Beberapa masyarakat yang tidak menyetujui revitalisasi karebosi turun ke jalan ketika proyek revitalisasi itu telah di laksanakan. Meski sosialisasi mengenai revitalisasi terus digemakan di beberapa koran lokal jauh sebelum alun-alun kota Makassar itu dipagari, tetapi masyarakat baru bangun dari tidurnya setelah proyek itu mulai dilaksanakan. Lucunya, mahasiswa dan civitas akademika, seluruh perguruan tinggi di Makassar juga baru �tergelitik� mendiskusikan tentang proyek milyaran rupiah ini setelah aksi turun ke jalan tersebut. Elemen-elemen mahasiswa baru turun gunung menyampaikan aspirasinya. Mailing list yang didominasi dosen-dosen baru ribut-ribut bertanya-tanya dengan design yang akan dilaksanakan. Info yang beredar simpang siur karena dari mulut ke mulut. Bahkan tak sedikit kalangan akademisi ini bertanya kepada sang perencana dengan kata awal �katanya�.
Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan baru saja digelar, dimana pesta tersebut dimenangkan oleh salah satu kandidat dengan perolehan tipis dari kandidat lainnya. Hal ini membuat pendukung kandidat yang kalah turun ke jalan, bahkan sejumlah massa memecahkan kaca jendela kantor panwaslu. Salah seorang yang diamankan polisi dalam insiden pengrusakan tersebut mengaku sebagai mahasiswa perguruan tinggi swasta di kota ini. Berita dari mulut ke mulut bahwa sang pemenang melakukan kecurangan membuat mereka �panas�. Tak ada yang menyadari ataukah pura-pura tak peduli kalau mereka pernah berkomitmen untuk siap menang, siap kalah dan siap damai.
Peristiwa di atas adalah dua peristiwa diantara peristiwa lain yang menunjukkan bahwa masyarakat di kota ini masih di dominasi dengan budaya lisan. Mereka mengandalkan kesadarannya diisi radio, televisi, mengobrol, gosip, sms dan gurauan-gurauan. Ruang cakrawala mereka terbatas, hanya mengenal dimensi ruang dan waktu sesaat. Perspektif pandangan yang pendek tersebut membuat emosi mendominasi pikiran rasionalnya hingga akhirnya perbuatan anarkis pun terjadi. Ironisnya, perguruan tinggi yang konon merupakan agen perubahan dan agen kontrol sosial pun mengantungkan diri pada kesadaran kolekif, bukan solidaritas umum yang universal.
Perguruan tinggi memperoleh kehormatan dan kepercayaan berupa hak istimewa memberi gelar sarjana, megister, dan doktor. Implikasinya, perguruan tinggi harus mampu mempertahankan posisinya yang bebas, objektif dan kritis. Namun kenyataannya, sebuah perguruan tinggi malah terasing dengan dunia sekitarnya, kehilangan relevansi, kepekaan serta daya kritis sebagai agen perubahan dan agen kontrol sosial. Kampus-kampus semakin kurang gizi hingga berpikir pragmatis dan jangka pendek.
Dosen-dosen hanya mengandalkan diktat yang tak pernah berubah sejak zaman beheula. Materi yang di ajarkan berkutat pada itu-itu saja. Materi pengajaran stagnan. Sang dosen kemudian membela diri, harapan mereka, sang mahasiswa yang sudah dewasa itu seharusnya mampu mencari nutrisi sendiri.
Lihatlah, sudah menjadi pemandangan yang umum, mahasiswa menyelipkan selembar buku catatan di saku belakang celananya. Seorang mahasiswa yang duduk tertunduk membaca sebuah buku atau seorang mahasiswa yang berdiri sambil membaca sebuah artikel-artikel di majalah dinding malah menjadi pemandangan yang sulit di dapatkan. Banyak komunitas mahasiswa yang duduk bersama bercerita, beradu mulut tetapi setelah itu tidak ada simpulan yang jelas. Hanya ada dalam ingatan mereka bahwa pernah terjadi diskusi di tempat ini.
Banyak diantara mahasiswa yang alergi terhadap buku tebal, bagaimana mau membacanya jika menyentuhnya saja sudah enggan. Hal ini semakin parah karena paradigma dosen yang selalu menganggap bahwa mereka telah dewasa tanpa mencoba menanamkan kesadaran untuk mereka.
