Surat untuk Pak Aco

      Tak ada komentar pada Surat untuk Pak Aco

Pemilihan Walikota Makassar telah berakhir. Baliho, spanduk, poster para kandidat yang membanjiri kota dan terasa menyesakkan, kini mulai dipinggirkan. Pasangan IASMO (Ilham Arif Sirajuddin dan Supomo Guntur) menang dengan suara lebih dari 60 persen. Menunggu kepemimpinan IAS, untuk kedua kalinya, saya pun menurunkan pandangan dan harapannya, dari perspektif mahasiswa perencana kota. Satu hal yang paling dinantikan warga dari Aco, panggilan akrab sang walikota terpilih, jurus apa yang dikeluarkannya menata kota.

Tanggal 4 November 2008 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar telah menetapkan IASMO sebagai pemenang Pilwalkot. Meski harus dicatat, jumlah warga yang tidak memilih alias golput lebih banyak dari suara yang diraih pemenang. Dari hasil rekapitulasi KPU terlihat bahwa total suara sah 553.911 suara dan yang tak sah sebanyak 6.885 suara. Dari total pemilih 959.873 orang, maka diperoleh suara golput sebanyak 399.077 suara atau 41,57 persen dari total pemilih. Jumlah suara golput lebih banyak dari suara yang diraih pasangan IASMO sendiri yakni 370.912

Pengamat politik Prof. Tb. Zulriska Iskandar pernah menanggapi tingginya angka golput dalam Pilwalkot Bandung 2008. Katanya, hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap figur calon pemimpin sebagai salah satu faktor penyebab golput. Lebih lanjut Prof. Zulriska mengungkapkan bahwa golput merupakan perilaku yang timbul akibat adanya kekecewaan. Sementara Saiful Mujani, Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia, pun pernah mengungkapkan bahwa kondisi tingginya angka golput di setiap pilkada terjadi karena hasil pemilu dan kegiatan politik lainnya dirasakan semakin jauh dari ekspektasi publik. Bisa jadi, hal ini pula yang mendera pilwalkot Makassar.

Golput memang tak mampu memengaruhi legitimasi pemimpin terpilih. Hanya saja, golput tetap membawa pengaruh pada position power dari pemimpin tersebut.

Politik dan Perencanaan
Dimensi politik dalam perencanaan merupakan sebuah dimensi yang menjelaskan bagaimana sebuah proses politik akan sangat memengaruhi suatu kebijakan publik maupun output perencanaan yang akan diambil. Dimensi politik dalam ranah perencanaan, telah sekian lama menjadi diskursus yang panjang dan melibatkan banyak ahli yang mengungkapkan mengenai eksistensi politik dan perencanaan.

Tak dapat dipungkiri, masalah perencanaan kota adalah masalah setiap orang. Bukan hanya masalah para perencana kota, bukan masalah pemimpin dan pengambil kebijakan dan bukan hanya masalah kami sebagai mahasiswa yang mendalami isu kota.
Siapa yang dapat menghindarkan diri untuk tidak melihat, merasakan, menikmati dan menggunakan suatu perencanaan kota?

Setiap hari manusia memanfaatkannya sejak terbangun dari tidur hingga kembali ke peraduan. Ke kampus, ke kantor, ke toko, ke pasar, ke tempat rekreasi, kemanapun juga kita pergi mau tidak mau harus berhadapan dengan arsitektur yang juga bagian sebuah penataan ruang. Antara satu tempat ke tempat lainnya dihubungkan oleh transportasi dan ruang publik yang juga merupakan produk perencanaan kota

Suka atau tidak suka. Karena produk perencanaan kota adalah perwujudan budaya, pengejawantahan dan wadah aktivitas kehidupan sosial, ekonomi masyarakat kota. Sebuah karya fisik yang terbentuk oleh tangan manusia secara menyeluruh dan mencakup semua unsur kehidupan.

