Kota Kalong

      2 Komentar pada Kota Kalong

Akhirnya aku menginjakkan kaki di tempat ini. Kabupaten Soppeng, kota kalong. Daerah kelahiranmu yang sangat engkau banggakan. Melalui sms, telepon bahkan ketika kita bertatap muka secara langsung saat kau mengunjungiku di Makassar, kau selalu bercerita tentang betapa indahnya daerahmu.

Setengah tahun sudah kita menjalin hubungan serius. Hubungan yang berawal dari perteman biasa dan berakhir pada jalinan kasih. Kisah kasih yang terpisah jarak antara Makassar dan Soppeng. Selama itu, hanya engkau yang mengunjungiku di kota kelahiranku, ketika engkau tak masuk kerja di hari Sabtu. Sedangkan aku, tak sekalipun mengunjungimu ke kota ini. Baru kali ini, di awal bulan November aku memiliki sedikit waktu di antara kesibukan kuliahku di semester akhir.

Suasana kota yang tampak teduh dengan pepohonan yang berjejer di samping kiri dan kanan. Gugusan bukit dan hamparan sawah dengan selendang awan yang kadang menutupi. Hawanya sejuk. Sangat mendamaikan. Melihat dan merasakan keadaan ini membuatku ingin menetap di sini kelak. Setelah kau menyunting aku, tentunya. Tetapi, mungkinkah itu?

Namun, dalam diam aku bertanya pada diriku sendiri. Sungguhkah aku ingin menikah denganmu, menghabiskan sisa hidupku bersamamu? Jangan-jangan tidak. Bisa jadi aku salah memahami perasaanku padamu. Dan pikiranmu tentangku selama ini keliru. Entahlah. Ada ketakutan yang menghantuiku. Aku mungkin merasa memiliki cinta untukmu, tapi seberapa besar? Dan yakinkah aku akan hal ini?

“Bukankah daerah seperti ini yang ada dalam impianmu?” barisan kata-kata itu di terpa angin yang melawan laju motormu. Motor kantor ber-plat merah.

Hari itu, kau mengajakku mengelilingi sudut kota itu. Kau perlihatkan padaku sebuah karya arsitektur yang sangat menarik, Villa Missiliana atau Yuliana, sebuah bangunan bergaya perpaduan Eropa dan Bugis yang di bangun CA Krosen pada tahun 1905. Bangunan itu tampak indah berlatar warna biru langit yang begitu cerah dan beberapa kelelawar yang beterbangan.

“Villa ini merupakan bangunan kembar yang kembarannya ada di Netherland, Belanda.” Jelasmu. Aku hanya mengangguk.

Pandanganku bergerilya memandangi setiap detail kotamu. Tak jarang aku berdecak kagum. Kota seperti inilah yang selalu ada dalam bayanganku. Kota yang jauh dari kesan semrawut seperti Makassar, kota tempatku lahir dan dibesarkan yang kini telah disesaki dengan ruko.

Berhadapan dengan Villa Missiliana, ada kompleks Istana Datu Soppeng yang dibangun sekitar tahun 1261 pada masa pemerintahan Raja Soppeng I Latemmamala yang bergelar Petta BakkaE. Di dalam kompleks tersebut kau perlihatkan aku Bola RidaE.

“Disini adalah tempat penyimpanan berbagai benda atribut Kerajaan Soppeng.”

Sekali lagi aku hanya mengangguk

“Kalau yang ini namanya SalassaE, Istana Datu Soppeng dan Menhir Latammapole yang dulunya adalah tempat menjalani hukuman bagi pelanggar adat.”

Dari kompleks tersebut, motormu kembali kau lajukan. Melewati bebukitan, perbukitan di tengah kota. Kita berhenti pada suatu titik di bawah pohon asam, tak jauh dari Mesjid Raya Soppeng. Di atas pohon, kelelawar tampak bergantungan, kepalanya di bawah dan seluruh sayap menutupi badannya. Bau khasnya menyeruak pada indera penciuman. Suara ribut dan berisik yang khas dari ribuan kalong itu, nyaris tak pernah berhenti.

Sesuatu terasa menyentuh kulit punggung tanganku. Aku mengamatinya. Tampaknya seperti kotoran burung, ah itu pasti kotoran kalelawar. Kau terlihat begitu sumringah melihat peristiwa itu.

“Kamu akan menjadi orang Soppeng, sayang! Konon, siapa saja yang terkena kotoran kalelawar ketika ia berada di Soppeng, maka ia akan menjadi orang Soppeng.” Jelasmu dengan wajah yang begitu bahagia.

