Pendidikan: BOS vs Pungutan Sekolah

Andika

Andika Imam Taufik, siswa SDN Kotakusuma membawa kursi plastik sendiri ke sekolah karena tak mampu membayar uang kursi Rp 55.000 yang ditetapkan pihak sekolah.

“Tak mampu membayar uang kursi, Andika membawa kursi itu atas perintah Guru”. Judul dari tulisan di salah satu koran itu, menjadi pembicaraan banyak orang hari ini. Entah itu di twitter, facebook dan di sosial media lainnya banyak yang meneruskan dan berkomentar atas kasus ini. Sebagian besar dari mereka miris dan menyayangkan kasus ini.

Padahal kasus ini, sudah banyak terjadi sebelumnya, namun tidak pernah diekspos di media massa.

Kasus membeli kursi biasanya terjadi pada siswa yang sebenarnya tidak lulus sesuai dengan kuota di sebuah sekolah. Namun siswa tersebut ingin tetap bersekolah maka sebagai imbalannya siswa tersebut harus membeli kursi untuk dirinya sendiri.  Membeli kursi juga biasanya dilakukan sebuah sekolah karena kursi di sekolah tersebut sudah rusak dan perlu diganti.

Mungkin pendapat saya berbeda dari banyak orang yang memandang miris kasus ini. Saya mencoba melihat kasus ini dari perspektif berbeda. Dari beberapa berita yang saya baca, kasus ini bermula dari rapat sekolah dengan orang tua siswa yang menyarankan orang tua untuk membawa kursi ke sekolah. Seluruh orang tua siswa yang mengikuti rapat itupun setuju, hanya saja orang tua Andika yang tidak menghadiri rapat tersebut dan tidak memiliki kemampuan ekonomi yang memadai hingga kasus ini pun menjadi besar.

Wajib pendidikan 9 tahun dan BOS

Apakah BOS bisa menjamin kualitas pendidikan?

Wajib pendidikan 9 tahun telah dicanangkan sebagai program wajib dan program ini didukung dengan adanya BOS atau Bantuan Operasional Sekolah. Dengan adanya BOS, pendidikan dasar ini dikabarkan gratis.

Sejak pemerintah mengucurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada 2009, setiap tahun ajaran baru, pungutan sekolah menjadi tema kontroversial. Sekolah dilarang memungut apa pun dari orang tua murid dan masyarakat. Namun kata “gratis” menimbulkan pemahaman berbeda antara pemerintah dan masyarakat. Bagi masyarakat kata “gratis” berarti mereka tidak perlu mengeluarkan biaya apa pun untuk menyekolahkan putra-putrinya. Masyarakat menganggap dana BOS itu untuk membiayai semua operasional sekolah yang realitasnya dana itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan standar minimal pembelajaran.

Gratis vs Kualitas?

Belakangan, ada dilema antara tuntutan kualitas dan minimnya dana, serta sarana prasarana pembelajaran. Sekolah berkualitas membutuhkan perpustakaan, media pembelajaran, laboratorium, alat, serta sarana kegiatan ekstrakurikuler yang berkualitas pula. Honor guru tentu  juga akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan itu sendiri.

Tahun lalu, tanpa sengaja saya terlibat dalam proses pendidikan SMP di dekat rumah sebagai seorang guru. Cerita yang dulu saya dengar bahwa honor seorang guru itu sangat sedikit pun saya rasakan. Hal itu ternyata bukan cerita, tapi kenyataan. Honor yang diberikan jauh berbeda dengan honor yang saya terima sebagai pegawai swasta selama ini. Jumlah honor yang didapatkan hanya cukup untuk biaya transportasi bahkan kurang. Pertanyaan saya, apakah honor sekecil itu pantas diberikan kepada seorang guru yang punya tugas berat menciptakan tunas bangsa yang baik di masa depan?  Apakah wajar jika kita berharap kualitas dengan menggaji guru dengan honor sekecil itu? Jika honor guru hanya sekecil itu bagaimana mereka membiayai hidupnya?

Peran Orang tua

Jika harus membahas tentang dana BOS ini maka akan menjadi sangat panjang karena sistem pendidikan di negara kita yang memang belum memadai. Terlalu banyak potongan dari atas hingga dana BOS yang sampai ke sekolah tidak cukup hingga terkadang sekolah pun harus melakukan pungutan.

Pendidikan yang berkualitas pada akhirnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah maupun guru di sekolah namun juga tanggung jawab orang tua kepada anaknya. Pemungutan dalam skala yang wajar saya rasa tidak akan jadi masalah jika hal itu telah dibicarakan sebelumnya antara sekolah dan orang tua siswa. Politisasi, slogan, dan kampanye para pejabat daerah mengenai pendidikan gratis harus proporsional, jangan membodohi dan membingungkan masyarakat. Jangan sampai program pendidikan gratis justru mengorbankan kualitas, karena kita salah memahaminya.

Masyarakat yang kurang mampu pun bisa dibantu dengan berbagai program untuk mendukung sekolah anak-anaknya. Peran masyarakat sekitar untuk melihat anak-anak tetap bersekolah juga sangat penting. Kalau kita memang mampu mengapa kita tidak memberikan beasiswa kepada mereka?

0 thoughts on “Pendidikan: BOS vs Pungutan Sekolah

  1. handi komara

    ini konyol sekali…masa iya sih ada uang kursi segala? saya pengajar di sebuah sd negeri di Bandung, belum pernah mendengar pungutan sekonyol itu. tentu saja ini harus diusut. alangkah baiknya jika KPK ikut mengawasi pengelolaan bos sampai ke titik kelas-kelas…
    sekalian mohon dukungan untuk saya dan rekan guru2 honorer yg masih harus mengurut dada karena honor yg didapat hanya Rp. 250 ribu sebulan. pdahal untuk mengontrak kos saja yg sebulannya 250 ribu.

    saya juga masih berstatus guru honor pak

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.