless ketika diperhadapkan pada pertanyaan mengenai salary. Saya tak tahu harus menjawab apa, sungguh saya tak memiliki standar untuk itu. I have product, if you like it, give me your appreciation. Kurang lebih prinsip saya seperti itu. Dan sebuah apresiasi tidak selamanya dinilai dengan uang.
Suatu pekerjaan bagi saya bukanlah suatu keharusan tetapi keinginan. Saya mengerjakan sesuatu dengan tujuan akhir kepuasaan bagi saya pribadi, kalau saya tidak menikmatinya, mengapa saya mesti mengerjakannya. Intinya, saya tidak menyukai membicarakan uang sebelum pekerjaan saya selesai. Karena uang dapat membuat pekerjaan menjadi disorientasi.
Tak dapat dipungkiri, uang seakan-akan menjadi satu-satunya bentuk apresiasi terhadap sebuah karya. Seorang pelukis di hargai dengan membeli karyanya dengan nominal yang cukup tinggi. Gambar denah rumah seorang arsitek di hargai dengan persenan dari seluruh pengeluaran untuk pembangunan rumah tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, gajinya pun semakin tinggi. Dan sebagainya.
Lalu kalau bukan dengan uang, dengan apa sebuah karya di apresiasi? Sebenarnya bukan itu inti pertanyaannya. Hal yang perlu dipertanyakan adalah: apakah seseorang mengerjakan karya demi uang? Jika ya, lalu untuk apa uang dari hasil yang tidak di nikmati? Untuk apa uang sedangkan kita tertekan? Untuk apa dollar padahal hati mengelak?
Melalui tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa saya tidak suka ditodong dengan pertanyaan mengenai nominal salary. Ini adalah pekerjaan pertama saya di dunia kerja yang sebenarnya, lihatlah dulu hasilnya, kalau suka ya Alhamdulilah kalau tidak, beritahu saya kekurangannya dimana.
Kalau ada istilah yang mengatakan bahwa ketika tangan kanan memberi tangan kiri tak perlu tahu. Maka saya juga membuat istilah, jika tangan kiri mendapatkan uang, tangan kanan tidak usah tau.
ya. memang sulit menghindari diri dari uang. Pada pekerjaan yang sangat saya nikmati pun ketika pada akhirnya apa yang saya dapat tidak sebanding, akhirnya malah bikin kesel dan todak fokus. padahal benar juga jika tangan kiri mendapatkan uang, tangan kanan tidak usah tau. Hmmm the power of money…
apakah seseorang mengerjakan karya demi uang?
Uang itu penting, kita kerja karena uang. Namun ada kalanya tidak semua bisa dibeli dengan uang.
Hingga hari ini, tidak ada dapat menggantikan posisi uang sebagai alat tukar yang sangat fleksibel.