Sarana dan prasarana untuk mendukung budaya literer di kampus sebenarnya sudah tersedia. Perpustakaan telah tersedia dengan berbagai judul di dalamnya tetapi mengapa tak banyak yang betah di sana? Mungkin suasana yang kurang nyaman ataukah judul-judul buku yang disediakan tidak lagi memenuhi minat mereka. Jangan heran kalau mereka lebih senang duduk bergosip atau bermain domino.
Sarana internet pun disediakan. Hampir di seluruh sudut kampus, siapa saja bisa mengakses internet. Sayang sarana dan prasarana ini hanya di manfaatkan untuk membuka friendster dan chatting belaka. Jarang yang membuka artikel-artikel yang bisa menambah pengetahuan.
Pengkaderan mahasiswa kini hanya menjadi sebuah kegiatan formalitas belaka. Kehilangan subtansi. Masih menggunakan konsep lama yang kerap tidak dipahami lagi oleh mereka yang melaksanakannya. Bahkan konsep-konsep itu terkesan di paksakan untuk jaman yang tidak mendukungnya lagi.
Dominasi budaya lisan daripada budaya literer di kampus membuat para penghuninya memiliki perspektif pendek. Manusia penghuni kampus itu kini bagaikan alien di tengah kota. Tak lagi peka, tak lagi kritis. Masih mengagungkan gagasan lama yang sudah basi, tidak lagi inovatif dan kreatif. Tak mampu berpikir abstrak, tak mampu melihat subtansi sebuah peristiwa. Tak lagi cakap melihat hubungan-hubungan peristiwa. Tak melihat berdasarkan akal budi tetapi hanya dengan indrawi semata.
Perguruan tinggi yang merupakan tempat para intelektual kota ini saja lebih didominasi oleh budaya lisan, maka jangan heran jika masyarakat secara umumpun demikian halnya. Dua peristiwa yang dipaparkan di awal tulisan ini tentu sudah bisa mendiskripsikan betapa malang kota ini yang perguruan tingginya mengabaikan budaya literer dalam kehidupannya. Lalu haruskah kita diam dan membiarkan ini terjadi begitu saja?
Salah satu upaya untuk mempertahankan posisi perguruan tinggi yang bebas, objektif dan kritis yaitu memperkuat kemampuan literer sebuah perguruan tinggi. Upaya ini bukan hanya tanggung jawab birokrasi kampus tetapi juga tanggung jawab dosen, mahasiswa dan seluruh kalangan civitas akademika.
Seharusnya civitas akademika mau menghabiskan waktunya untuk berpikir, menganalisa dan dalam hal tertentu menghasilkan solusi bahkan bukan hanya membaca atau sekedar menulis saja tetapi juga menyusun kekuatan dan strategi untuk mewujudkan sesuatu yang lebih objektif dan mendukung perubahan masyarakat yang lebih baik.
Membiasakan membuat notulensi saat diskusi adalah sebuah langkah kecil yang dapat ditempuh dalam membangun sebuah budaya literer. Jika sebuah budaya lisan masih mendominasi, maka marilah kita sama-sama mencoba menuangkan apa yang kita diskusikan dalam sebuah tulisan. Meski apa adanya tetapi memulai menuangkan sesuatu dari lisan menjadi tulisan mampu membuat kita mengembangkan pikiran.
Sudah saatnya perpustakaan di perguruan tinggi terus berbenah diri dengan menambah koleksi judul-judul baru. Suasananya pun selayaknya di ciptakan senyaman mungkin sehingga menambah gairah untuk membaca. Ada baiknya dinding tidak hanya dipenuhi pamflet-pamflet semata tetapi juga menyajikan tulisan-tulisan bermutu yang layak baca. Penampilan yang lebih menarik juga perlu untuk menarik para pembaca.
Bagaimanapun budaya literer seharusnya di mulai dari kesadaran personal untuk menciptakan sebuah perubahan bagi negeri ini. Mulailah mendisiplikan diri membaca koran setiap hari. Kini biarkan mereka tertunduk membuka halaman demi halaman buku di pangkuannya. Ikuti ia berdiri mengenyam bait demi bait artikel yang tertempel di dinding. Mulai dari sini, saat ini dan dari diri kita sendiri.
Pingback: Membangun Budaya Literer dengan Blog « ..:: More Than Just Experience ::..