Ini adalah sebuah kisah kesepian seorang ibu. Ketenangan rumahnya yang senyap, adalah sebuah lagu yang tak pernah dinyanyikan.
Di sela suara langkah dan tawa anak yang pergi sekolah dan pamit suami yang hendak berangkat kerja. Si Ibu adalah penyair yang merenungkan keheningannya dalam sepi yang dalam. Bait syair menggema liar tapi hanya di kepalanya. Tak ada yang mendengar. Tak ada yang peduli.
Ketika teman-temannya, yang dulunya menjadi pelipur lara, telah berlalu seperti bintang-bintang pagi yang memudar ditelan matahari yang terbit. Mereka pergi ke dunia masing-masing. Membawa cerita dan tawa mereka yang penuh warna bersama lingkaran yang lebih kecil. Meski ini adalah pilihan si Ibu, namun tak terbantahkan, dalam kesepiannya yang mendalam ia merasa terlupakan.
Ia lalu mencoba berjelajah dalam dunia maya. Mencari harapan untuk mengisi kekosongannya. Sayangnya, semesta dunia maya pun tak lagi menerimanya. Ia terjebak dalam kesenyapannya. Diantara ribuan keterkaitan disana, tak lagi ada yang peduli. Setiap apa yang disampaikan, tak ada yang lagi tertarik. Dalam setiap kehadirannya, ia merasa terabaikan.
Lalu ia berusaha bekerja, mengisi kekosongan dalam dirinya. Tetapi ia bekerja sendiri. Tanpa tim, tanpa support system. Setiap kepenatan ia olah sendiri tanpa ada yang mampu diajaknya berdiskusi. Kepalanya penuh namun pikirannya kosong. Ingin rasanya ia berhenti dan tak melakukan apa-apa. Tapi keributan dalam keheningan justru membuatnya lebih uring-uringan.
Anaknya yang terus bertumbuh. Kini, telah memiliki banyak dunia baru. Dunia yang lebih menyenangkan bersama teman sebaya. Ibu yang menemaninya sejak lahir tak lagi betul-betul dibutuhkan.
Dan suami yang dulu berjanji akan selalu ada, hanyalah bayangan yang perlahan menghilang. Dia masih ada disana, tetapi pikirannya terjebak dalam hiruk pikuk pekerjaan yang tak pernah berakhir. Bagi suami, sang istri hanyalah persinggahan sementara disaat prioritas pekerjaan memiliki jeda.
Di mata dunia, keluarga itu lengkap. Tetapi dalam hati ibu, dia terdiam dalam lara kehampaan. Kesepiannya membawanya merenung bahwa kehidupan yang fana ini telah membuatnya merasa terasingkan. Padahal sesungguhnya yang ia butuhkan hanya merasa dibutuhkan dan didengarkan. Ia ada tapi tiada.