Engkaupun membersihkan kotoran itu dari tanganku dengan selembar tissu, lalu kau membelai tanganku lembut. Aku menikmatinya. Kau terlihat amat sayang dan memperhatikan aku. Tapi aku membawa rasa yang tak juga aku mengerti. Tentang cintaku padamu. Dan kau tak pernah tahu.

“Aku ingin jadi istrimu!” Ucapku. Kau tersenyum, kedua matamu memandangku begitu dalam, melesat hingga sukmaku. Seketika itu juga aku getir. Entah kenapa. Merasa bersalahkah? Atau aku mulai bermain lidah? Membohongimu dengan kata-kataku.

***

Hari ini, 17 Desember 2007, aku berulang tahun. Kau tak sempat datang menemuiku, memberikan ucapan selamat atau memberikan kado spesial secara langsung. Hanya suaramu melalui media telepon yang aku dengar menyampaikan ucapan selamat dan mendoakanku. Sama seperti hari-hari yang lain.

Kau tidak membuat hari yang seharusnya istimewa buatku menjadi berkesan karenamu. Aku berharap kau memberikan surprise untukku hari ini. Kurang lebih 150 kilometer jarak yang memisahkan antara Makassar dan Soppeng seharusnya tak berat bagimu untuk membahagiakan orang yang kau sayangi.

Tapi kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Akhir-akhir ini karirmu melejit, dan kau menjadi orang yang diandalkan di kantormu. Segalanya berjalan baik karena peranmu. Dan kau tak bisa meninggalkan kegiatan itu, walau sejenak, untuk mengunjungiku. Alasanmu, laporan akhir tahun kantormu di kejar deadline.

Aku maklum. Aku maklum atau justru tak terlalu peduli. Atau, ah entahlah. Saat ini, seorang lelaki lain berdiri di sampingku. Membuat aku menjadi sangat istimewa. Ia memberikanku sebuah kado indah yang membuatku tersanjung kerenanya. Dan, kau tak tahu itu.

***

Hari demi hari berlalu. Sms dan teleponmu masih sering menyapaku. Tetapi kau makin jarang bahkan tak pernah lagi mengunjungiku di kota tempat tinggalku. Aku tak tahu kenapa begitu. Bukan karena kau tak mencintaiku lagi, tapi barangkali kau lelah dan disibukkan dengan laporan awal tahun yang menumpuk. Kau pernah bilang ingin segera melamarku, dengan begitu kita tak dipisahkan oleh jarak lagi. Aku akan tinggal bersamamu di kampung halamanmu.

Kau memang cukup beruntung mampu menyandang status sebagai pegawai Pemda dengan mudah. Mengandalkan relasi orang tuamu, kamu dinyatakan lulus dalam penjaringan pegawai negeri sipil. Bahkan tanpa tes sekalipun, namamu telah tercatat sebagai pegawai. Tetapi, kamu di wajibkan mengikuti prosedur, hanya formalitas, agar semua terlihat wajar dan normal.

Kesempatan itu tidak membuatmu terlena. Kau memanfaatkannya dengan maksimal untuk pengembangan dirimu. Kapabilitasmu pun tidak diragukan. Hingga akhirnya kau menjadi seperti saat ini, memegang peranan penting di bidangmu.

Kita pun berjajak, memikirkan kisah kita di masa akan datang dengan penghasilanmu sebagai pegawai negeri. Khayalan kita pun saling berpadu menciptakan situasi yang ideal. Tapi aku menyuruhmu sabar untuk merealisasikan mimpi-mimpi itu hingga studiku selesai. Tak lama lagi.

***

Orang tuamu tampaknya tidak begitu menyetujui hubungan kita. Mereka telah menyiapkan gadis sepadan buatmu jauh hari sebelum hubungan kita terjalin, hal itu pernah kau sampaikan. Dan akhir-akhir ini, saat usia hubungan kita telah memasuki bulan yang kesembilan, keluarga besarmu makin gesit memadu hubungan kalian. Orang tua gadis itu yang memberikanmu jalan menjadi pegawai negeri sipil seperti saat ini. Dan dirimu dituntut untuk berbalas budi dengan menikahi sang gadis. Apalagi orang tuamu ingin segera mendapatkan cucu darimu. Mereka tak cukup sabar menunggu aku hingga selesai kuliah.

“Ada yang ingin aku bicarakan, penting!” Suaramu terdengar tergesa-gesa di balik telepon. “Tapi nanti sajalah, sekarang bukan waktu yang tepat.” Teleponmu pun berakhir.

