Sebuah Risalah tentang Hujan

      4 Komentar pada Sebuah Risalah tentang Hujan

Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri
Aku bisa tersenyum
Sepanjang hari
Karena hujan pernah
Menahanmu disini
Untukku…

Lagu milik Utopia itu mengalun ditemani resonansi dawai gitar, bersaing dengan rinai hujan yang begitu ramai di luar sana. Musim hujan membuat lagu ini kembali tenar. Harmoni lirik dan musiknya terasa begitu familiar di telinga. Siapa saja menyanyikannya atau memperdengarkannya. Namun ada hal yang membuat saya bertanya-tanya di tengah riuh rendah orang menyanyikan lagu ini, apakah betul kita bahagia saat hujan turun? Bukankah kebahagian saat mendengarkan dan merasakan hujan turun hanya kata-kata puitis seorang penyair dan pencipta lagu?
Kali ini saya membagi beberapa catatan seputar kondisi jalan, pengguna jalan dan inisiatif warga di musim hujan.

Banjir
Beberapa hari terakhir, hujan terus bernyanyi dan rasanya tak ingin berhenti. Seakan lumrah dan tak bisa dihindari, banjir pun terjadi di beberapa titik. Seperti halnya kota-kota besar di Indonesia, Kota Makassar juga telah lama menjadi langganan banjir jika musim hujan telah tiba. Banjir seperti lagu lama yang setiap tahun berulang. Namun permasalahan ini belum juga terselesaikan, bahkan cenderung meningkat, baik frekuensi, luasannya, kedalamannya maupun durasinya.

Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat. Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan. Banjir berdasarkan jenisnya di bagi tiga. Pertama banjir yang terjadi akibat sungai tidak mampu lagi menampung aliran air yang ada akibat debit airnya sudah melebihi kapasitas. Kedua banjir lokal, yakni banjir yang terjadi akibat air yang berlebihan di tempat tersebut oleh karena kondisi tanah yang sulit melakukan penyerapan air. Dan ketiga banjir akibat pasang surut air laut.

Hujan yang mengguyur beberapa hari terakhir menyebabkan banjir di beberapa titik. Pemukiman yang tergenang air antara lain Antang, Pampang, Rappocini, Bumi Permata Hijau, Hartaco, Minasa Upa, Malengkeri, Sungai Saddang, Jalan Monginsidi, daerah Pecinan, seperti Jalan Sulawesi, Nusantara, Irian, Sangir dan Lombok.
Hal yang sama juga dialami warga di Kelurahan Bontoduri, Kecamatan Tamalate, Makassar. Hujan deras telah merendam pemukiman warga di sana, sehingga harus mengungsi. Banjir juga terjadi di Jl AP Pettarani seperti di depan Ramayana Department Store, yang menyebabkan kemacetan.

Jalan di depan rumah jabatan Wakil Gubernur Sulsel (Jl Yusuf Dg Ngawing) juga banjir hingga setinggi lutut orang dewasa. Banjir juga terjadi di Kompleks Perumahan Faizal, Daya dan beberapa lokasi lainnya.

Berdasarkan hasil pemetaan Jurnal Celebes bersama dengan stakeholder di kota ini, Kelurahan Lette di Kecamatan Mariso, dan Kelurahan Tamalanrea Jaya di Kecamatan Tamalanrea dinyatakan sebagai lokasi rawan bencana banjir

Menurut pemetaan itukedua lokasi tersebut jadi langganan banjir selain karena topografi tanah dan posisinya dari permukaan laut yang relatif rendah, juga karena kurang berfungsinya saluran air tersier dan sekunder dengan baik.

Sekaitan dengan hal tersebut, pemerintah bersama stakeholder di lapangan hendaknya memiliki taksiran (assessment) dan distribusi informasi penanganan bencana untuk mencegah jatuhnya korban.

Hujan yang terus bernyanyi di luar sana, semakin membuat saya resah. Mungkin sebagian dari kita, masih beruntung dan menikmati hujan. Tetapi mungkin ada di antara kita yang merasakan dampak akibat banjir? Wabah penyakit yang siap menyergap, rusaknya alat-alat rumah tangga bahkan kita bisa hanyut terbawa arus.

