Seorang Ibu untuk Anak di “Rumah Cokelat”

      5 Komentar pada Seorang Ibu untuk Anak di “Rumah Cokelat”

Rumah Cokleta, Sitta Karina

“Sekarang aku jadi paham, disebut fokus berkeluarga karena perhatian kita hanya tertuju pada satu hal penting, yaitu keluarga” (hal 221)

Judul : Rumah Cokelat
Penulis : Sitta Karina
Penerbit : Buah Hati
Cetakan Ketiga, Maret 2012
Tebal : 226 halaman

Buku ini bercerita tentang seorang ibu bernama Hannah, sosok perempuan modern yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional. Karena terlalu sibuk bekerja dengan kondisi Jakarta yang sangat macet, ia menyerahkan tanggung jawab mengasuh anak pada pengasuh dan ibunya. Hingga pada suatu hari, Ia mendengar anaknya mengigau bahwa Ia menyayangi Upik, pengasuhnya.

Tak ingin anaknya kelak lebih mencintai pengasuh daripada Ibunya, Hannah memutuskan untuk berhenti bekerja. Dalam pergulatan batin di masa transisi dari seorang wanita karir menjadi seorang ibu rumah tangga, Hannah mendapati banyak cobaan. Beruntung, ia memiliki suami yang bijak, dewasa dan selalu berpikiran positif. Perlahan Hannah mulai menerima dirinya sebagai ibu rumah tangga dan saat itu pula ia mendapatkan rejeki dan kesempatan untuk sepenuhnya menjadi pengasuh buat anaknya sendiri.

Dengan bahasa yang sangat ringan dan mudah dicerna, Sitta Karina berhasil membawa pembaca untuk larut dalam pergulatan batin Hannah. Pergulatan batin seorang ibu yang ingin menghasilkan uang untuk memberikan masa depan cerah bagi anaknya sekaligus ingin membesarkan anaknya sendiri. Juga pergulatan batin seorang ibu muda yang masih sering memikirkan me time di sela-sela mengurus keluarga. Tema yang diangkatnya pun sesuai dengan kondisi masa kini, dimana makin banyak wanita karir yang mengabaikan anaknya dan menitipkan sepenuhnya pada si nanny, hingga sang anakpun lebih merasa dekat dengan pengasuhnya daripada ibu yang melahirkannya. Tak sedikit yang menitipkan anaknya pada orang tuanya sehingga sang anak diasuh berdasarkan kasih sayang nenek yang membuat sang cucu manja, bukan berdasarkan pendidikan.

Sang penulis juga sangat mampu menghidupkan tokoh dalam tulisannya, dengan dialog yang digunakan, deskripsi raut muka, gestur tubuh hingga cara berpakaian membuat panca indra pembaca mampu melihat, mendengar dan merasakan sosok tersebut.

Sitta Karina juga secara tersirat memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang cara mengasuh anak. Mulai dari selektif memilih makanan, memperlihatkan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di hadapan anak hingga cara menjawab pertanyaan anak tanpa harus melakukan white lies. Sangat bermanfaat bagi ibu muda yang masih meraba-raba pola asuh yang baik untuk anaknya.

Tokoh Wigra mengingatkan saya pada suami saya sendiri. Pria yang tampak tegar namun hatinya lembut, ia bijak, dewasa dan selalu berpikiran positif. Sosok Hannah sendiri membuatĀ  saya membandingkannya dengan ibu Ainun Habibie, yang setelah menikah dengan Habibie ia sepenuhnya mencurahkan hidupnya untuk suami dan anak-anaknya dan meninggalkan profesinya sebagai dokter. Tentu dia juga pasti merasakan pergulatan batin saat itu.

Jika wanita karir yang membaca novel ini berharap mendapatkan solusi antara bekerja dan mengasuh anak, maka satu-satunya solusi yang akan dia dapatkan di novel ini adalah berhenti bekerja di kantor. Sosok Hannah akhirnya memutuskan berhenti bekerja di kantor dan melakukan hobinya melukis sebagai profesi baru. Selain itu, ia juga dapat mengasuh anak sendiri, melihat setiap detik perkembangannya. Sitta Karina seperti memberi satu gambaran lagi, bahwa berhenti bekerja bukan berarti pemasukan berkurang, Tuhanlah yang mengatur rejeki. Di akhir cerita, saat Hannah mulai bisa menerima dirinya sebagai ibu rumah tangga, ia mendapatkan kabar sang suami akan dipindahkan ke luar negri dan semua fasilitas dan tunjangan ditanggung kantor. Tuhan memang Maha Pengatur Rezki.

Diantara sekian banyak kelebihan novel ini, saya masih belum paham mengapa Sitta Karina memasukkan konflik Wigra dan Ara, mantan pacar Wigra, di bagian akhir novel. Saya berpikir mungkin lebih baik dihilangkan saja. Kalaupun ingin memanjangkan cerita, mungkin lebih baik sang penulis lebih menguraikan filosofi sederhana melukis, yang menurut cerita adalah passion Hannah. Pendalaman hal-hal tentang melukis bisa menambah warna buku dan bisa membuat wanita karir yang membacanya untuk kembali ke passion-nya sekaligus mengasuh anaknya sendiri.

Bagi saya, novel ini layaknya snack yang bergizi, meski ringan namun mengandung banyak ilmu dan pengetahuan yang dapat dipetik terutama bagi ibu-ibu muda. Meski Anda belum menikah atau mempunyai anak, saya juga merekomendasikan novel ini sebagai antisipasi jika kelak menghadapi posisi demikian. Juga bagi ibu-ibu yang sudah terlanjur “jauh” dari anaknya untuk agar segera mengambil langkah sebelum semua menjadi sangat terlambat.

Karena saat kita memutuskan untuk berkeluarga, kata “aku” telah berganti menjadi “kita”.

5 thoughts on “Seorang Ibu untuk Anak di “Rumah Cokelat”

  1. Mugniar

    Setelah memiliki anak, dalam kehidupan berkeluarga yang ada (bisa dibilang) hanya satu frase: “Tanggung jawab”. Ini membuat keakuan harus lebur menjadi “kekitaan”. Juga membuat seorang ibu yang menjadi wajar punya me time yang sebaiknya berbobot.

    Resensi yang manis, Inar. Saya setuju dengan bumbu kisah dengan mantan pacar. Agak2 tdk nyambung ya?

    Reply
  2. Pingback: Perpus Mini Nanie Pembaca Buku Terbanyak #bacaituseru Periode Februari 2013 | Perpus Mini Nanie

  3. Pingback: Inart's Story - Tampil Keren dengan Bermain Game Fashion -

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.