Penggalan kata-katamu terdengar begitu panik, ada gundah dan kegelisahan disana. Sesekali aku memikirkannya, tetapi mungkin itu hanya rasa penasaranku saja. Aku berusaha tidak peduli. Atau aku memang tidak peduli? Entahlah. Perhatianku saat ini lebih tercurah kepada sosok pria yang menemani langkahku, ia berdiri tepat di sampingku. Dia membuatku terpesona.

***

“Bagaimana menurutmu tentang perjodohan?” Di awal teleponmu kau bertanya seperti itu.

Aku tidak begitu siap mendapatkan pertanyaan kaget tersebut. Aku menelan ludah mencoba menenangkan diri dan berpikir sejenak.

“Setiap orang punya jodohnya masing-masing dan dapat bertemu dengan cara masing-masing. Dan bagiku perjodohan bukanlah suatu kesalahan. Tergantung bagaimana cara kita menghadapinya. Bukankah banyak kisah perjodohan yang berbuah manis? Mengapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?”

“Aku ingin di jodohkan. Bapak menyuruhku untuk segera menikah dengan gadis yang pernah kuceritakan dulu.” Nada suaramu terdengar bingung. Inikah yang ingin kau bicarakan sejak dua hari kemarin?

Tapi anehnya, aku tak bersedih mendengar hal itu. Bahkan ketika aku membayangkan kau bersanding bersamanya. Atau aku berusaha untuk tidak sedih? Atau tidak berani untuk bersedih? Ah. Aku sendiri tak mengerti. Bahkan mungkinkah ada rasa senang ketika kutahu keluargamu menolak rencanamu untuk menikahiku?

“Terus bagaimana?” tanyaku.

“Sudah dua hari aku tidak pulang ke rumah. Beberapa hari yang lalu aku bertengkar hebat dengan Bapak. Bapak menamparku, beliau menganggapku kurang ajar karena telah melawan kata-katanya. Aku berusaha membelamu sayang!”

“Kenapa kamu melakukan itu?”

“Aku mencintaimu sayang! Aku ingin menikah denganmu, bukan dengan gadis lain. Hanya denganmu aku ingin menjalani dan menghabiskan hidupku. Meskipun aku harus kehilangan pekerjaan, aku rela. Kamu mau kan berjuang bersamaku untuk mempertahankan hubungan kita?”

Aku diam. Kamu pun diam. Jiwaku getir. Bibirku terasa kaku. Aku menutup mataku sejenak.

“Aku tak ingin menjadi penyebab kau durhaka terhadap orang tuamu!” Tegasku.

“Apa maksudmu? Kamu tidak ingin mempertahankan cinta kita?” Nada suaramu terdengar antara kaget dan cemas.

Mempertahankan cinta kita? Mungkin tidak. Atau aku malah mensyukuri keadaan yang menimpa cinta kita? Mungkinkah aku memang benar-benar mencintaimu? Hanya aku tak berani untuk menempuh hidup bersamamu?

“Hari ini, kamu mungkin mudah mengatakan agar aku bisa mempertahankan cinta kita. Tapi…, bagaimana jika suatu hari nanti sesuatu yang tak di inginkan terjadi pada mahligai pernikahan kita yang tak direstui? Pasti, aku yang disalahkan oleh keluargamu. Aku tak siap menjadi kambing hitam untuk sesuatu yang akan terjadi.”

“Yakinlah sayang, selama kita sama-sama membina dan memelihara cinta ini, hubungan kita akan bertahan.”

“Mengapa tak kau coba teorimu itu dengan gadis pilihan orang tuamu?”

“Lebih baik aku berhenti kerja daripada kehilangan dirimu. Tidakkah kau ingat rencana-rencana yang telah kita susun bersama? Masihkah kau ingat janji suci yang pernah aku sampaikan? Aku tak ingin mengingkarinya. Aku ingin membuktikannya kepadamu.” Nada suaramu meninggi.

“Kembalilah bersama keluargamu. Ingat sayang, kamu anak pertama. Orang tua dan adik-adikmu membutuhkan dirimu. Mereka bermaksud baik melakukan ini. Lupakan saja semua rencana dan janji-janji itu. Aku tidak akan menuntutnya. Aku ikhlas sayang! Jalani saja keputusan keluargamu itu, semua hanya butuh proses.”