Berdasarkan realita di lapangan, banjir di daerah langganan masih terus berlangsung bahkan makin meluas. Sepuluh persoalan yang berhasil saya rampungkan sebagai alasan penyebab bencana banjir yang terus terjadi adalah, pertama: belum adanya program penanggulan banjir yang menyentuh akar permasalahan. Kedua: adanya perubahan karakteristik watak banjir. Ketiga: kawasan di dataran banjir telah berkembang dengan sangat pesat menjadi kawasan pemukiman, industri , perdagangan yang padat sehingga upaya penanggulan banjir lebih banyak bersifat tambal sulam dan represif. Keempat: makin berkurangnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air lainnya. Kelima: makin menjamurnya bangunan di sempadan sungai. Keenam: pengambilan air tanah yang berlangsung terus, bahkan meningkat, sehingga mengakibatkan penurunan muka tanah. Ketujuh: upaya menangani banjir selama ini masih berorientasi proyek. Kedelapan: Master plan belum dijadikan acuan pembangunan. Kesembilan: Kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk memelihara sarana dan prasarana sistem drainase masih sangat rendah. Kesepuluh: Masyarakat belum dapat memahami sepenuhnya tentang fenomena banjir yang bersifat dinamis.

Banjir merupakan permasalahan dan tanggung jawab bersama stakeholders. Baik itu pemerintah, masyarakat maupun pengusaha. Usaha pencegahan rasanya sudah terlambat jika sudah begini keadaannya. Baiknya, kita sama-sama memikirkan pertolongan dan penanganan yang bisa dilaksanakan untuk mengurangi resiko akibat banjir ini.

Jalan Berlubang
Hati-hati pada jalan berlubang saat hujan. Saya teringat kejadian yang menimpa saya di awal bulan januari tahun ini. Tiba-tiba saja roda motor yang saya kendarai melindas masuk ke jalan berlubang yang tertutupi air di sekitar pembangunan fly over. Guncangan yang terjadi cukup keras. Beruntung saya masih bisa mengimbangi motor sehingga saya tidak benar-benar terjatuh.

Di koran lokal saya juga pernah membaca nasib malang dialami seorang ibu rumah tangga yang melintas di jalan Perintis Kemerdekaan, tepatnya di depan M’Tos. Bersama dua putranya, ia terjatuh dari motor karena melindas jalan berlubang yang tertutupi air. Seorang di jalan poros kawasan BTP pun pernah diberitakan terjatuh dari motornya karena kubangan yang dilewati terlalu dalam. Dan tentu masih banyak kisah malang lain yang dialami pengendara kendaraan akibat jalan berlubang di musim hujan.

Jika pengendara itu punya SIM dan nomor kendaraan yang sah, artinya dia mengendarai kendaraannya dengan membayar pajak dan hal itu berarti kecelakaan itu bukan karena kesalahan si pengendara motor melainkan kesalahan dinas terkait, atau mungkin lebih jelasnya kesalahan kota ini. Tapi tampaknya kota ini hanya ingin mengambil pajaknya dan tidak mau bertanggung jawab atas kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan jalan.

Musim hujan di kota ini memang membawa dampak buruk bagi kualitas jalan. Sejumlah jalan protokol yang berada di kawasan bisnis, pusat perkantoran, pemukiman warga, sampai pemukiman elit kembali rusak ketika musim hujan. Kerusakan jalan nyaris merata di seluruh jalan protokol di kota ini.

