Bola mentari dengan biasannya yang menguning hadir di ufuk timur dengan kemilau asa yang memelukku erat. Tidak seperti biasa, disaat jam masih menunjukkan pukul 06.30, saya sudah rapi dan siap bergegas pergi. Sebagai seorang pengusaha, saya memang tidak memiliki jam kerja yang pasti. Bebas mengaturnya sesuka hati. Tapi tidak untuk hari ini. Anak-anak di SD Panaikang menanti sebuah inspirasi.
Dengan belasan dos berisi cup cake dan sebuah karton bergambar berbagai profesi, saya berangkat dari rumah. Meski semalam tidur agak larut untuk menyiapkan cup cake dan karton persentase, semangatku tetap berkobar. Saya yakin, sangat yakin, hari ini akan menjadi salah satu hari terindah dalam hidupku.
Saya pun tiba di sekolah yang beralamat di jalan racing centre itu. Ratusan anak berseragam putih merah tampak begitu sumringah. Saya melangkah masuk, dengan senyum yang tidak kalah sumringah. Saya pun bertemu dengan mereka, para pengajar yang siap memberikan inspirasinya hari ini. Terus terang, ada rasa minder yang menggelayuti hatiku saat bersama mereka. Bagiku, mereka adalah orang-orang yang hebat dengan profesi-profesi yang membuat kagum. Sedangkan saya hanyalah seorang “Penjual Kue”.
Memoriku melayang, terbang ke suatu waktu yang saya sendiri telah lupa, kapan. Kala itu malam sudah terlalu larut, namun layar laptop masih bersemangat dihadapku. Sebuah link yang dibagikan seorang teman di sebuah halaman sosial media pun menggugahku, seakan meraih jemariku untuk membukanya. Membaca dan memahami. Tanpa pikir panjang saya pun mendaftar. Alasan saya sederhana, saya ingin anak-anak sejak kecil memimpikan cita-cita yang menjadi minat dan bakatnya, bukan hanya karena populernya pekerjaan itu tapi karena mereka memang menyukainya. Sejak kecil saya ingin mereka paham siapa dan bagaimana seharusnya jika kelak mereka dewasa. Yah sesederhana itu. Saya pun menekan tombol submit tanpa berharap banyak akan menjadi salah satu orang yang terpilih.
Hingga, minggu lalu, sebuah email masuk di layar hp ku. Saya membacanya dengan seksama dan menemukan kata “terpilih” dengan huruf kapital dan ditebalkan. Tak pernah terduga. Dan pagi ini, saya pun berada di sekolah ini.
Saya bergabung di Tim 15, tim yang solid dan menyenangkan. Ada 8 pengajar, termasuk saya, yang siap berbagi Inspirasi. Mereka adalah Pak Irwan (Planner), Ibu Ochy (Manager HRD Bosowa), Pak Dodo (Pensiunan PLN/Guide), Andi (Ast.Manajer Mandiri), Inna (Dosen), Akbar (Public Relation) dan yang jauh-jauh dari Jakarta Nadria (Konsultan).
Pagi ini saya mendapatkan giliran mengajar jam pertama di kelas 3 dan jam ketiga dikelas 2. Karena kelas yang terbatas dan jumlah tim 8 orang, jadi setiap orang hanya mendapatkan kesempatan mengajar 2 kelas.
Saya masuk ke kelas tiga, menularkan senyum yang saya buat selebar mungkin. Awalnya mereka sedikit heran namun ketegangan perlahan mencair saat saya membuka dengan salam, memperkenalkan diri dan mengajak anak-anak bertepuk tangan mengikuti tinggi rendahnya posisi tangan saya. Anak-anak kelas ini sangat antusias. Apapun yang saya tanyakan, semua mengangkat tangan dengan penuh semangat.
“Siapa yang suka pelajaran matematika?” semua mengangkat tangan. “Siapa yang suka pelajaran bahasa Indonesia?” kembali semuanya mengangkat tangan. Hingga saya menyebutkan semua mata pelajaran, semua ikut mengangkat tangan. Entah karena mereka memang suka atau ikut dengan teman-temannya. Paling tidak saya tau, saya sudah mampu mengambil perhatian mereka.
Saya pun melanjutkan materi sesuai lesson plan yang saya buat. Memaparkan berbagai jenis profesi berdasarkan mata pelajaran yang disukai. Memaparkan lebih detail profesi saya dan pelajaran apa saja yang harus disukai jika ingin menjadi saya. Selanjutnya saya mengajak dua orang berlomba menghias cup cake lalu belajar untuk menjualnya, memberi harga dan melakukan penawaran. Kemudian ditutup dengan menanamkan nilai kerja keras, kejujuran, kemandirian. Hingga kelas usai, mereka tetap antusias.
Mengajar pertama di kelas 3 membuatku percaya diri untuk melanjutkan mengajar di kelas berikutnya.
Dengan penuh hati-hati saya mencoba membelah riuh rendah anak kelas dua dengan menyampaikan salam. Mereka menjawab. Namun selanjutnya mereka kembali menunjukkan “keaktifannya”.
Rupanya mengajar di kelas 2 tak semudah yang saya pikir. Melaksanakan lesson plan seperti yang saya lakukan di kelas tiga tadi sepertinya sulit, saya mengubah strategi secepatnya. Saya mencoba masuk ke dalam dunia mereka dengan mengajak mereka bernyanyi. Mereka sangat gembira, begitu antusias. Lima lagu anak-anak dinyanyikan penuh semangat. Selanjutnya saya menantang mereka untuk bernyanyi di depan kelas, 4 orang yang berani yang akhirnya saya ajak menghias cup cake.
Empat orang yang menghias cup cake dikerubuti teman-temannya. Awalnya semua terkendali, namun makin lama makin ricuh. Bahan kue yang saya bawa dipegang-pegang sesuka hati. Bahkan ada yang sampai berkelahi karena berebut icing sugar itu. Dengan tenang saya melerai. Semua terkendali. Saya ajak anak-anak yang berdiri untuk duduk. Mereka duduk. Tak berapa lama mereka berdiri kembali.
Ketika saya mengajak 4 orang untuk bermain “jual-jualan”. Kembali suasananya ricuh. Ada lagi yang berkelahi. Kembali saya harus melerai. Miris juga, melihat cara mereka menyelesaikan masalah dengan saling pukul.
Hingga jam usai saya hanya bertanya dan memberi hadiah bagi yang dapat menjawab. Mereka luar biasa aktif. Seusai mengajar di kelas dua, jilbabku sudah tak beraturan, rambut sudah mengintip kiri kanan, wajah sangat mengilat, baju sedikit basah karena keringat. Luar biasa.
Kelas Inspirasi di kompleks sekolah yang saya datangi ditutup dengan mengajak anak memasukkan kertas yang berisi nama dan cita-citanya di sebuah kotak, yang kami sebut “kotak impian”. Kotak itu ditutup dan disimpan oleh pihak sekolah. Suatu hari kelak, mungkin 20 atau 30 tahun yang akan datang, mereka reuni di sekolah itu dan melihat apakah cita-cita yang mereka tuliskan di kertas itu tercapai.
Seperti prediksiku, hari ini menjadi salah satu hari terindah dalam hidupku. Bukan saya yang mengajar tetapi sepertinya saya yang diajar sekaligus dihajar oleh pengalaman hari ini. Pengalaman adalah guru terbaik bagi yang ingin belajar kepadanya, dan hari ini saya belajar.
Hari telah beranjak siang, matahari begitu garang. Namun hatiku begitu ceria, seperti cerianya balon gas yang diterbangkan di udara pada akhir acara.