“Sudah baca koran hari ini?” Tanya Etta sepulangnya dari kantor.
Seketika aku berbalik ke arah sumber suara, setelah yakin Etta sedang berbicara padaku, aku pun menjawab, “Berita apa?”
“Ada lagi orang meninggal di Gunung Bawakaraeng.”
“Oh…” jawabku seadanya. “Dari kemarin ji ku dengar beritanya, kalau ada yang sakit di pos 8.” Dengan pandangan masih tertuju ke monitor komputer.
“Tau darimana?”
“Dari informanku di Lembanna.”
Berita meninggalnya Adiatma Achmad di posko 8 Gunung Bawakaraeng membuat orang-orang kembali geger. Adi, seorang mahasiswa Teknik Sipil, Universitas Muslim Indonesia angkatan 2006 meninggal dalam perjalanannya, Lintas Gunung Lompobattang – Bawakaraeng. Cuaca yang tidak bersahabat membuat Adi dan 4 rekannya harus menyerah dengan kekuatan alam. Di posko 8 Gunung Bawakaraeng, Adi pun meninggal dan 4 lainnya kritis.
Nasib naas yang menimpa anggota Mapala itu, makin meyakinkan argumen-argumen orang di rumah untuk kontra dengan aktivitas yang ku lakukan beberapa tahun terakhir ini.
“Kau mau nasibmu berakhir seperti itu?” Tanya mereka.
“Kalau memang ajalku meninggal di atas gunung, mau di apa. Kalau ajalku meninggal di tabrak, mau bagaimana? Kalau ajalku di tikam orang, terus kenapa?”
Jawabku, lalu segera berlalu dari mereka yang tidak pernah mengerti dengan aktivitasku ini.
Setiap orang bisa meninggal kapan saja dan dimana saja. Jadi bukan alasan yang tepat untuk menjadikan kematian di atas gunung agar melarang kami kembali bersua dengan alam….
Pingback: (Lagi) Bawakaraeng Makan Korban
jadi ingat vertical limit..
antara menyalurkan hasrat dan mengantarkan nyawa
Sangat menggugah hati.