Ketika warisan pesan bijak jauh lebih berharga…
Liburan kali ini, serbuan film Indonesia cukup banyak dan semuanya punya rating yang cukup bagus. Dari awal kami memang sudah meniatkan menonton salah satunya, pengennya sih semua tapi bugdetnya sudah terpotong saat mudik dan liburan kemarin. Dan pilihan kami jatuh pada film “Sabtu Bersama Bapak”, film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama.
Sinopsis
Film ini berkisah tentang Gunawan, seorang Bapak yang divonis hanya memiliki satu tahun lagi untuk hidup. Namun ia tidak ingin kematian memisahkannya dengan istri dan anak-anaknya. Dengan membuat banyak rekaman pesan dalam bentuk video, ia menyampaikan pesan bijak untuk anak-anaknya yang akan ditonton bersama setiap hari sabtu.
Kedua anaknya tumbuh dewasa dengan prestasi yang gemilang. Satya seorang enginer, bekerja di luar negeri dan menikahi Risa. Mereka tinggal di Paris dan memiliki 2 anak laki-laki. Risa ingin bekerja namun Satya memintanya untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Hingga akhirnya kedua anaknya hilang ketika Risa pergi bekerja dan menitipkan kedua anaknya pada koleganya. Kejadian itu membuat mereka bertengkar hebat dan Risa memutuskan pergi dari rumah.
Cakra mempunyai karir cemerlang sebagai bankir namun payah dalam hal percintaan. Sepatu yang ia lihat di mushalla menjadi pembuka jalan kisah cintanya. Sayangnya gayung tak bersambut, hal itu membuat stafnya turun tangan membantunya namun tetap belum berhasil.
Bagaimana kisah Satya dan Risa selanjutnya? Dan bagaimana Cakra menemukan cinta sejatinya? Silahkan ditonton sendiri. Pastinya, film yang disutradarai oleh Monty Tiwa ini sangat recomended untuk jadi tontonan keluarga. Menurut saya, dia berhasil mengulang kesuksesannya membuat film drama setelah TestPack yang menurut saya juga menarik.
Review
Alur Cerita
Film ini setidaknya punya 3 alur cerita yang disatukan. Tentang kisah keluarga Satya dan Risa, tentang perburuan cinta Cakra, dan kisah Ibu Itje yang berusaha tegar membesarkan anak hingga sendiri melawan kanker karena tidak ingin merepotkan anak-anaknya. Setiap kisah punya porsi masing-masing dan sangat berimbang. Perpindahan dari satu alur ke alur lainnya pun sangat halus, mungkin karena masing-masing punya latar tempat dan suasana yang berbeda. Titik klimaks setiap cerita berada diwaktu berbeda sehingga emosi penonton dipermainkan dengan sangat dinamis.
Casting
Saya kagum pada pemilihan pemain dalam film ini. Setiap pemeran bermain sangat apik dalam mengimplementasikan karakter kuat seperti pada buku dengan judul yang sama. Sebagai aktris yang telah lama terjun dibidang senin peran, Ira Wibowo sangat natural memerankan sosok seorang ibu, perempuan tangguh dan istri idaman. Begitupun Abimana Aryasatya terlihat sangat apik memerankan sosok Bapak Gunawan. Tatapannya, raut wajahnya serta nada bicaranya akan membuat siapapun yang nonton teringat akan sosok seorang bapak yang sangat bijak dan panutan anak-anaknya.
Garis muka yang tegas, tatapan mata yang tajam disertai akting yang pas membuat Arifin Putra yang memerankan tokoh Satya terlihat sebagai pria perfeksionis. Tokoh Satya diimbangi oleh Acha Septiasa yang memerankan sosok Risa yang sangat lembut, seorang ibu yang selalu berusaha maksimal untuk suami dan anak-anaknya. Jujur dulu saya tidak terlalu menyukai akting Acha, tetapi beberapa film terakhirnya ia berperan semakin natural dan mengagumkan. Termasuk di film ini. Dia memang ahli di film drama.
Deva Mahendra tak ingin kalah beradu akting dengan seniornya. Meski terbilang baru di dunia perfilman, Deva Mahendra yang terkenal lewat komedi situasi, Tetangga Masa Gitu ini, pantas diperhitungkan. Menurut saya, ia cukup berhasil memerankan sosok Cakra yang selalu salah tingkah. Dia berperan sebagaimana layaknya orang yang sedang kasmaran.
Hanya 2 anak dari Satya dan Risa yang menurut saya kurang pas dan cenderung mengganggu film secara keseluruhan. Aktingnya sangat datar dan wajah mereka tidak pas menjadi anak pasangan Satya dan Risa.
Akting yang bagus didukung oleh skenario yang baik. Saya suka kata-kata di film ini, sangat wajar dan tidak terlalu mengawan-awan. Adhitya Mulya mentransfer kata-kata di novelnya dengan sangat pas kedalam frame sinema. Banyak kata-kata yang quoteable untuk bahan status di media sosial. Satya lebih kepada mengingat kata-kata Bapaknya dengan kemunculan Bapaknya sedangkan Cakra lebih banyak mengucapkan petuah Bapaknya yang ia ingat.
Penata Suara
Penata suaranya juga perlu diapresiasi, membuat film ini semakin hidup karena indera pendengaran ikut dimanjakan. Hanya saja di adegan Ibu Itje yang dioperasi, backsoundnya terdengar sangat horor. Mungkin karena alur kisah Ibu Itje cenderung datar diawalnya sehingga pada titik tersebut sengaja dikuatkan unsur backsoundnya agar emosi penonton lebih masuk kedalam kondisi Ibu Itje saat itu.
Tata Rias
Masih berbicara tentang Ibu Itje, saya juga salut kepada tim tata rias yang membuat perubahan wajah Ira Wibowo dari waktu ke waktu. Mulai ketika ia masih muda hingga wajah terlihat pucat, keriput dan flek dimana-mana.
Properti film juga penting untuk menguatkan film. Karena cerita di film ini banyak kisah mereka yang sedang menonton video bapaknya, saya fokus melihat televisi yang mereka gunakan. Dan terlihat televisi mereka berubah seiring waktu. Awalnya menggunakan televisi jadul dan diakhir cerita televisi mereka berubah menjadi telivisi flat layar lebar.
Overall, sekali lagi tidak salah jika sebagian besar pengguna sosmed memilih menonton film ini dibanding film Indonesia yang tayang bersamaan saat ini. Film ini layak dinonton bagi orang tua yang ingin mewariskan hal baik untuk anaknya, bagi pasangan suami istri yang ingin meningkatkan romantisme dalam rumah tangganya, bagi jomblo yang ingin mendapatkan pasangan dan bagi perempuan single parents agar makin kuat membesarkan anaknya.
so in love sm review ta kak, keren banget..
Saya juga tempo hari memutuskan menonton film ini dan sukses bikin saya nangis2 d awal, tertawa2 d pertengahan trus mengharu biru di akhir…
kerennn…
Apakah film ini sebagus sprti yg d review ny?
apakah film ni sebagus review ny y?