Beberapa data kerusakan jalan tersebut antara lain: Jl. Sabutung, Jl. Galangan Kapal, Jl. Barukang di Kecamatan Ujung Tanah; Jl. Sulawesi, Jl. Tentara Pelajar, Jl. Sumba, Jl. Irian, Jl. Slamet Riyadi di Kecamatan Wajo; Jl. Penghibur, Jl. Riburane, Jl. Bonto Lempangan, Jl. Kartini, di Kecamatan Ujung Pandang; Jl. Metro Tanjung Bunga, Jl. Cendrawasih, Jl. Mappanyukki, di Kecamatan Mariso; Jl. Mappaoddang, Jl. Mallombassang, Jl. Dangko, Jl. Andi Tonro, Jl. Baji Gau di Kecamatan Tamalate; Jl. Rappokalling, Jl. Kesempatan, Jl. Barawaja di Kecamatan Tallo. Jalan di perumahan Minasa Upa, Jl. Karunrung Raya, Jl. Banta-bantaeng di Kecamatan Rappocini; Jl. Anuang, Jl. Kakaktua, Jl. Beruang di Kecamatan Mamajang; Jl. Maccini, Jl. Abubakar Lambogo di Kecamatan Makassar; Jl. Sunu, Jl. Bayam, Jl. Kandea di Kecamatan Bontoala; Jalan Sermani, Jl. Abdullah Dg.Sirua di Kecamatan Panakukang; Jalan di Perumahan Antang, Jl. Batua Raya di Kecamatan Manggala; Jalan di perumahan Telkomas, Jalan di perumahan Bumi Tamalanrea Permai, Jl. Bontoa Raya, Jl. Tamalanrea Raya, Jalan Perintis Kemerdekaan di Kecamatan Tamalanrea; Jalan di Perumahan Taman Sudiang Indah, Jalan di Kompleks Bulurokeng di Kecamatan Biringkanaya; dan beberapa jalan lainnya.

Kerusakan yang dimaksud adalah kerusakan kecil semisal jalan bergelombang dan lubang kecil maupun kerusakan besar dengan lubang besar menganga yang bisa mengancam keselamatan sepeda motor. Dari hasil pantauan saya, beberapa ruas jalan yang rusak tersebut belum cukup setahun mengalami perbaikan maupun pengaspalan. Sayang, pengaspalan jalan yang menghabiskan anggaran ratusan juta rupiah tersebut belum seumur jagung namun sudah kembali mengalami kerusakan.

Saya salut dengan inisiatif warga di beberapa wilayah di Kabupaten Takalar dan Jeneponto. Dalam perjalanan menuju ke Kabupaten Bulukumba kemarin saya melihat beberapa solusi yang mereka lakukan untuk menghindari kecelakaan akibat jalan berlubang. Ada yang memasang tanda bahaya berupa tiang yang diikatkan kain atau kantong berwarna merah tepat di jalan berlubang, lainnya mencoba menutupi lubang tersebut dengan tanah. Bahkan ada yang menutup jalan dengan semen, salah satu orang bertugas untuk meminta dana dari pengguna jalan sedangkan beberapa orang lainnya menutup lubang tersebut dengan semen. Setidaknya, langkah kecil ini bisa mengurangi kecelakaan pengendara kendaraan. Tetapi tampaknya warga di Kota Makassar ini masih terlalu sibuk untuk melakukan hal-hal tersebut, tampaknya kita masih setia menunggu sang dinas terkait untuk menangani masalah ini.

Drainase
Air hujan yang melimpah butuh saluran yang baik. Dr. Ir, Suripin, M.Eng dalam bukunya Sistem Drainase Perkotaan mengungkapkan bahwa sejarah perkembangan sistem drainase bermula sejak jaman Romawi kuno. Bangunan drainase perkotaan pertama kali dibuat di Romawi berupa saluran bawah tanah yang cukup besar, yang digunakan untuk menampung dan membuang limpasan air hujan. Sejalan dengan perkembangan kota-kota di Eropa dan Amerika Utara, sistem drainase berkembang secara intensif.

Pada tahun 1815, di London, dilakukan tindakan perbaikan dengan melakukan perubahan peraturan yang membolehkan membuang limbah domestik ke dalam sistem drainase. Sehingga, sistem drainase yang awalnya hanya diperuntukkan bagi air hujan menjadi sistem drainase tercampur yang menerima air hujan dan air buangan domestik.

