[Bukan] Pencinta Alam

      Tak ada komentar pada [Bukan] Pencinta Alam

Renungan

Selalu ada sudut-sudut bumi yang teramat sensual bagi orang-orang sepertiku dan beberapa teman yang katanya “anak alam” dan menyebut diri pencinta alam. Selalu ada kebanggaan, mengalahkan lelah dan ego diri. Itu bisa berupa puncak-puncak gunung yang menuding langit atau liang gua yang kelam, seperti ada makhluk menunggu kita di sana. Atau tebing tegak lurus menawan seakan minta dijamah, jeram deras yang tak pernah bisa berkompromi. Makin bergejolak ia, makin bergairahlah kita menyusurinya. Atau angkasa yang tak bertepi? Samudera yang dalam? Ah, banyak sekali sudut-sudut dan bentang alam yang indah menawan, betapa beruntungnya manusia. Selalu begitu, di setiap perjalanan, di setiap kelelahan, jeda menuju klimaks, di situlah letak rasa itu. Rasa yang… ah, sulit disimpulkan, tak ada kata yang dapat mewakili perasaan itu. Hanya ada gairah aneh saat energi itu kemudian akan menyusut lagi ditelan rutinitas kehidupan. Begitu seterusnya, berulang-ulang. Foto-foto eksotis, cerita-cerita tentang heroisme, bahwa kita adalah sekumpulan manusia unik, berani, kuat perkasa dan tahu apa yang terbaik buat diri kita, berani menjadi beda. Pada saatnya nanti alam kembali memanggil, berbisik dan terus mengganggu. Dan kita datang lagi, mencumbuinya lagi, terpuaskan lagi, pulang lagi. Seperti candu yang tak pernah selesai. Seegois itukah aku? Sesederhana itukah hidup? Kalau hanya sesederhana itu, maka sebutan yang paling tepat adalah penikmat alam! Bukan “pencinta alam”. (Butet ManurungTaken from Sokola Rimba, Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba)

Sekelompok orang tampak begitu sumringah, meski denyut jantungnya belum kembali beraturan. Satu puncak lagi berhasil ditaklukkan, dengan keringat mungkin juga dengan air mata.

Foto-foto eksotik pun sudah digenggaman, siap untuk dipamerkan. Dengan lantang mereka bercerita, betapa tangguhnya mereka menaklukkan setiap jejak medan. Nafas yang memburu, otot yang melemah, kaki yang terus menanjak hanya cerita selingan diantara cerita-cerita indah mengenai pemandangan yang menakjubkan di atas sana. Mereka yang tak pernah mengalaminya pun terperangah mendengar cerita itu.

Prilaku itu pun turun menurun, seolah menjadi tradisi. Anggota lama bercerita kepada anggota baru. Anggota baru bercerita kepada mereka yang belum menjadi anggota. Bahwa pemandangan itu indah, bahwa pemandangan itu begitu eksotik. Kita pun kembali datang menyapanya, turun kemudian kembali lagi menyapanya. Begitu seterusnya, hasrat itu terasa tak ingin berhenti. Orang-orang yang penasaran akan cerita-cerita itu pun turut serta, seolah ingin membuktikan mereka berani, mereka beda, mereka unik, mereka perkasa.

Apakah sesederhana itu? Bukankah hal itu berarti pendakian tak lebih dari hegemoni aktifitas rekreasi yang hanya berasa keindahan saja? Tetapi untuk apa keindahan itu? Bila sang bayu tak pernah dimengerti, sang embun tak pernah dipahami. Untuk apa embun menyelimuti punggung gunung, pernahkah kita bertanya akan hal ini?

Kita mengaku pencinta alam, namun begitu tega menjilat tanah dengan api, meracuni air dengan sampah, menebas pohon untuk mendirikan tenda. Apakah ini adalah bentuk cinta? Mengapa tak kau sebut saja dirimu seorang penikmat?

0 thoughts on “[Bukan] Pencinta Alam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.