Ketika

      Tak ada komentar pada Ketika

Ketika aku memutuskan untuk menerima pekerjaan ini, aku sadar bahwa di depan sana akan banyak tantangan yang akan kuhadapi. Awalnya ku pikir akan dengan mudah menyelesaikan skripsi dengan menjadikan proyek di kantor menjadi skripsi, tetapi rupanya semua tak semudah itu. Proyek yang berada pada ranah praktis sangat sulit dimasukkan ke dalam ranah akademis yang keliatannya lebih kompleks. Skripsiku pun terus tertunda hingga hari ini.

Ketika aku memutuskan untuk menerima pekerjaan ini, aku sadar bahwa aku akan masuk dalam level tantangan kehidupan yang lain. Dunia kerja yang berbeda dengan dunia mahasiswa yang kerap kugeluti. Lebih kompleks.Waktuku kini lebih banyak dihabiskan di kantor, berhadapan dengan komputer dan meninggalkan satu demi satu aktivitasku di kampus. Kini, setelah skripsiku ditunda, kehidupan sosialku pun mulai memudar. Ini adalah masalah pengorbanan, dan aku mengorbankannya.

Ketika aku memutuskan untuk menerima pekerjaan ini, ada keinginan yang tiba-tiba mengusik. Aku ingin memberikan persembahan di akhir masa mahasiswaku dengan sebuah proyek pribadi dengan modal sendiri. Dan aku yakin bisa melakukan itu. Tapi makin hari aku menjadi sanksi bisa meneruskan proyek ini. Aku kehilangan inspirasi dan kadang-kadang motivasi.

Ketika aku memutuskan untuk menerima pekerjaan ini, yang ada dibenakku adalah mendapat ruang untuk bisa terlepas sejenak dari kondisi rumah yang kadang memuakkan. Namun seiring waktu, masalah itu makin sulit dan membuatku memikirkan banyak hal. Kini, semua tak semudah dulu lagi.

Yah… akhir-akhir ini konsentrasiku sering terbagi untuk kerjaan di kantor, skripsi, proyek pribadi, dan masalah keluarga. Semuanya kadang membuatku bingung dan stagnan dengan semuanya.

Dulu aku bertanya-tanya mengapa orang yang memutuskan kerja di masa kuliah, lama menyelesaikan studinya. Kini dengan penghasilan sendiri, aku bisa membiayai apa saja yang aku inginkan, shoping, makan diluar, jalan-jalan hingga membayar uang kuliah sendiri. Aku kini lebih mandiri dengan mengatur keuangan sendiri tanpa harus meminta lagi dari orang tua. Dan rupanya ketidakketergantungan itulah yang membuatku kadang semakin bermasa bodoh dengan kuliahku.

Namun, semua itu kembali lagi ke niat awal. Tujuanku berkuliah untuk bekerja atau kerja untuk kuliah. Dua hal ini mengandung makna yang sangat bertolak belakang. Jika memang tujuanku berkuliah untuk bekerja, maka dengan mudah aku dapat melepaskan kuliahku, toh tujuannya untuk bekerja telah tercapai.

Namun tidak demikian, aku memutuskan bekerja untuk mendukung kuliahku. Sekeras apapun aku bekerja, aku akan tetap berusaha konsekuen dengan kewajiban sebagai mahasiswa. Apapun alasannya. Aku ingin menyelesaikan kuliahku, aku ingin melihat senyum kedua orang tuaku tersungging kala aku menggunakan pakaian toga, aku ingin melihat siapa yang paling bahagia ketika aku mendapatkan gelar dibelakang nama. Bukan untukku, tapi untuk mereka, orang-orang yang menyayangiku.

Ini adalah sebuah pertarungan! Tak sedikit yang sukses mengadu pertarungan, tetapi tak terhitung pula yang terpaksa keluar gelanggang karena kalah bersaing. Would I will be The Winner?

*malam begini, masih nongkrong di kantor*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.