Sebelum abad 19 berakhir, orang mulai menyadari sepenuhnya bahwa problem yang melingkupi kekumuhan sebenarnya belum terselesaikan, tetapi hanya dipindahkan dari lahan ke badan air penerima. Kota-kota yang dilewati dan/atau berdekatan dengan badan air penerima mulai berinisiatif untuk mengolah air limbah sebelum dibuang ke dalam sistem drainase. Kesadaran itu serta merta dapat direalisasikan. Hanya saja untuk semua bangunan baru diwajibkan melengkapi dengan system pembuangan air terpisah, yaitu satu untuk sanitasi dan satu lagi untuk drainase air hujan.

Seorang teman saya pernah mengeluhkan air saluran pembuangan domestik di rumahnya tiba-tiba saja naik saat hujan turun. Wajar bila hal itu teradi karena hingga saat ini kota-kota di Indonesia, termasuk Makassar masih menggunakan sistem drainase tercampur tanpa dilengkapi dengan fasilitas instalasi pengolah air limbah. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan, mengingat air limbah yang dibuang ke sistem drainase makin meningkat volumenya, sementara kualitasnya makin menurun.

Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Makassar telah membentuk tim khusus untuk untuk mengantisipasi tingginya curah hujan yang berpotensi menyebabkan banjir maupun genangan di sejumlah titik di kota ini. Tim khusus ini dibentuk untuk mengatasi keluhan masyarakat. Mereka siap bergerak untuk terus memantau titik genangan air maupun melakukan antisipasi genangan air dengan membuat tali-tali air maupun membuat saluran lancar sehingga aliran air berjalan normal.

Ridwan Muhaddir, Kepala PU Kota Makassar mengingatkan agar warga yang melihat genangan air yang cukup tinggi bisa langsung mendatangi posko penanggulangan banjir di Kantor Dinas PU, kantor gabungan dinas-dinas, Jl Urip Sumoharjo, maupun menghubungi hotline posko di (0411) 436932.

Bukannya apatis hanya saja saya masih melihat banyak genangan di kota ini. Apakah Tim khusus ini betul-betul bekerja? Ataukah masyarakat yang tidak melaporkannya? Entahlah.

Tahun 2009 ini, dinas PU Kota Makassar dijadwalkan melakukan normalisasi 11 titik saluran sekunder sepanjang 11.622 meter di Kota Makassar. Biaya pengerjaaan normalisasi saluran air bersumber dari menko kesra (menteri koordinator kesejahteraan rakyat) berkisar Rp 3 miliar. Sebesar Rp 2,7 miliar diperuntukkan untuk normalisasi saluran sekunder dalam kota yang selama ini belum berfungsi maksimal akibat tingginya sendimentasi. Sisanya dialokasikan sebagai dana cadangan untuk persiapan rehabilitasi pasca bencana alam

Akankah rencana dan anggaran ini mampu mengurangi dampak banjir di kota ini? Atau akan berorientasi proyek dan anggarannya meluap begitu saja?

Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah elemen kota yang multifungsi. Selain memberi keindahan, RTH juga berfungsi sebagai tempat bermain, berolahraga, mendapatkan udara segar, pemeliharaan ekosistem dan pelembut arsitektur kota. Selain itu RTH merupakan pemeliharaan hubungan emosional dengan alam lingkungan dan arena sosialisasi masyarakat.

Persoalan berat yang dialami kota ini adalah berkurangnya ruang terbuka dan hilangnya daerah resapan air yang berganti dengan bangunan beton. Dua daerah resapan air besar bagi Kota Makassar, yakni Tanjung Bunga dan Panakukang saat ini sudah berganti wujud menjadi kawasan komersial. Kawasan Tamalanrea dan Biringkanaya yang dahulunya tanah kosong sekarang telah berganti menjadi bangunan dengan berbagai fungsi. Karebosi yang dahulu menjadi daerah resapan pun telah hilang.