Eratnya kaitan antara dimensi politik dan perencanaan kota lebih jelas diungkapkan John M. Levy (1988) di dalam bukunya Contemporary Urban Planning. Alasan pertama karena perencanaan senantiasa melibatkan hal yang menyangkut emosi masyarakat; Kedua, keputusan terlihat nyata sehingga kalau terjadi kesalahan keputusan tidak dapat disembunyikan dan mudah menjadi isu politik; Ketiga, proses perencanaan harus melibatkan masyarakat secara langsung karena menyangkut kepentingan masyarakat banyak; Keempat karena masyarakat merasa mempunyai keahlian dan kedudukan yang sejajar dengan perencana; Dan terakhir karena keputusan perencana mempunyai dampak yang besar bagi pemilikan tanah, terutama dampak ekonomis terhadap nilai tanah dan pemanfaatannya.

Seperti yang diungkapkan John M. Levy pada alasan pertama, ketiga dan keempat bahwa perencaanaan sangat dekat dengan masyarakat. Oleh karenanya, permasalahan tersebut juga erat dengan politik sebagai proses pengambilan kebijakan publik. Di sinilah tugas berat yang harus diemban calon walikota dan wakil walikota yang terpilih.

Perencana Kota
Akhir-akhir ini jumlah perencana kota memang meningkat dengan pesat. Hal ini disebabkan makin banyaknya lulusan lembaga pendidikan yang berlatar belakang perencanaan kota, baik bergelar sarjana maupun master. Dengan modal ijazah di tangan, mereka bebas mengklaim diri sebagai perencana kota meski tanpa pendalaman isu yang matang.
Seharusnya perencana kotalah yang memiliki kepekaan sosial, penghayatan yang mendalam dan keterlibatan yang tuntas terhadap denyut nadi yang berdetak dari masyarakat sekitarnya, merekalah yang mempunyai tugas mewadahi persepsi dan aspirasi masyarakat.

Para perencana kota berperan untuk mengingatkan para penentu kebijakan yang berada di atas jika kurang peka lingkungan, tidak menjejali bangunan di atas taman yang merupakan paru-paru kota. Masih mending kalau bangunannya sesuai dengan peruntukan tanah yang digariskan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kota. Bayangkan bagaimana rancuhnya suatu area yang merupakan kawasan pendidikan lebih di dominasi pusat pertokoan, mall, dan bangunan komersil lainnya. Dimanakah perencana kota ini?

Tetapi bagaimana jika penunjukkan konsultan tidak didasarkan atas pertimbangan prestasi dan referensi pekerjaan yang telah dilakukannya? Tetapi mungkin karena koneksi dan komisi. Hingga terlihatlah pembangunan yang tidak di dasarkan atas cinta dan pengertian sesuai etik profesional, melainkan berdasarkan eksploitasi dan prostitusi yang bermotif komersial. Hasilnya mudah di tebak, karya tata ruang yang berkualitas rendah.

Eko Budiharjo dalam bukunya Arsitektur dan Kota di Indonesia mengungkapkan bahwa dalam merencanakan dan merancang sebuah karya yang bernilai arsitektur, ada dua masalah yang harus diperhatikan yakni guna dan citra. Guna dalam arti kata aslinya tidak hanya berarti bermanfaat, tetapi lebih dari itu punya daya yang menyebabkan kita bisa hidup lebih nyaman sehingga prestasi meningkat. Sedangkan citra menunjukkan suatu gambaran, suatu kesan penghayatan dari seseorang. Citra tersebut merupakan lambang yang membahasakan keadaan masyarakat. Jadi jika Makassar identik dengan citra semrawut, kemungkinan besar merupakan pencerminan wajar dan jujur dari keadaan masyarakatnya yang sedang bingung.

Penataan Kota Makassar
Hingga hari ini, tata ruang kota Makassar, masih menyisakan banyak ‘pekerjaan rumah’ bagi pemimpin baru. Banjir masih melanda di musim penghujan; beberapa jalur lalu lintas masih menyampaikan kata ‘macet’; pemukiman kumuh perlu di tata lebih manusiawi; pedagang kaki lima sebagai sumber ekonomi masyarakat kecil, masihkah mendapat tempat diantara maraknya pendirian mall?; Apakah Kota Makassar akan tetap mengakar pada identitasnya dengan pembangunan gedung-gedung baru yang katanya megah dan mewah?

Fenomena keruangan kota yang semakin kompleks ini, memerlukan pendekatan pengelolaan baru yang bersifat holistik dan integratif. Ada tiga pilar pendekatan yang saling terkait yakni secara ekonomi menguntungkan, ramah terhadap lingkungan, dan secara sosial dan politik di terima masyarakat dan sensitif terhadap budaya. Kota selalu membutuhkan sebuah sentuhan yang lebih intelektual dan sungguh-sungguh, bukan sekedar koneksi dan komisi.