“Bagaimanapun, aku ingin mempersuntingmu. Dirimu segalanya dalam hidupku! Aku tak peduli dengan keluargaku. Aku tak peduli keinginan mereka. Aku yang akan menjalaninya, bukan mereka. Keluargaku tak berhak mengatur diriku. Ini bukan zaman Siti Nurbaya…”

“Cukup!!!” teriakku. “Berhenti mengoceh dengan kata-katamu itu. Aku muak. Berpikirlah secara rasional. Sejak lahir kau mengenal keluargamu, mereka merawat dan membesarkanmu hingga seperti saat ini. Sedangkan aku? Hanya bagian kecil dari cerita hidupmu. Sudahlah. Biarkan hubungan kita berakhir.”

“Mengapa kau mengatakan seperti itu? Kau marah? Aku ingin memperjuangkanmu!”

“Aku tak ingin diperjuangkan dengan jalan seperti ini!”

“Jadi apa yang harus aku lakukan?”

“Aku tidak ingin kau berdosa karena aku. Kembalilah, keluargamu menunggumu.”

“Maksudmu?”

“Terima kasih untuk cinta dan perhatianmu. Jangan ganggu aku lagi!”

“Say….” Tit tit tit. Telepon itu berakhir.

Aku tertunduk melihat bayangan garis-garis daun jendela yang jatuh tepat di dekat telapak kakiku. Telepon selular yang baru saja aku gunakan masih tergenggam erat di tanganku. Sebelah tanganku mengepal kuat. Ada gejolak yang begitu membara di sukmaku. Sedihkah? Menyesalkah? Senangkah? Bahagiakah? Entah. Apakah aku menangis dalam tawa atau aku tertawa dalam tangis? Aku tidak mengerti. Dengan lemas, aku rapatkan lutut ke lantai lalu bersandar di tepi tempat tidurku. Sesekali aku menatap handphoneku kala kau menelpon lagi tetapi segera aku menolaknya.

Kau mungkin telah lelah dan aku tak memrotesmu ketika kau tak menghubungiku lagi. Mungkin ini yang terbaik untukmu. Dan mungkin juga untukku.

***

Di bulan Agustus ini, ketika orang-orang berbondong-bondong menikah di sebuah penanggalan yang cukup cantik, aku kembali mengingat dirimu. Juga sms-sms mu yang tidak lagi menyapaku. Enam bulan sudah berlalu sejak pembicaraan terakhir kita. Sedang apakah kau di sana, sayang? Adakah kau mengira aku tengah menangisi nasib cinta kita yang tak bisa bersatu? Tidak, tak setitik pun sedih yang membasahi hatiku. Bagaimana denganmu?

Apakah aku pernah mencintaimu? Aku tak pernah bisa meyakini diriku sendiri. Mungkin hanya kebiasaan yang kau tiupkan kemudian menjadi candu. Dan aku pun akan sakaw kalau kau tak mengirimkan cinta itu lagi. Aku, sesungguhnya, tak seperti apa yang kau kira. Aku mungkin bermain di belakangmu. Dengan semua rahasia tentang cintaku. Diriku. Keluargaku. Dan kau tak pernah sekali pun tahu. Mungkin, kau tak pernah benar-benar mengenalku. Ataupun kehidupanku. Dan keluargaku.

Semua kenangan indahku bersamamu di kota kalong setahun yang lalu, masih tersimpan sangat rapi di benakku. Kini aku tak pernah lagi mendengar kabarmu. Barangkali kau sudah menikah dengan gadis pilihan orang tuamu itu, pikirku. Entahlah.

Waktu itu aku tak begitu yakin ketika kotoran kalong menyentuh kulitku. Itu hanya dongeng. Legenda. Bisa kita lupakan. Ternyata firasatku benar. Meski kenangan itu masih terang di benakku. Juga tentang dirimu. Cinta kita. Kisah kita. Tetapi kenyataannya, aku tak bersanding dengan kau atau lelaki lain yang berasal dari kampung kelahiranmu.

Keluargamu hampir sama dengan keluargaku. Kamipun memiliki utang budi pada keluarga lain. Diriku pun seperti dirimu yang dinobatkan menjadi tumbal. Perbedaannya, aku mencintai lelaki itu. Proses membuat kami saling mencintai, dia membuatku begitu spesial. Sepertinya, cintaku utuh untuknya, sosok yang bersanding bersamaku di pelaminan saat ini, seorang lelaki yang tak memiliki darah kota kalong.

20 08 2008

2 thoughts on “Kota Kalong

  1. Pingback: Sudah Menikah? « ..:: More Than Just Experience ::..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.