Kepala Badan Pengelolaan dampak Lingkungan Daerah (Bappedalda) Sulsel, Andi Maskur, mengatakan bahwa revitalisasi Karebosi yang mengubah fungsi dan peruntukan penggunaan lahan bertentangan dengan Perda Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah Kota Makassar. Karebosi dalam dokumen tersebut berfungsi sebagai area publik yang harus menjamin kemudahan akses, rasa memiliki, penjaminan privasi dan kenyamanan sebagai milik bersama. Maskur juga menambahkan fungsi Karebosi sebagai daerah resapan air telah hilang, pun 40 sumur resapan air lengkap dengan pompa yang dibangun PT Tosan saat ini tidak bisa menjamin.

Tak dapat dipungkiri, 10 tahun terakhir ini, Indonesia pada umumnya dan kota Makassar pada khususnya mengalami perubahan iklim. Berkurangnya kawasan hutan lindung dan daerah resapan air, kebakaran hutan dan penggunaan zat kimia rumah tangga, sedikit banyak menyebabkan perubahan iklim.
Badan Meteorologi dan Geofisika menganalisis gejala kemunculan fenomena La Nina di wilayah ekuator Pasifik barat. Jika La Nina terbentuk, hujan lebat akan berlangsung hingga April mendatang.
Jika La Nina terbentuk, maka curah hujan yang tinggi akan berlangsung lebih lama. Jika dalam keadaan normal curah hujan di atas normal berlangsung hingga akhir Februari, maka saat La Nina muncul curah hujan tinggi akan berlangsung hingga April. Apakah kita akan bahagia menikmati hujan hingga April mendatang? Ataukah sebaliknya?

Idealnya, RTRWK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kota) yang telah menjadi dokumen hukum ini harus menjadi rujukan bersama para pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan pembangunan namun masih banyak ketidakadilan dan pemutarbalikan skala prioritas pengembangan RTH. Alasannya lagi-lagi keterbatasan dana, pembenaran yang sudah tidak relevan lagi, jika yang diproritaskan adalah dilakasanakannya proyek-proyek pembangunan milirian rupiah.

***

Lagu Hujan milik Utopia kembali terlantunkan. Gitar di pangkuan pun masih setia menemani. Saya menatap keluar jendela mencoba menjemput bulan di tengah hujan. Ada angan yang tiba-tiba menghampiri, seandainya kebahagian seluruh warga kota ini, saat hujan turun bukan sekedar angan utopis, tapi dia menjadi betul-betul nyata dan dirasakan oleh semuanya. Tetapi akankah? Adakah yang ingin menemani saya menjawabnya? Bukankah lebih banyak di antara kita yang cemas memandang hujan?

Tulisan ini juga bisa di baca di panyingkul!

4 thoughts on “Sebuah Risalah tentang Hujan

  1. desty

    saya ga suka hujan pagi-pagi di hari kerja..berhubung saya pejalan kaki, celanaku suka basah nyampe ke kantor. Belum lagi kecipratan genangan air karena mobil-mobil yang lewat…huhuhu…

    Reply
  2. ihsan

    kejadian tersebut berulang terus tiap tahun,..ada solusinya…???kalo masih genangan/banjir..belum ada solusi.
    kasus ini belum menjadi keresahan bersama seluruh warga kota…coba kalo resah semua..solidaritas…tentu akan ada duduk bersama mebicarakan program terpadu…yang terjadi sekarang adalah..musibah di kecamatanmu nikmati sendiri…jangan ganggu kami.., kota sudah dipenuhi otak2 individualis….
    jadi program pertama dudukkan semua warga kota membicarakan bersama masalah dan solusi kota….ngga usah melalui dewan…sama saja penuh intrik..
    bisakah..mendudukan smua warga kota…? kalo kita mau kita pasti bisa…, buktinya pemenangan JK-WIn sebagian warga kota tumpah ruah…kalo ada keinginan bersama semua pasti bisa dilakukan secara bersama..

    ihsan
    ..sebaiknya satu kota banjir..sehingga semuanya ribut…

    memang tak dapat dipungkiri psikologi kota membawa warganya pada prilaku induvidualitas yang sangat kental.
    pertanyaannya, siapa yang akan mengumpulkan warga kota, mendudukkannya bersama-sama, dan membahas solusinya? terus apa gunanya dewan? maka benang merahnya akan kembali pada pemerintahan indonesia yang masih kacau.

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.