Saya memang masih mahasiswa, anak bawang, tak punya kekuasaan, belum cukup koneksi dan komisi. Satu-satunya kemewahan yang saya miliki hanyalah idealisme. Idealisme yang mengiris hati ketika melihat Kota Makassar semakin semrawut, idealisme yang membuat airmata berubah selaksa silet tajam yang menyayat pipi ketika pembangunan berdiri tanpa memerhatikan masalah lingkungan.

Saya yakin, masyarakat Makassar semakin cerdas dalam melihat fenomena keruangan Makassar saat ini. Durasi antara pengumuman kemenangan hingga pelantikan seharusnya menjadi momen bagi pemimpin terpilih untuk mematangkan konsep penataan ruang Makassar. Karena bukan tak mungkin, akumulasi antara masyarakat yang golput dan pemilih kandidat lain akan memengaruhi position power IASmo bila gagal menata Kota Makassar menjadi lebih baik.

Apakah IASMO punya visi dan misi yang pro-rakyat atau harus mendahulukan komisi dan koneksi?
Untuk Walikota terpilih, Pak Aco, yang namanya terasa akrab disapa warga, semoga Anda membaca surat ini.

0 thoughts on “Surat untuk Pak Aco

  1. Acculji

    Kayaknya Makassar masih akan tetap menyandang gelarnya sebagai kota bertabur bintang, eh salah, kota bertabur Mal

    Na blg aco, mall di mks bede memang masih kurang. Jd msh hrs di bangun lagi.

    Reply
  2. mba'pos

    nart oppoki aco..jadi oppo tommi bangunan² seperti mall menghiasi tatanan kota yang ujung²na pemukiman penduduk harus digusur karena pembangunannya!!

    atw sini dewh..print out-ini suart,biar sa yg langsung bawa ke kntr walkot..prettt 😛

    bawa mi mba pos! Jgn lupa suruh tanda tangan bukti penerimaanx nah!

    Reply
  3. bereng2x

    Eh!…ngomong2 yang jadi walikota sapa???
    Maklum, Tidak ada Tribun timur di Papua.
    Tapi mau banyak mall, banyak ruko, banyak tikus,
    banyak cewe’, ndak penting. yang penting makassar
    banyak -POHON-na’. saya curiga makassar
    mataharinya sudah melahirkan, serasa ada 2
    matahari. trus sungainya minimal kayak Palopo-mo’.
    ndak usah mi’ kayak Eropa.
    Banyakna mauku di’???

    Kan ada internet… Hehehe… nanti 3 mi mataharix. Satu di atas, satu di MP, trs akan di buka satu di MaRI. Ks tau mi sj smw pak aco mau ta..

    Reply
  4. Gelandangan

    tawwa politisi hihihihi
    mendaftar meko pemilihan walikota juga selanjutnya dengan program pencerhan buat gelandngan na hihihihiih

    Bukan ja politisi kodong,,, mendaftar walikota? Ck ck ck… Aih… da ada pi uangku untuk kampanye… Hehehe

    Reply
  5. Ask.RuL

    to BerengBereng : Kalo mau banyak Pohonnya, mending bikin proposal ke Pak Aco, Kota Makassar dialih fungsikan menjadi hutan lindung saja, trus gedung gedung tingginya bisa menjadi Wall climbing (cocokmi itu namanya nart ? itue.., yg tempat latihan manjat2 sama temanmu, yg ada depan labku)

    klo kota makassar jd hutan lindung ka bukan mi kota itu e…
    cocokmi…

    Reply
  6. limpo50

    Soal Mall di Jakarta lebih banyak… tapi kehancuran negara ada disana. Jadi baiknya jangan mengukur bangunan yang dibuat.
    Apa yang tak dihiraukan ?? KAREBOSI. !
    Memangnya gubernur sekian banyak yang telah lalu itu bodoh ?, Walikota terdahulu itu bodoh ? Mereka menghargai keberadaan karebosi sebagai nilai sejarah… yang tak akan ditemukan lagi kini oleh cara berfikir seakan membangun… kita menunggu penjualan berikutnya apa…

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.